Site icon SumutPos

Klaim Vaksinnya Tak Mengandung Enzim Babi, AstraZeneca Bantah Haram

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Vaksin Covid-19 AstraZeneca membantah dan melakukan klarifikasi atas pernyataan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengungkapkan, tahapan produksi vaksin menggunakan enzim babi. AstraZeneca menegaskan, vaksin tersebut tidak mengandung babi.

VAKSIN: Seorang petugas medis menunjukkan vaksin AstraZeneca yang akan digunakan untuk kekebalan tubuh dari Covid-19.

“Tidak bersentuhan dengan produk turunan babi atau produk hewani lainnya. Kami menghargai pernyataan yang disampaikan Majelis Ulama Indonesia,” tegas pernyataan resmi AstraZeneca, Sabtu (20/3).

Pihak produsen menegaskan, vaksinnya merupakan vaksin vektor virus yang tidak mengandung produk berasal dari hewan seperti yang telah dikonfirmasikan Badan Otoritas Produk Obat dan Kesehatan Inggris. Menurut perusahaan itu, semua tahapan proses produksinya, vaksin vektor virus ini tidak menggunakan dan bersentuhan dengan produk turunan babi atau produk hewani lainnya.

“Vaksin ini telah disetujui di lebih dari 70 negara di seluruh dunia termasuk Arab Saudi, UEA, Kuwait, Bahrain, Oman, Mesir, Aljazair dan Maroko dan banyak Dewan Islam di seluruh dunia telah telah menyatakan sikap bahwa vaksin ini diperbolehkan untuk digunakan oleh para muslim,” tegas AstraZeneca.

Perusahaan mengklaim, vaksin Covid-19 AstraZeneca aman dan efektif dalam mencegah Covid-19. Uji klinis menemukan bahwa vaksin Covid-19 AstraZeneca 100 persen dapat melindungi dari penyakit yang parah, rawat inap dan kematian, lebih dari 22 hari setelah dosis pertama diberikan.

Penelitian vaksinasi yang telah dilakukan berdasarkan model penelitian dunia nyata (real-world) menemukan bahwa satu dosis vaksin diklaim mengurangi risiko rawat inap hingga 94 persen di semua kelompok umur. Termasuk bagi mereka yang berusia 80 tahun ke atas. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa vaksin dapat mengurangi tingkat penularan penyakit hingga dua pertiga.

“Semua vaksin, termasuk Vaksin COVID-19 AstraZeneca, merupakan bagian penting dalam menanggulangi pandemi Covid-19 agar dapat memulihkan keadaan di Indonesia agar dapat memulihkan perekonomian Indonesia secepatnya,” tegas pernyataan itu.

Vaksin Covid-19 AstraZeneca ditemukan bersama oleh Universitas Oxford dan perusahaan spin-outnya, Vaccitech. Vaksin ini menggunakan vektor virus simpanse yang tidak bereplikasi berdasarkan versi yang dilemahkan dari virus flu biasa (adenovirus) yang menyebabkan infeksi pada simpanse dan mengandung materi genetik dari protein spike virus SARS-CoV-2. Setelah vaksinasi, diproduksilah protein permukaan spike yang akan mempersiapkan sistem kekebalan untuk menyerang virus SARS-CoV-2 jika kemudian menginfeksi tubuh.

Selain program yang dipimpin oleh Universitas Oxford, AstraZeneca pun sedang melakukan uji coba besar di AS dan juga global. Secara total, Universitas Oxford dan AstraZeneca berharap dapat menyertakan hingga 60 ribu peserta penelitian secara global. Vaksin Covid-19 AstraZeneca telah memperoleh izin pemasaran bersyarat atau penggunaan darurat di lebih dari 50 negara di enam benua, dan dengan Emergency Use Listing atau Daftar Penggunaan Darurat baru-baru ini yang diberikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia baru-baru ini dapat mempercepat jalur akses vaksin di hingga 142 negara melalui Fasilitas COVAX.

Sebelumnya MUI mengeluarkan fatwa atas vaksin AstraZeneca. Ternyata, dari hasil fatwa tersebut, vaksin AstraZeneca mengandung enzim babi namun boleh digunakan dengan alasan kondisi darurat syariah dan adanya keterbatasan vaksin.

Ketua Komisi Fatwa MUI, Hasanuddin AF mengatakan, informasi soal tripsin babi ini diperoleh dari hasil kajian Lembaga Pengkajian Pengawasan Obat-obatan dan Kosmetik (LPPOM) MUI. Ia mengatakan, LPPOM sudah bekerja sama puluhan tahun dalam menentukan halal tidaknya suatu produk. “Kami Komisi Fatwa MUI punya pedoman, punya standar sendiri tentang halal haramnya suatu produk, termasuk obat-obatan, termasuk vaksin,” kata Hasanuddin.

Meski begitu, ia mengatakan pendekatan yang digunakan MUI dalam mengkaji AstraZeneca berbeda dengan Vaksin Sinovac. MUI memberangkatkan tim ke lokasi produksi Sinovac di Tiongkok, untuk menilai kehalalan vaksin tersebut. Sedangkan untuk AstraZeneca, Hasanuddin mengatakan MUI mengambil penilaian dari pertimbangan data-data yang diterima LPPOM saja. “Jadi LPPOM mendapatkan bahan-bahan, dan diteliti bahan-bahannya di lab dan sebagainya,” kata Hasanuddin.

Dalam laporan LPPOM, bahan aktif vaksin adalah rekombinan adenovirus. Yakni monovalen vaksin yang terdiri dari satu rekombinan vektor ‘replication-deficient chimpanzee adenovirus (ChAdOx1)’, yang menjadikan kode untuk glikoprotein S dari Sars-Cov-2, disebut juga ChAdOx1-S (recombinant).

Laporan itu juga menyebutkan, saat pembuatan, dalam penyiapan inang virus, sel inang yang digunakan berasal dari diploid manusia. Persisnya sel yang diambil dari jaringan ginjal bayi manusia puluhan tahun lalu. Sel tersebut ditumbuhkan pada media Fetal Bovine Serum, yang disuplementasi dengan asam amino, sumber karbon, bahan tambahan lain serta antibiotik. “Pada tahap penyiapan inang virus ini terdapat penggunaan bahan dari babi berupa tripsin yang berasal dari pankreas babi. Bahan ini digunakan untuk memisahkan sel inang dari microcarrier-nya,” ujar LPPOM dalam penjelasan yang tertera dalam keputusan Fatwa MUI.

Meski telah menyatakan bahwa vaksin Covid-19 buatan AstraZeneca haram, namun MUI pada akhirnya tetap menyatakan bahwa vaksin tersebut dapat digunakan. Ketua MUI Bidang Fatwa MUI Asrorun Niam mengatakan, ada lima pertimbangan utama MUI memutuskan hal ini.

Pertama, adalah adanya kondisi kebutuhan yang mendesak atau hajjah asy’ariyah dalam fiqih, yang menduduki kedudukan darurat syari.

Alasan kedua, adalah adanya keterangan dari ahli yang kompeten dan terpercaya tentang adanya bahaya atau resiko fatal jika tak segera dilakukan vaksinasi Covid-19.

Sebelum memutuskan fatwa ini, MUI memang diketahui telah mengundang Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), produsen AstraZeneca, hingga pihak Bio Farma untuk mendapat masukan. “Ketiga, ketersediaan vaksin Covid-19 yang halal dan suci, tak mencukupi untuk pelaksanaan vaksinasi Covid-19 guna ikhtiar mewujudkan kekebalan kelompok atau herd immunity,” kata Asrorun.

Alasan keempat, adalah adanya jaminan keamanan penggunaanya untuk pemerintah sesuai dengan penggunaannya. Terkait keamanan ini, dibahas oleh BPOM dalam rapat komisi fatwa sebelumnya.

Asrorun mengatakan alasan kelima, adalah pemerintah yang tak memiliki keleluasaan memilih jenis vaksin. “Mengingat keterbatasan vaksin yang tersedia baik di Indonesia maupun di tingkat global,” kata Asrorun. Karena itu, Asrorun mengatakan kebolehan penggunaan AstraZeneca tak akan berlaku lagi, jika lima alasan itu hilang.

Meski telah dibantah AstraZeneca, Komisi Fatwa MUI tetap ngotot dengan keputusannya. Mereka menyatakan, temuan adanya tripsin babi itu ditemukan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) MUI.

Merespons hal itu, Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf meminta pemerintah untuk, secara tegas, lebih cermat memilih vaksin dengan mengutamakan pertimbangan aspek kehalalan disamping aspek efikasi. “Kami meminta kepastian kehalalan dari pemerintah untuk vaksin lain yang akan disuntikan ke masyarakat,” ujar Bukhori.

Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini juga mendesak MUI dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) ke depan untuk mengambil peran lebih proaktif dalam mengontrol kepastian kehalalan semua vaksin yang telah ditetapkan pemerintah. “Pertimbangan kehalalan vaksin juga berpengaruh terhadap program vaksinasi yang telah dicanangkan oleh pemerintah mengingat komposisi sebagian besar masyarakat Indonesia adalah muslim,” katanya.

Aspek penerimaan masyarakat juga menjadi penting. Ketika masih ada keraguan di masyarakat terkait kehalalan, pasti berpengaruh terhadap turunnya animo mereka untuk divaksin, sambungnya. “Alhasil, jika tren ini berlanjut seiring dengan tidak adanya kepastian, maka tujuan untuk membentuk herd immunity melalui vaksinasi bisa jauh dari harapan” katanya.

Untuk diketahui, pemerintah resmi menetapkan 6 jenis vaksin untuk pelaksanaan vaksinasi virus Korona di Indonesia. Keputusan pemerintah ini dituangkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor H.K.01.07/Menkes/9860/2020 tentang Penetapan Jenis Vaksin Untuk Pelaksanaan Vaksinasi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Keenam jenis vaksin untuk vaksinasi Covid-19 di Indonesia adalah vaksin yang diproduksi oleh: pertama PT Bio Farma (Persero), kedua AstraZeneca, ketiga Sinopharm, keempat Moderna, kelima Pfizer, dan keenam Sinovac. (jpc/tmp)

Exit mobile version