Site icon SumutPos

Dagingnya di Makan, Kulit jadi Tas Golf Seharga Rp25 Juta

Mengunjungi Cluster Kerajinan Kulit Buaya di Merauke

Cluster kerajinan kulit buaya di Kabupaten Merauke, satu-satunya yang ada di Provinsi Papua. Mungkin juga satu-satunya sentra kerajinan kulit buaya di tanah air. Kulit crocodylus novaeguneae itu dibuat dompet, jaket, tas, sepatu hingga tas golf dengan kualitas tinggi. Harga juga tinggi, mulai ratusan ribu hingga puluhan juta.

SYAHRIPUDIN, Merauke

Tanah Papua sangat kaya. Selain bahan tambang seperti emas, tembaga, batubara plus minyak bumi dan gas, di provinsi paling ujung tanah air itu juga hidup beragam reptil liar. Salah satunya buaya air tawar yang banyak di sungai dan rawa. Nyaris di setiap sungai dan rawa di provinsi itu pasti terdapat buaya dengan berbagai ukuran. Mulai ukuran sebesar tangan orang dewasa hingga beberapa meter.

Beberapa warga suku asli pedalaman Papua, hidup dari mencari binatang liar ini untuk disantap dagingnya. Kebanyakan buaya yang sering ditangkap berukuran di bawah 20 inci (seukuran lengan manusia dewasa). Sedangkan kulitnya dibuang begitu saja. Melihat itu, beberapa pengusaha lantas memanfaatkan kulit buaya untuk dibuat kerajinan. Seperti dompet, jaket, tas, sepatu hingga tas golf.

Saat ini, para pengusaha UKM (usaha kecil menengah) itu bergabung dalam Koperasi Animha. Di koperasi yang berdiri sejak 1996 ini terdapat 45 pengusaha kulit buaya yang memiliki lebih dari 200 pekerja. “Menjadi pengrajin kulit buaya cukup menjanjikan. Buktinya, saya bisa membiayai kuliah dua anak saya,” terang Joko Kinasih, salah satu pengusaha kerajinan kulit buaya kepada INDOPOS (grup Sumut Pos).

Dia juga mengatakan, omzetnya sebulan minimal mencapai Rp10 juta. “Tapi itu juga tergantung dari bahan bakunya. Karena buaya pada musim penghujan seperti ini sulit diburu. Kalau musim kemarau, buaya akan mengambang di sungai dan rawa-rawa dan mudah ditangkap,” ungkapnya juga ayah empat anak yang sudah menjadi  pengusah kulit buaya sejak 1998 ini. Pria yang akrab disapa Joko ini juga mengatakan, ada 5 suku pedalaman Papua yang jadi penyuplay tetap kulit buaya kepada para pengrajin.

Yakni, suku Kimma, Badai, Okaba, Muting dan Jagebob. “Biasanya kulit buaya kami dapat dari empat suku itu. Kami membelinya dari opsi (pedagang perantara yang berhubungan dengan suku pedalaman) bukan langsung dari para suku itu. Setiap inchi (1 inchi=2,54 cm) kami membayar Rp35 ribu-Rp37 ribu,’’ ungkap pengusaha asli Banyuwangi, Jawa Timur, yang bertransmigrasi ke Papua pada 1986 ini.

Selain masalah bahan baku, para pengusaha kulit buaya juga mengeluhkan produknya tidak bisa dijual keluar dari Papua. “Kami ingin kerajinan kulit ini kalau bisa dijual di seluruh Indonesia kalau bisa ekspor ke luar negeri, kami pasti untung besar. Tidak seperti saat ini yang hanya dijual di Provinsi Papua saja,” cetusnya juga. Untuk penjualan antar daerah biasanya dilakukan pedagang pengecer.

Para pedagang pengecer ini membeli produk kerajinan kulit buaya dari para pengusaha di Merauke lantas dijual lagi. “Mereka (pengusaha perantara, Red) yang untung besar karena kerajinan kulit buaya ini mereka jual berlipat-lipat harganya. Padahal kami yang bekerja keras membuatnya,” ungkapnya lagi.
Untuk diketahui, berbagai produk kerajinan kulit buaya sangat mahal. Contohnya, untuk dompet saja paling dijual Rp350 ribu. Begitu juga dengan gesper yang harganya Rp500 ribu hingga Rp2 juta dan tas wanita Rp3 juta-Rp5 juta. Sedangkan sepatu dan jaket kulit buaya Rp5 juta ke atas. Bahkan, tas golf dipatok Rp25 juta. “Harga semahal itu wajar. Karena pembuatan berbagai kerajinan kulit buaya butuh waktu lama,” terang Joko lagi.

Satu kulit buaya, harus disamak dengan waktu 15 hari plus beberapa hari untuk proses pengeringan kulit dengan matahari. “Saat ini, sudah canggih karena sudah ada bahan-bahan kimia. Butuh 9 bahan kimia untuk proses penyamakan. Belum lagi proses pewarnaan,” ungkapnya juga.

Dia juga menjelaskan, dulu untuk pewarnaan dengan pewarnaan alami dari kulit pohon, kulit buaya direndam 2 bulan. “Saat ini pewarnaan cuma butuh 1 hari selesai. Tapi memang hasilnya tidak sebagus pewarna asli dari kulit pohon itu,” ungkapnya juga.

Joko juga bersyukur kalau pemerintah pusat dan pemerintah daerah turun tangan membantu para pengusaha kulit buaya ini. Salah satunya dibantu dengan proses perizinan dan penyediaan modal kerja bergulir dari Kementerian Badan Usaha Milik Negar (BUMN). Salah satunya dari PT Askes (Persero) yang memberikan pinjaman dana bergulir sebesar Rp1 miliar untuk 20 pengusaha (masing-masing mendapatkan Rp50 juta). Penyerahan dana bergulir Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) dari PT Askes (Persero) itu diserahkan secara resmi kepada para pengusaha, Kamis (26/4) lalu bertempat di Aula Swissbel Hotel, Merauke, Papua.

Tidak tanggung-tanggung penyerahan dana bergulir itu langsung dilakukan Asisten Deputi Program Kemitraan dan Bina Lingkungan, Kementerian BUMN, Dr Upik Rosalina, MSi dan Direktur Keuangan PT Askes (Persero) Purnawarman Basundoro. “Bantuan yang diberikan kepada pengusaha kecil dari BUMN yang sudah berhasil itu merupakan kewajiban. Itu diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang BUMN. Istilahnya, BUMN mengembalikan keuntungan yang berhasil diraih kepada masyarakat. Selain itu, keuntungan BUMN juga untuk membantu warga miskin agar berusaha meningkatkan taraf hidupnya,” terangnya.

Sementara itu, Direktur Keuangan PT Askes (Persero) Purnawarman Basundoro mengatakan bantuan bergulir yang diberikan kepada pengusaha kulit buaya yang ada di Kabupaten Merauke diberikan untuk memotivasi agar usaha mereka lebih besar lagi. “Modal bergulir yang kami berikan kepada para pengusaha ini bunganya sangat rendah hanya 6 persen. Kami harapkan dengan modal kerja ini mereka bisa meningkatkan produksinya,” terangnya.
Pemberian dana begulir PKBL dari PT Askes (Persero) disambut dengan suka cita oleh para pengusaha kulit buaya. “Semoga dengan bantuan dana ini bisa membuat usaha kami terus berkembang,” ungkap Joko lagi.

Itu juga diamini Aminudin, pengusaha kulit buaya lainnya. “Karena untuk meminjam modal sangat sulit di sini,” terangnya.

Dia juga mengaku, dengan modal usaha itu bisa membuat usaha yang dia geluti sejak 2003 itu makin berkembang. “Modal ini akan saya belikan mesin-mesin untuk meningkatkan produksi pabrik saya. Saat ini omzet saya hanya Rp15 juta per bulan. Tapi saya yakin dengan dana ini maka omzet saya akan meningkat menjadi Rp20 juta per bulan,” terang pengusaha yang mengaku memiliki 7 pekerja tersebut. (bersambung)

Exit mobile version