Site icon SumutPos

Cuma BPK Penentu Kerugian Negara

Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama Satrya Langkun.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penghapusan kata “dapat” dalam pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terus menuai polemik. Selain menumpulkan penumpasan rasuah, putusan itu juga rentan digunakan sebagai acuan terduga koruptor untuk mengajukan praperadilan saat terjerat kasus korupsi.

Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama Satrya Langkun menuturkan, putusan MK itu menjadi acuan Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan surat edaran (SE). Di SEMA Nomor 4/2016 itu menyebut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memiliki kewenangan mendeklarasikan ada tidaknya kerugian keuangan negara.

Tentu, regulasi itu membuat hasil audit instansi lain, seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan inspektorat tidak bisa lagi digunakan sebagai acuan aparat penegak hukum untuk menentukan kerugian keuangan negara. ”Secara teknis, ini jelas menghambat pemberantasan korupsi,” ujar Tama kepada Jawa Pos, kemarin (26/2).

Penanganan kasus dugaan korupsi elektronik KTP (e-KTP), misalnya. KPK terancam terganjal di tahap penuntutan. Sebab, mereka menggunakan audit BPKP untuk memperoleh bukti kerugian negara dari kasus kakap tersebut. ”SEMA ini akan membuka ruang (koruptor) untuk praperadilan,” ungkapnya. MA mesti mereview aturan tentang lembaga pengaudit kerugian tersebut.

Menanggapi polemik itu, Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur diplomatis. Menurutnya, SEMA tentang pemberlakuan rumusan hasil rapat pleno kamar Mahkamah Agung itu merupakan ketentuan baru yang tidak jarang menuai kritik. ”Selalu saja resistennya ada,” ujarnya.

Pria yang akrab dipanggil Ridwan itu mengungkapkan, BPK menjadi instansi yang berwenang menyatakan ada atau tidak kerugian negara merupakan kebutuhan. Keputusan yang ditetapkan MA melalui SEMA tersebut sudah dipertimbangkan dengan matang. ”Kami lihat urgensinya,” ucap dia.

Yang terjadi selama ini, sambung dia, kerap ada perbedaan dari masing-masing auditor. Tidak terkecuali BPK dengan BPKP. Belum lagi auditor lain. Misalnya auditor dari perguruan tinggi. ”Kadang-kadang untuk mengabur-ngaburkan kerugian negara. Sehingga untuk kepastian sudah saja satu lembaga,” terangnya.

Itu adalah salah satu alasan MA memilih BPK. ”Namanya saja Badan Pemeriksa Keuangan,” ujar Ridwan. Selain punya tanggung jawab memeriksa keuangan negara, BPK juga punya sumber daya manusia (SDM) memadai. Instansi tersebut, kata Ridwan, punya perwakilan di berbagai daerah. Sehingga lebih mudah melakukan pemeriksaan.

Dengan begitu, hasil pemeriksaan BPK bisa menjadi pokok penilaian hakim dalam memeriksa perkara. Tidak ada lagi perbedaan berkaitan ada tidaknya kerugian negara dalam suatu perkara. “Kami ingin kepastian untuk memudahkan. Kalau begini, dipercayakan kepada BPK,” tambah dia.

Kejatisu Cuek, LBH Medan Dukung

Menyikapi polemik ini, Kejati Sumut tidak mempermasalahkan prihal SEMA No 4/2016 terkait kewenangan yang menyatakan ada tidaknya kerugian negara adalah BPK. “SEMA itu sifatnya tidak mengikat dan sementara. Jadi (tidak masalah, Red) masih menggunakan BPKP untuk dalam penghitungan kerugian negara,” kata Kasi Pemkum dan Humas Kejati Sumut, Sumanggar Siagian kepada Sumut Pos, Senin (27/2) siang.

Namun tidak dipungkiri, untuk melakukan audit PKN menggunakan auditor BPKP seperti di BPKP Perwakilan Sumut, pihak penyidik Pidsus Kejati Sumut mengalami kendala, yaitu lambannya proses penyelesaian audit PKN dilakukan BPKP Sumut.

“Makanya, kita sekarang menggunakan akuntan publik lebih cepat, efektif dan akurat sesuai dengan prosedur,” jelas mantan Kasi Pidum Kejari Binjai itu.

Meski dianggap melanggar SEMA itu, Kejati Sumut akan tetap melakukan pengusutan kasus korupsi sesuai prosedur saat ini. “Memang audit temuan dari BPK. Tapi, kami akan tetap menjalaninya sesuai dengan koridor hukum yang ada,” tandasnya.

Sementara, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan mengaku setuju dengan SEMA itu. Pasalnya, LBH Medan menilai, bila audit PKN dilakukan BPKP tidak objektif. Karena, banyak yang dilanggar, seperti ada intervensi penyidik sehingga bisa berdampak dengan kriminalisasi terhadap tersangka sebuah kasus korupsi.

“Karena BPKP hanya menerima berkas dari penyidik untuk melakukan audit kerugian negara. Sedangkan, BPK memiliki data awal untuk itu. Apalagi, BPK memiliki data awal juga untuk temuan kerugian negara,” beber Direktur LBH Medan, Surya Dinata, kemarin siang.

Surya menjelaskan, diantara dua instansi negara ini, pekerjaan lebih objektif melakukan PKN adalah BPK. Ketimbang BPKP, yang mengharap data dari penyidik kepolisian atau kejaksaan. Sedangkan, BPK sudah memiliki data awal temuan kerugian negara dari melakukan penyeledikan dari awal.

“Metode ini, harus dilakukan BPKP seperti BPK. BPK melakukan penghimpunan data, melakukan wawawancara terhadap pihak terkait. Sehingga komplit sudah temua itu, tidak berdasarkan dati dari penyidik saja. Jadinya, tidak ada menjadi korban dan kriminalisasi dalam pengusutan kasus dilakukan,” jelasnya.

“SEMA ini, untuk memantapkan fungsi BPK sebagai instansi melakukan audit kerugian negara. Jadinya, tidak ada pihak lain melakukan audit kerugian selain BPK,” pungkasnya. (tyo/syn/gus)

Exit mobile version