Site icon SumutPos

KPK Warning DPR

Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau dikenal dengan dana aspirasi akhirnya sah menjadi bagian di peraturan DPR. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang digandeng untuk mengawasi dana tersebut pun me-warning agar DPR hati-hati.

Ricardo/JPNN.com
ASPIRASI: Ekspresi Wakil Ketua DPR Agus Hermanto (kiri), Wakil Ketua DPR Fahrim Hamzah, dan Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan (kanan) saat memimpin sidang Paripurna DPR, Jakarta, Selasa (23/6). Sidang paripurna mengesahkan rancangan UP2DP atau dana aspirasi ke dalam peraturan DPR.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO-  Peringatan itu dilontarkan KPK saat  tim perumus UP2DP mengundang pimpinan lembaga antirasuah itu untuk meminta pandangan terkait dana aspirasi. Wakil Ketua KPK Zulkarnain mengingatkan bahwa dana aspirasi memunculkan pro dan kontra yang tinggi di mata publik.

“Intinya, semua kewenangan harus ada dasar hukumnya. Niat baik harus terlaksana dengan baik, karena itu, perlu kehati-hatian semua pihak,” kata Zulkarnain di ruang pimpinan DPR.

Menurut Zulkarnain, saat aspirasi disampaikan, harus dipastikan bahwa aspirasi itu riil. Dalam arti, tidak terjadi duplikasi anggaran, aspirasi fiktif, ataupun berpotensi kolusi. “Di dalam pelaksanaan, harus ada kejelasan, mulai dari teknis, eksekutor yang melaksanakan kegiatan,” kata mantan Jaksa itu.

Terhadap pemerintah sebagai eksekutor, Zulkarnain meminta Kementerian/Lembaga yang mendapat tugas pelaksana harus paham sejauh mana kesiapan usulan, mempertanggungjawabkan usulan, hingga hasilnya sesuai harapan.

“Kalau sistemnya tidak dibuat dengan baik, risiko-risiko tentu ada,” ujarnya me-warning.

Zulkarnain juga meminta program UP2DP juga membantu pemerataan pembangunan. UP2DP juga harus sinkron dengan program daerah. Saat ini, belanja modal di setiap daerah dalam APBD tidak sampai 30 persen dari total anggaran. “Ini kan kecil sekali. Apabila ada perhatian khusus, kita berharap pembangunan dilakukan secara riil,” jelasnya.

Soal dana aspirasi, meski banyak catatan keberatan dari sejumlah perwakilan fraksi, tetap disahkan dalam sidang paripurna DPR, dengan persetujuan dari tujuh fraksi.

Sebanyak tujuh fraksi yang menyetujui program dana aspirasi adalah Fraksi Partai Golongan Karya, Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan. Setelah program UP2DP dibacakan oleh Ketua Tim Perumus Totok Daryanto dan Ketua Tim Pelaksana Taufik Kurniawan, program senilai Rp11,2 triliun itu langsung diambil kata persetujuan.

“Apakah bisa disetujui?” kata Fahri Hamzah, pimpinan sidang paripurna ke-33 DPR, kemarin (23/6). Mayoritas anggota DPR langsung memberikan persetujuan.

Dalam pidatonya, Totok juga menyinggung bahwa ada tujuh fraksi yang setuju, dan tiga fraksi yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Nasdem, dan Partai Hanura yang menolak. Totok menegaskan bahwa UP2DP hanya mengusulkan aspirasi, dengan mengintegrasikan suara masyarakat itu selaras dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP).

“Pengintegrasian UP2DP sekaligus dengan pembangunan nasional,” kata politikus Partai Amanat Nasional itu.

Menurut Totok, mekanisme usulan UP2DP adalah berdasarkan serapan aspirasi anggota yang diusulkan secara tertulis. Pengajuan bisa secara personal anggota atau secara bersama-sama dengan tandatangan, disampaikan ke fraksi. Pimpinan fraksi yang bertugas menyampaikan ke pimpinan DPR.

“Penyampaian UP2DP kepada Pemerintah, dilakukan dengan tujuan pengintegrasian rancangan ekonomi makro,” ujar Totok.

Selain itu, program UP2DP harus memenuhi empat kriteria. Pertama adalah terkait program fisik, kedua terkait dengan program pembangunan, rehabilitasi, dan peningkatan infrastruktur, ketiga terkait langsung dengan masyarakat, dan keempat dianggarkan melalui Dana Alokasi Umum (DAU).

Pembahasan UP2DP dalam teknisnya hanya berlangsung singkat. Badan Legislasi membentuk tim UP2DP pada 11 Juni lalu dengan menetapkan Totok sebagai Ketua Tim Perumus. Berselang 11 hari kemudian, sudah ditetapkan rancangan program dana aspirasi yang ditetapkan dalam rapat internal tim perumus UP2DP di internal Baleg.

Taufik juga mengklaim bahwa perumusan UP2DP sudah melalui berbagai konsultasi dan kunjungan lapangan. Dalam aspek konsultasi, tim UP2DP sudah bertemu dengan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Badan Pemeriksa Keuangan, termasuk membahas teknis pelaksanaan UP2DP bersama Kementerian Keuangan.

“Aspek yuridis terkait pelaksanaan di lapangan menjadi pertimbangan spesifik manakala tim berharap agar niatnya baik prosesnya juga baik, dan akhirnya pun berjalan baik,” kata Taufik.

Menurut Taufik, tim juga melakukan kunjungan lapangan untuk menerima masukan terkait UP2DP. Namun, dari 34 provinsi di Indonesia, Taufik menyebut kunjungan lapangan itu hanya berlangsung di Jawa Timur. Taufik menyebut provinsi Jawa Timur memberikan dukungan terkait munculnya program UP2DP.

“Di Jawa Timur, juga terdapat program yang serupa, yakni program jaring aspirasi masyarakat yang diberikan untuk seluruh kabupaten/kota di Jatim,” ujarnya.

Diterimanya program UP2DP itu mendapat penolakan dari sejumlah anggota dewan. Meski fraksinya setuju, politisi Partai Golkar Agun Gunanjar Sudarsa menyatakan penolakan. Penolakan utamanya adalah terkait ketidakadilan dana aspirasi jika didasarkan dengan dapil. Karena wilayah seperti Maluku dan Maluku Utara akan mendapat alokasi lebih sedikit dibandingkan Jawa Barat.

“Program ini tidak meringankan anggota dewan, justru memberatkan,” kata Agun.

Menurut Agun, para anggota dewan pasti paham betapa banyak dan bertumpuk aspirasi masyarakat saat para wakil rakyat ke daerah menggelar reses. Menjadi kesulitan tersendiri bagi anggota dewan untuk memilah-milah mana aspirasi yang menjadi prioritas, dan hal itu tentu menimbulkan berbagai persepsi dari rakyat yang sudah menyampaikan keluhan.

“Anggota DPR juga tidak mungkin melepaskan subjektif kepentingan partai. Tidak menutup kemungkinan ini menjadi proses investasi untuk pemilu,” ujarnya.

Menurut Agun, dengan patokan dana aspirasi yang mencapai Rp20 miliar per anggota, akan terjadi jebakan tersendiri terhadap perilaku penyimpangan. Seharusnya, ada mekanisme yang lebih bertanggung jawab dibandingkan dengan nominal uang. “Libatkan anggota DPR dalam memperjuangkan aspirasi, jangan terjebak jumlah uang,” jelasnya.

Wakil Ketua Fraksi PDIP Arif Wibowo juga mengingatkan, bahwa pasal 80 huruf j UU nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), yang menjadi landasan dana aspirasi masih memunculkan perdebatan. Di saat pembahasan Rancangan UU MD3 dibahas, anggota DPR memiliki hak memperjuangkan pembangunan, namun tidak dibatasi oleh sekat dapil.

“Dapil hanyalah alat untuk memperjuangkan hak pilih, karena tidak mungkin anggota DPR berjuang dari Sabang sampai Merauke,” kata Arif.

Anggota DPR, kata Arif, dalam implementasinya, adalah wakil rakyat seluruh Indonesia. Karena itu, salah jika dana aspirasi dikotomikan untuk mewakili aspirasi masing-masing dapil.

“Jika pemahaman saat ini berlanjut terus menerus, akan ada pembelokan pemahaman otentik. Sebab representasi adalah ciri kedaulatan. Kedaulatan bukan hanya di dapil,” tegasby. Arif juga mendorong agar pemerintah bisa ikut menolak usulan program dana aspirasi di pembahasan RAPBN 2016. (bay/jpnn/rbb)

Exit mobile version