Site icon SumutPos

Kata Adik Amrozi, Pelaku Terinspirasi Bom Manchester

Foto: Haritisah Almudatsir/Jawa Pos
Suasana di sekitar lokasi ledakan bom di kawasan Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur, Rabu (24/5) malam.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Peristiwa peledakan bom terjadi secara beruntun. Manchester, Marawi (Filipina), lalu di Halte Transjakarta Terminal Bus Kampung Melayu, Jakarta Timur, Rabu (24/5) malam.

Tiga aksi terorisme sambung-menyambung dalam tiga hari terakhir. Apakah mereka saling terkait? Belum tentu. Tapi, minimal, peristiwa yang satu menginspirasi yang lain.

Ali Fauzi, mantan kombatan, mengungkapkan, dulu ketika masih jadi ikhwan jihadi, dirinya selalu terkesima tiap mendengar adanya serangan yang dilakukan orang lain dari golongannya.

”Ada perasaan malu yang khusus sehingga bertekad melakukan amaliah secepat mungkin,” kata adik Amrozi dan Ali Imron, dua terpidana mati kasus bom Bali, tersebut.

Karena itu, lanjut Ali, bom di Manchester dan penyerangan di Marawi bisa jadi merupakan inspirasi bagi pelaku bom Kampung Melayu, Jakarta.

Menurut dia, pelaku peledakan bom di Kampung Melayu bisa dikategorikan masih amatir. Sebab, jelas mantan instruktur kamp ikhwan jihadi di Filipina Selatan tersebut, bom yang dihasilkan tidak beda jauh dengan peristiwa lain di Indonesia empat tahun terakhir.

”Berdaya ledak rendah, penyusunan yang tidak benar, dan jelas pelakunya belum mempunyai kemampuan yang baik,” terang pria yang kini menjadi ketua Yayasan Lingkar Perdamaian itu.

Ali Fauzi mengatakan, bom yang meledak di Jakarta tadi malam sangat buruk. ”Bahkan, mungkin tidak ada detonatornya itu,” ucapnya.

Malah, mungkin saja itu hanya petasan besar yang kemudian dililiti potongan besi kecil-kecil sebagai peluru (shrapnel).

Ketika ditanya siapa yang mungkin jadi pelakunya, Ali hanya mengangkat bahu. Namun, dia menyebut pasti tidak jauh-jauh dari jaringan kelompok Santoso cs atau Bahrun Naim.

”Serangan dalam empat tahun terakhir itu nyaris sama semuanya,” kata Ali. Lebih cenderung nekat dan konyol, tapi semangat jihadnya sangat tinggi.

”Atau bisa juga lone wolf,” imbuhnya merujuk pada satu individu yang belajar bom sendirian dan kemudian melaksanakan aksi secara sendirian pula.

Meskipun kemampuan secara teknis sangat payah, tutur Ali, hal itu harus sangat diwaspadai. ”Yang berbahaya justru semangatnya,” ingat dia.

Menurut Ali, semangat beragama yang serampangan merupakan ladang subur bagi terorisme.

”Jika kondisi masyarakat seperti ini saat saya masih di dunia ikhwan jihadi, maka sangat enak melakukan perekrutan,” terangnya. (ano/c9/nw)

Exit mobile version