Site icon SumutPos

Pegawai KPK Tilap Uang Dinas Rp550 Juta

TEMU PERS: Sekjen KPK, Cahya Hardianto Harefa dan Kebag Pemberitaan KPK Ali Fikri saat temu pers, Selasa (27/6).

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Belum lagi tuntas kasus dugaan pungli di Rutan KPK, kini lembaga rasuah tersebut kembali diterpa kabar tak sedap. Seorang pegawai di bidang administrasi KPK, diduga menyelewengkan uang perjalanan dinas sebesar Rp550 juta. Kini, pegawai tersebut telah dicopot dari jabatannya.

“Dengan ini saya menyampaikan dugaan tindak pidana korupsi di lingkungan bidang kerja administrasi yang dilakukan salah satu oknum pegawai KPK,” kata Sekertaris Jenderal (Sekjen) KPK, Cahya Hardianto Harefa dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (27/6).

Cahya menjelaskan, kasus ini berawal dari kecurigaan atasan yang menerima keluhan terkait proses administrasi yang tak kunjung selesai. Proses administrasi itu berupa pemotongan perjalanan dinas pegawai KPK.

“Dugaan tindak pidana ini awalnya diketahui dan diungkap oleh atasan dan tim kerja dari oknum tersebut dengan keluhan adanya proses administrasi yang berlarut-larut dan adanya pemotongan uang perjalanan dinas yang dilakukan oknum tersebut kepada pegawai KPK yang melaksanakan tugas perjalanan dinas,” ungkapnya.

Cahya mengungkapkan, dugaan penyelewengan anggaran perjalanan dinas itu berjalan selama satu tahun, yang diduga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp550 juta. Dugaan penyelewengan tersebut, kemudian dilaporkan ke Inspektorat KPK dan ditindaklanjuti dengan pemeriksaan terhadap sejumlah pihak. “Inspektorat selanjutnya melakukan serangkaian pemeriksaan dan melakukan perhitungan kerugian keuangan negata dengan nilai awal sejumlah Rp550 juta dalam kurun waktu 2021-2022,” ucap Cahya.

Atas temuan tersebut, KPK kemudian mengambil sejumlah langkah, yakni melaporkan kasus tersebut ke Kedeputian Penindakan dan Eksekusi KPK untuk diproses dan dilaporkan ke Dewan Pengawas KPK untuk sidang dugaan pelanggaran kode etik. Selain itu, KPK juga akan membentuk tim khusus untuk pemeriksaan kedisiplinan pegawai untuk menangani pelanggaran di internal lembaga antirasuah.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan perkembangan kasus tersebut akan disampaikan kepada publik sebagai bagian dari prinsip keterbukaan KPK. “Penanganan perkara ini pasti kami juga akan sampaikan kepada masyarakat dan teman teman semuanya sebagai bentuk keterbukaan kerja KPK, tentu sebatas hal-hal yang memang diperlukan dan bukan informasi yang di kecualikan,” kata Ali.

 

Wapres Minta KPK Dibersihkan

Kasus korupsi yang terjadi di lembaga pemberantas korupsi ini menjadi atensi Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Wapres meminta KPK dibersihkan. “Jangan sampai justru KPK melakukan upaya pemberantasan korupsi tapi di dalam sendiri justru terjadi (praktik korupsi). Ini tentu harus lebih dulu dibersihkan,” kata Ma’ruf di Gunungkidul, DIY, Selasa (27/6).

Ma’ruf meminta lembaga yang kini dipimpin Firli Bahuri Cs tersebut mengusut dugaan pemerasan yang dilakukan petugas Rutan tersebut. “Di mana pun ada korupsi supaya terus (dituntaskan) apalagi itu di Rutannya KPK. Artinya, di matanya sendiri, saya kira saya setuju itu terus dilanjutkan, dituntaskan,” tegasnya.

Terbaru, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebut pihaknya sudah mencopot puluhan pegawai rutan dari jabatannya terkait kasus pungli di rutan KPK. “Sudah kita nonjobkan, puluhan kok,” kata Alex di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (26/6).

Alex memastikan lembaga antirasuah akan bersih-bersih setelah mencuatnya kasus pungutan liar tersebut ke publik. “Pokoknya kita ingin bersih bersih. Intinya itu kita ingin bersih,” ujar Alex.

 

Dewas “Cuci Tangan”

Terkait Dewan Pengawas (Dewas) KPK yang mengaku tidak memiliki wewenang untuk memecat pegawai rutan KPK yang melakukan pelecehan kepada istri tahanan, Mantan Ketua Wadah Pegawai KPK, Yudi Purnomo menilai, Dewas tengah berupaya ‘cuci tangan’. Yudi mengungkit soal Peraturan Dewan Pengawas (Perdewas) Nomor 2 tahun 2020 yang menjadi dasar Dewas dalam menentukan sanksi kepada kasus pelanggaran etik di KPK.

Dalam aturan itu telah termuat jelas wewenang Dewas KPK untuk memecat pegawai KPK yang melakukan pelanggaran etik berat. “Dalam Peraturan Dewas sendiri bisa memberhentikan pegawai dengan tidak hormat jika diberikan sanksi berat. Itulah saya heran kenapa dikatakan tidak bisa. Dan ketika dilempar ke Inspektorat, itu kan cuci tangan saja dari Dewas, karena putusan terhadap pelaku pelecehan seksual kepada istri tahanan adalah sanksi sedang,” kata Yudi kepada wartawan, Selasa (27/6).

Yudi juga mempertanyakan soal vonis pelanggaran etik sedang yang diputus Dewas KPK dalam kasus pelecehan istri tahanan. Menurutnya, pelaku bukan hanya harus dipecat, namun juga bisa diproses secara pidana. “Harusnya sanksi bagi pelaku pelecehan seksual adalah sanksi berat, dipecat tidak hormat, bahkan dipidanakan. Inilah yang menurut saya tidak adil dan tidak berpihak kepada korban, karena pelaku masih pegawai KPK,” jelas Yudi.

“Sementara Dewas telah memeriksa korban, saksi, dan bukti bukti sehingga tahu bagaimana pelecehan itu terjadi, dan terbukti melanggar etik. Namun anehnya hanya sanksi sedang,” tambahnya.

Dewas KPK kini juga merekomendasikan pegawai rutan KPK pelaku pelecehan istri tahanan itu untuk diproses pelanggaran disiplin di Inspektorat KPK. Yudi mengaku ragu pelaku pelecehan itu akan dikenakan sanksi berat. “Ketika Dewas menyerahkan ke Inspektorat untuk sanksi disiplin sementara Dewas sudah menyatakan sanksinya sedang terkait etik, saya ragu Inspektorat akan berani memecat oknum pegawai KPK yang melakukan pelecehan seksual tersebut,” katanya.

Ketua Dewas KPK Tumpak H Panggabean sebelumnya angkat bicara soal vonis pelanggaran etik sedang kepada pegawai rutan pelaku pelecehan ke istri tahanan. Tumpak mengaku Dewas KPK tidak memiliki wewenang dalam memecat pelaku. “Wah kita nggak bisa, harus disiplin dulu, nggak bisa. Kalau kita tidak punya wewenang untuk memecat orang, pegawai, tidak ada,” kata Tumpak kepada wartawan, Senin (26/6). (jpc/bbs/adz)

Exit mobile version