Site icon SumutPos

Langgengkan Kawin Paksa Capres

Ketua DPR Setya Novanto didampingi wakil ketua Fahri Hamzah menyerahkan draf RUU Pemilu yang baru disahkan kepada Mendagri Tjahjo Kumolo, Jumat (21/7) dini hari.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pemerintah bersama DPR RI akhirnya mengesahkan Undang-Undang (UU) Penyelenggaraan Pemilu setelah melalui pembahasan berbulan-bulan dan diwarnai aksi meninggalkan ruang sidang paripurna alias walk out oleh empat fraksi. Ahli Hukum Tata Negara A Irmanputra Sidin mengatakan, UU Pemilu dengan menerapkan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen sampai 25 persen jelas-jelas melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 dan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 yang menyebut bahwa setiap partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden.

“Kami saat itu terlibat langsung membidani pengajuan permohonan pengujian UU Pemilu di MK. Agar Pemilu dilakukan secara serentak yang akhirnya dikabulkan oleh MK,” jelasnya kepada wartawan, Jumat (21/7).

Irman menjelaskan, putusan MK sebenarnya telah menyatakan, ambang batas pencalonan presiden bagi Parpol tidak ada hubungannya dengan penguatan sistem presidensil. Terlihat dalam penyelenggaraan Pilpres 2004 dan 2009 bahwa untuk mendapatkan dukungan demi keterpilihan calon presiden, jika terpilih maka calon presiden terpaksa harus melakukan negosiasi dan tawar-menawar atau bargaining politik terlebih dahulu dengan parpol. Hal itu yang sangat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan di kemudian hari.

“Negosiasi dan tawar-menawar tersebut pada kenyataannya lebih banyak bersifat taktis dan sesaat daripada bersifat strategis dan jangka panjang. Misalnya karena persamaan garis perjuangan partai politik jangka panjang. Oleh karena itu, presiden pada faktanya menjadi sangat tergantung pada partai-partai politik yang dapat mereduksi posisi presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan,” paparnya.

Dengan demikian, syarat ambang batas pencapresan yang telah diputuskan DPR dan pemerintah sebenarnya adalah syarat untuk menyandera presiden yang berkuasa yang justru melemahkan kekuasaan presidensil. Ambang batas sesungguhnya ingin melanggengkan fenomena kawin paksa calon presiden, mengingat hak setiap parpol sebagai peserta pemilu untuk mengajukan pasangan calon presiden telah dilanggar. Sehingga pilihan pasangan calon presiden akan semakin mempersempit menu prasmanan dari setiap parpol.

Lebih dari itu, parpol yang memperoleh kursi DPR RI pada Pemilu 2014 tidak serta merta akan mendapatkan kursi lagi pada Pemilu 2019 nanti. Sehingga, intensi penguatan presidensil, tidak linear terjadi alias bertentangan dengan dirinya sendiri atau contra legem yang justru menyandera dan melemahkan kekuasaan presiden yang sudah dipilih oleh rakyat. “Oleh karenanya ambang batas ini adalah inkonstitusional,” tegas Irman.

Sementara, Partai Gerindra bakal menggugat persyaratan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold dalam Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu yang baru disahkan. Syarat tersebut dianggap inkonstitusional. “Tentu, saya kira langkah-langkah hukum selanjutnya akan ditempuh termasuk melakukan uji materi UU ini di MK (Mahkamah konstitusi),” kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon di Komplek Parlemen, Jakarta, Jumat (21/7).

Menurutnya, upaya hukum yang bakal dilakukan Gerindra itu mengacu pada keputusan MK yang memutuskan soal Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden digelar serentak mulai 2019 mendatang.

“Sehingga tidak ada presidential threshold,” tegas Fadli yang juga wakil ketua DPR RI.

Wakil Ketua DPR lainnya, Fahmi Hamzah menilai, wajar kalau ada yang mengajukan uji materi UU Pemilu yang disahkan Kamis (20/7) malam lalu ke Mahkamah Konstitusi. Utamanya pasal yang mengatur tentang presidential threshold atau ambang batas pencapresan. Bahkan menurutnya, MK akan mengabulkan gugatan tersebut. “Kalau ada JR (judicial review) itu pasti terjadi. Saya punya perasaan itu bisa menang,” jelas Fahri.

Sebab menurut dia, pasal yang mengatur soal presidential threshold dalam UU Pemilu bertentangan dengan Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa pada Pemilu 2019 pemilihan legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres) dilaksanakan serentak.

Dengan demikian, penerapan preshold gugur dengan sendirinya. “Konsep treshold bertentangan dengan prinsip pemilihan Presiden dan Wapres secara langsung. Ini rada bertentangan. Pemilu sebelumnya mensyaratkan Pemilu akan datang, seperti ini memberikan ketidakpastian politik, ini membuat manajemen politik yang tidak terkendali,” sesalnya.

Sementara Presiden RI Joko Widodo mengaku menghormati pengambilan keputusan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu melalui Rapat Paripurna DPR RI, yang berlangsung hingga larut malam. “Kita sangat menghormati apa yang sudah diputuskan, sampai malam. Ya, kita hormati,” ujar Presiden Jokowi seusai menutup Mukernas II PPP di Ancol, Jakarta, Jumat (21/7).

Jokowi mengatakan Indonesia negara hukum, jika ada pihak yang tidak puas dengan segala keputusan yang sudah diputuskan di DPR maka dapat menempuh jalur hukum. “Ini negara hukum, negara demokrasi. Kalau ada yang tidak puas dengan keputusan yang sudah diputuskan di DPR, dan menginginkan menempuh jalur di Mahkamah Konstitusi, ya dipersilakan, kan memang ada mekanismenya,” tutur Presiden.

Sebelumnya Rapat Paripurna DPR RI telah memutuskan sejumlah poin dalam RUU Pemilu dan mengesahkannya menjadi undang-undang. Salah satu poin yang diputuskan dalam UU Pemilu itu adalah mengenai ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20-25 persen sesuai yang dikehendaki pemerintah beserta enam fraksi yakni PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura, PKB dan PPP. Sedangkan empat fraksi lain, Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS melakukan aksi keluar dari ruang rapat atau walk out. Pascapengesahan UU Pemilu, sejumlah pihak kemudian menyatakan akan membawa undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan uji materi.(rmol/jpg/adz)

Exit mobile version