Site icon SumutPos

KPK: Mafia Peradilan Akut & Sistematis

Foto: Imam Husein/Jawa Pos Panitera-Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution resmi ditahan KPK usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (21/04/2016). Sebelumnya tim Satgas KPK mencokok Edy dan Doddy dalam oprasi tangkap tangan terkait pengajuan permohonan Peninjauan Kembali (PK) di sebuah hotel di jalan Kramat Raya Jakarta Pusat.
Foto: Imam Husein/Jawa Pos
Panitera-Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution resmi ditahan KPK usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (21/04/2016). Sebelumnya tim Satgas KPK mencokok Edy dan Doddy dalam oprasi tangkap tangan terkait pengajuan permohonan Peninjauan Kembali (PK) di sebuah hotel di jalan Kramat Raya Jakarta Pusat.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut kasus dugaan suap terhadap Panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Edy Nasution seperti fenomena gunung es. MA harus membangun komunikasi dan bekerja sama dengan KPK untuk melakukan OTT bersama, guna membersihkan lembaga peradilan dari praktik mafia peradilan yang akut dan sistematis.

Fenomena gunung es yang dimaksud dalam kasus ini bahwa ada persoalan yang lebih besar di balik masalah kecil yang hanya tampak di permukaan.

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang memaparkan, penggunaan istilah fenomena gunung es dalam kasus dugaan suap pengajuan Peninjauan Kembali (PK) sebuah kasus perdata di PN Jakpus itu berawal dari keyakinan bahwa tindak pidana korupsi tidak berdiri sendiri. Korupsi di negeri ini dilakukan secara sistematis.

“Melihat sesuatu jangan lihat di permukaannya. Di bawahnya itu. Korupsi kan enggak pernah berdiri sendiri,” ujar Saut di Hotel Sari Pan Pasific, Jakarta, Jumat (22/4).

Karenanya, lanjut Saut, hingga kini pihaknya belum bisa membuka secara gamblang soal perkara yang menjerat seorang Panitera PN Jakpus bernama Edy Nasution dan seorang pekerja swasta, Doddy Aryanto Supeno.

“Saya enggak bisa spesifik untuk kasus itu, itu masih didalami,” ucap Saut.

Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus mengatakan penggeledahan rumah milik pribadi dan ruang kerja Nurhadi, Sekjen MA dalam kasus OTT KPK suap terhadap Eddy Nasution, Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Rabu (19/4) yang lalu merupakan tamparan keras dan memalukan bagi MA.

“Peristiwa ini sekaligus mengindikasikan dengan jelas eksistensi jaringan mafia peradilan yang menghubungkan pencari keadilan dengan otoritas pengadilan telah dibangun secara terorganisir dan terstruktur, mengikuti alur struktur organisasi badan peradilan yang berpuncak pada MA,” katanya di Jakarta, Jumat (22/4).


Dikatakan, Ketua MA harus membangun komunikasi dan bekerja sama dengan KPK untuk melakukan OTT bersama, guna membersihkan lembaga peradilan dari praktik mafia peradilan yang akut.

Karena praktik mafia peradilan pada saat ini tidak hanya membawa korban bagi kalangan rakyat miskin pencari keadilan, akan tetapi mafia peradilan inipun sering membawa korban bagi pihak negara, ketika negara menjadi pihak dalam berbagai sengketa perdata atau tata usaha negara di Pengadilan.

“Jika kita cermati peristiwa OTT terhadap oknum pengadilan di sejumlah tempat dalam waktu dan untuk kasus yang berbeda, maka kita patut menduga bahwa para pelaku lapangan yang ditangkap dalam OTT KPK merupakan bagian kecil dari organisasi besar yang bermain secara terstruktur dari bawah ke atas dan/atau dari atas ke bawah, menurut alur perkara secara berjenjang. Jika sebuah perkara diawali dengan gugatan atau tuntutan pidana di tingkat pertama, maka para pemain pelaku lapangan, biasanya sudah mengkondisikan jaringannya untuk mengamankan perkara hingga ke MA,” katanya.

Atau sebaliknya jika sebuah perkara sudah selesai diputus MA, entah putusan kasasi atau PK, maka, pelaku lapangan yang bermainpun akan berputar balik arah dari atas ke bawah, untuk mengamankan pelaksanaan putusan, karena yang melaksanakan putusan itu adalah Pengadilan Negeri (PN) sebagai pemutus perkara di tingkat pertama.

Meskipun demikian dalam praktik peradilan, ketika sebuah putusan perkara hendak dieksekusi oleh PN pun masih bisa muncul perkara baru, yang akan melahirkan rezeki baru bagi banyak pihak dalam lingkaran mafia pengadilan.

Adanya hubungan secara terstruktur dengan menggunakan jalur birokrasi mulai dari oknum Pengadilan hingga ke MA dari MA turun kembali ke PN selaku pemutus perkara di tingkat pertama, membuat para pencari keadilan seolah-olah berada dalam jaringan mata rantai yang tidak putus dan tidak henti-hentinya menjadi sapi perahan jaringan mafia peradilan ini.

Berdasarkan penuturan sejumlah pihak yang sering menjadi korban mafia peradilan, terdapat modus operandi lain lagi yaitu para pelaku lapangan mengantongi dokumen adminstrasi perkara di MA yang belum diputus, dan dengan modal dokumen ini serta pelaku menggunakan seragam mirip pegawai MA, mereka menggiring si pencari keadilan dengan iming-iming bisa mengatur untuk memenangkan salah satu pihak yang berperkara.

Modus operandi ini, kata dia,biasanya beroperasi di hotel-hotel yang berlokasi tidak jauh dari terminal atau stasiun, karena rata-rata korban yang dijadikan target adalan orang daerah yang ingin memenangkan perkara karena faktor gengsi.

Artinya di sini pergerakan jaringan mafia peradilan sudah sangat masif, sehingga kalau saja KPK melakukan OTT secara masif, maka sudah bisa dipastikan KPK akan panen tangkapan. Karena tiada hari tanpa penangkapan, karena tiada hari tanpa transaksi jual beli dan tawar menawar berbagai jenis putusan dalam suatu perkara, termasuk memilih hakim, mempercepat proses, memperlambat persidangan, menyulap sebuah putusan pengadilan secara tepat waktu berkekuatan hukum tetap, bekerja sama dengan oknum-oknum kelurahan, RT, dan RW.

Disebutkan dia, dalam OTT KPK yang melibatkan Edy Nasution, oknum Pansek PN Jakarta Pusat dan penggeledahan rumah dan ruang kerja Nurhadi, Sekjen MA, memperlihatkan secara kasat mata bahwa jaringan mafia peradilan ini sudah menggurita dalam lingkaran yang tidak putus mengikuti struktur organisasi lembaga peradilan yang berada di seluruh Indonesia.

Dimana-mana di tiap-tiap pos sudah ada eksekutor yang disipkan untuk mengelola dan mengolah informasi serta mendistribusikan informasi sambil mengantisipasi bahkan menangkal sadapan KPK kalau-kalau KPK mencoba menyadap.

Oleh karena itu, meskipun KPK melakukan OTT, namun jika wilayah OTT KPK hanya diseputar Jakarta dan satu dua tempat di luar Jakarta, maka jaringan mafia peradilan ini tidak akan jera atau kapok dalam melakukan operasinya.

“Pertimbangan utama secara matematis adalah profit, yaitu hasil yang didapat dari praktek mafia peradilan jauh lebih besar dari pada gaji dia sebagai PNS, karena jika dihitung secara matematis, maka hingga pensiun-pun tidak akan mendapatkan profit besar dibandingkan dengan pilihan jika lagi sial kena OTT KPK, maka hanya dipenjara untuk beberapa tahun di Sukamiskin atau Ciping-Salemba dan sebagainya,” kata dia. (bbs/jpnn)

Exit mobile version