Site icon SumutPos

Jendral Polisi Jadi Pj Gubsu

Irjen Pol Drs Martuani Sormin, MSi bersama istri.

SUMUTPOS.CO – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menunjuk dua perwira tinggi (Pati) Polri untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur Sumatera Utara (Sumut) dan Jawa Barat (Jabar). Langkah tersebut dikarenakan adanya kekurangan pejabat eselon satu yang bisa menjadi pejabat (PJ) gubernur, saat masa jabatan gubernur terpilih berakhir. Padahal, belum ada gubernur terpilih baru karena masih proses pemilihan dalam pilkada serentak 2018.

Untuk dua pati itu adalah Irjen Martuani Sormin yang akan menjadi PJ Gubernur Sumut dan Irjen M Iriawan yang bakal menjadi PJ Gubernur Jawa Barat. Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Divhumas Polri Kombespol Martinus Sitompul menuturkan, dalam arahan Wakapolri Komjen Syafruddin saat rapat pimpinan Polri disebutkan bahwa ada dua pati Polri yang akan dipercaya memimpin sementara dua provinsi, Jabar dan Sumut. ”Namun, masih harus menunggu surat resminya dari Kementerian Dalam Negeri,” paparnya.

Irjen Martuani Sormin saat ini menjabat merupakan Kadivpropam Polri, sedangkan M Iriawan menjabat Asops Kapolri. ”Ini sama seperti pilkada sebelumnya, Irjen Carlo Brix Tewu menjadi Pejabat Gubernur Sulawesi Barat. Ini bukan kali pertama,” terangnya.

Kemungkinan besar, dua pati Polri itu akan menjabat selama empat bulan hingga lima bulan. Dari berakhirnya masa jabatan gubernur hingga gubernur terpilih yang baru. ”Belum resmi ya,” ujar mantan Kabidhumas Polda Metro Jaya tersebut.

Sementara itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengakui, pihaknya meminta bantuan Polri untuk menugaskan beberapa Patinya untuk menjadi penjabat (PJ) Gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara. Pasalnya, jumlah pejabat eselon satu yang ada di Kemendagri tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan di 17 provinsi.

“Kalau semua dilepas kosong kan Kemendagri,” ujarnya kepada wartawan, kemarin (25/1). Seperti diketahui, Kemendagri hanya memiliki 11 posisi untuk jabatan eselon satu. Itupun, beberapa di antaranya belum definitif atau ditempati Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen.

Terkait dipilihnya Jabar dan Sumut untuk ditempati PJ dari elemen Polri, Tjahjo menyebutnya sebagai penyesuaian. Menurutnya, tingkat kerawanan di kedua wilayah tersebut relatif tinggi. Dia menilai, ditunjuknya PJ ataupun PJS gubernur dari instansi Polri ataupun TNI bukanlah hal yang salah mengingat sudah menjadi praktik yang lumrah.

Pada pelaksanaan Pilkada 2017 lalu, ada dua PJ yang berasal dari aparat. Yakni Irjen Carlo Tewu di Provinsi Sulawesi Barat dan Mayjen Soedarmo di Provinsi Aceh. “Intinya pejabat TNI atau Polri yang berpangkat mayjen, eselon I. Bisa saja tahun depan ada juga dari kejaksaan,” imbuhnya.

Meski demikian, dia menegaskan jika hal itu masihlah usulan. Sebab, yang nantinya memutuskan adalah Presiden. Jika Presiden tidak menyetujui, maka pihaknya akan mengusulkan nama lainnya. 

Awas Jebakan Batman

Keputusan Mendagri menunjuk dua jenderal polisi menjadi pejabat sementara gubernur Sumut dan Jabar mendapat kritik tajam dari sejumlah kalangan. Pengamat Hukum Tata Negara di Sumut, Abdul Hakim Siagian meminta, Presiden Jokowi jangan mudah mengabulkan usulan Mendagri untuk memakai pejabat di lingkungan Polri. “Hemat saya, Jokowi jangan terjebak dengan usulan tersebut. Sebab bisa jadi ini ‘jebakan batman’ yang dibuat Mendagri terhadap presiden,” katanya kepada Sumut Pos, tadi malam.

Apalagi kata Hakim, ini mendekati tahun politik, serta akan berpotensi banyak masalah. Sebab, fakta hari ini, ia menilai, gesekan antara Polri dan TNI belum usai. “Apa sudah lupa kita dengan statemen Gatot Nurmantyo? Karenanya perlu kita ingatkan dalam hal ini, tidak perlu mencampuri sesuatu yang bukan di bidangnya. Kita perlu ingatkan juga, Polisi kita masih kurang, tugas mereka begitu banyak, utang-utang kasus apalagi, dan pidana itu memaksimalkan pencegahan. Nah pertanyaannya, pencegahan mana yang sudah efektif sehingga rasa aman, nyaman dan terlindungi bisa kita rasakan sebagai masyarakat,” paparnya.

Hal ini yang kemudian menurut Hakim, contoh-contoh pekerjaan rumah polisi yang harus diselesaikan, namun kenapa Mendagri melalui Sony Sumarsono malah mengurangi fakta-fakta tersebut. “Apakah itu haram? Tentu jawabannya tidak. Tapi bisa jadi perdebatan kenapa bukan dari lembaga itu. Meski demikian, kalau Jokowi menerima itu, tentu itu hak prerogatifnya. Kita hanya sekadar mengingatkan,” katanya.

Padahal, bisa saja disiasati bahwa pejabat eselon I tidak hanya di pusat, melainkan Sekda di daerah juga termasuk eselon I yang bisa ditugaskan sebagai Plt gubernur. Dirinya menangkap kalau Sekda dicurigai ada konflik kepentingan sebab sebagai ASN, sambung Hakim, apa ada jaminan bahwa polisi tidak berpihak alias netral. “Apalagi jika di satu daerah ada calon dari polisi, bisakah si Plt gubernur yang dari polisi itu netral? Ini salah satu contohnya,” jelas akademisi asal Universitas Sumatera Utara itu.

Ia pun mengkritisi landasan dan standar apa yang dipakai Mendagri sehingga ingin membawa alat negara dalam sistem pemerintahan. Cara yang ditempuh Thahjo Kumolo ini kata dia kurang lazim. Karena sudah digadang-gadang kepada publik melalui media meski baru bersifat usulan. “Wacana seperti ini menurut saya tidak elok dalam menjaga berbagai hal, khususnya subjektif orang-orang yang disebut di sana. Namun di satu sisi saya melihat, wacana ini sengaja dihembuskan untuk melihat respon publik terhadap nama-nama tersebut. Sehingga Presiden Jokowi bisa mempertimbangkan usulan tersebut,” katanya.

Sementara Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan, kebijakan Mendagri patut dipertanyakan. “Kalau benar itu sangat aneh dan bertentangan dengan semangat keadilan dan transparan,” ucapnya saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, kemarin.

Biasanya, tutur dia, yang ditunjuk sebagai pelaksana tugas gubernur adalah pejabat sipil yang mengusai wilayah itu dan tidak berpotensi konflik kepentingan. Mungkin sekretaris daerah (Sekda) atau pejabat senior lainnya. Jadi apa yang diputuskan mendagri tidak sesuai dengan kebiasaan yang selama ini berjalan.

Menurut Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra itu, penunjukkan jenderal polisi akan menimbulkan keraguan di masyarakat terkait pelaksanakan pilkada yang transparan dan demokratis. Masyarakat akan beranggapan ada pengerahan mesin birokrasi untuk memenang salah satu pasangana calon (Paslon). “Karena yang ditunjukkan orang yang tidak lazim,” urai dia.

Fadli mengatakan, akan memunculkan konflik kepentingan jika jenderal polisi yang ditunjuk. Apalagi di wilayah itu salah satu paslon berasal dari polisi, sehingga dikhawarikan mereka akan menjalin hubungan. Walaupun, gubernur sementara itu bisa adil dan transparan, tapi pasti akan tetap muncul syak wasangka. Dia pun mendesak mendagri untuk merevisi keputusan tersebut agar tidak menimbulkan kegaduhan baru. “Keputusan itu harus ditolak,” tegasnya.

Didik Murkianto, anggota Komisi III DPR menyayangkan kebijakan mendagri. Menurutnya, keputusan tersebut akan bisa menganggu lahirnya demokrasi yang bersih dan fair. Sebab, akan menjadikan aparat tidak netral dalam mengawal dan menjaga pilkada. Menurut dia, pelaksanaan pilkada berpotensi tidak bisa berjalan dengan demokratis.

Dia pun meminta mendagri dan kapolri mempertimbangkan kembali serta mengevaluasi penempatan pejabat polri sebagai pejabat sementara kepala daerah. “Seharusnya polri fokus menjaga keamanan dan ketertiban selama pilkada berlangsung,” ungkap dia. (idr/far/jun/jpg/prn/adz)

BIODATA

Irjen Pol Drs Martuani Sormin MSi

Tempat Lahir      : Lobu Sonak, Lumban Sormin, Pangaribuan, Tapanuli Utara, Sumut

Tanggal Lahir      : 30 Mei 1963

Agama  : Kristen

Jabatan Saat ini : Kadiv Propam Polri

Almamater         : Akademi Kepolisian (1987)

 

Karir:

Exit mobile version