Site icon SumutPos

Portugal 1 vs Prancis 0: Campeões

Timnas Portugal merayakan keberhasilannya menjadi juara Euro 2016.
Timnas Portugal merayakan keberhasilannya menjadi juara Euro 2016.

SAINT-DENIS, SUMUTPOS.CO – Portugal bukan keledai. Karena hanya keledai yang jatuh dalam satu lubang lebih dari sekali. Pada Senin dini hari kemarin WIB (11/7) Seleccao das Quinas – julukan Portugal – terhindarkan dari status tersebut begitu berjumpa dengan tuan rumah Prancis dalam laga final Euro 2016. Campeões, ya itulah kata yang banyak disebut setiap fans Portugal di seluruh penjuru dunia. Ya, juara!

Di Stade de France, Saint-Denis, Cristiano Ronaldo dkk menjadikan Prancis sebagai negara tim tuan rumah kedua yang tumbang di laga final setelah Portugal pada final Euro 2004. Ketika itu, Yunani yang memberi noda Portugal dengan kemenangan 1-0 di Lisbon. Dengan skor yang sama, Portugal pun menodai siklus juara 16 tahunan Prancis.

Bukan Ronaldo. Bukan pula Luis Nani. Adalah Eder yang jadi pahlawan di balik malam paling indah bagi negara berperingkat keenam FIFA itu. Golnya di menit ke-109 perpanjangan waktu tersebut memutus tradisi Prancis yang selalu juara sebagai tuan rumah major tournament. Sebelumnya, Prancis menjadi juara Euro 1984 dan Piala Dunia 1998 di kandangnya sendiri.

Selain itu, Eder menjadikan Minggu malam waktu setempat itu sebagai hari paling bersejarah di persepak bolaan Portugal. Pasalnya, ini kali pertamanya Portugal mengalahkan Prancis di dalam sebuah major tournament. Yang lebih bersejarah lagi, ini kali pertama salah satu negara di Semenanjung Iberia itu mampu mengangkat trofi juara.

Trofi Henry Delaunay menjadi trofi pertama yang dibawa pulang Portugal setelah turun dalam 7 edisi Euro, dan enam edisi Piala Dunia. ”Ini baru gelar pembuka dari kami. Tetapi, jika Tuhan berkenan maka kami bisa meraih lebih banyak gelar lagi. Bahkan lebih banyak final lainnya di masa depan,” ujar gelandang Portugal, Joao Moutinho, dikutip dari FourFourTwo.

Trofi Piala Dunia 2018 dan Euro 2020 yang sekarang ganti jadi bidikan skuad besutan Fernando Santos itu. Moutinho menyebut, kedalaman dan kematangan skuad yang akan menjadi modal Portugal untuk misi tersebut. ”Kami punya skuad gabungan antara pemain berpengalaman dan pemain muda. Di sisi pemain muda, mereka pemain-pemain yang hebat,” lanjutnya.

Dari sisi rerata usianya, rerata usia penggawa Portugal tahun ini tidak lebih tua dibandingkan di Piala Dunia 2014. Di Piala Dunia dua tahun lalu, rerata usia komposisi pemain Portugal berada di 28,1 tahun. Sedangkan, tahun ini lebih muda dengan 27,8 tahun. Itu yang menjadi sinyal Portugal akan lebih matang di Piala Dunia 2018 mendatang.

Moutinho yang bermain untuk AS Monaco itu mengakui Portugal tidak bermain cantik. Dalam final kemarin saja, Portugal lebih banyak bermain bertahan. Dari sisi penguasaan, hanya 44 persen saja yang mampu mereka catatkan. Kemudian, dari sisi agresivitas pun hanya tiga kali tembakan on target yang dilakukan Portugal dari 10 kali percobaan.

Selain itu, hanya Portugal tim juara Euro yang memastikan gelar dengan hanya sekali menang di dalam 2 x 45 menit sejak fase grup. Overall, sejak fase grup Portugal hanya sekali menang dan tujuh kali lainnya imbang dalam waktu normal. Karenanya, tidak salah apabila Portugal disebut sebagai tim juara Euro terburuk.

Meski demikian, para penggawa Portugal seakan membiarkan kritikan itu hanya sebagai angin lalu. Salah satunya bek Raphael Guerreiro. Dalam wawancaranya kepada RTP, pemain kelahiran Paris 22 tahun yang lalu itu tidak peduli seberapa buruk mereka bermain. ”Yang penting menang,” ucapnya, dikutip dari Soccerway.

Diungkapkannya, tidak ada tim kontestan Euro 2016 yang susah payah menjejak Prancis hanya untuk bermain cantik. ”Semuanya datang ke sini pasti tujuannya untuk memenangi turnamen ini. Dan, itu yang sudah berhasil kami buktikan. Gelar ini layak bagi kami,” lanjut pemain yang pernah bermain di Ligue 1 bersama Lorient itu.

Bagi Prancis, ini pukulan telak setelah ekspektasi besar yang sudah mereka panggul sejak pada awal turnamen. Makanya, para penggawa Les Bleus – julukan Prancis – meninggalkan Stade de France dengan langkah gontai. Tidak terkecuali Blaise Matuidi. ”Begitu kalah dalam final, hanya kekecewaan yang tertinggal,” sesalnya.

Matuidi layak bersedih. Karena, ini kali pertamanya dewi fortuna tidak lagi duduk di samping Didier Deschamps. Tidak seperti pada fase grup lalu yang dua kali tuan rumah terselamatkan gol-gol di menit akhir. Sementara, kemarin tidak ada satu pun dari 18 tembakannya yang berhasil merobek jala gawang Rui Patricio.

Sebaliknya, angka kegagalannya memanfaatkan setiap peluang pun mencapai 61,1 persen. Itu angka kegagalan terbesar Prancis selama Euro 2016. Hanya, pemain yang memperkuat Paris Saint-Germain (PSG) meminta rekan-rekannya segera bangkit. ”Yang harus kami lakukan sekarang adalah, lupakan!,” harapnya.

”Secepatnya harus kami lakukan. Karena kualifikasi Piala Dunia sudah dekat, laga pertama di bulan September. Kami harus sudah bersiap untuk tantangan itu. Kami harus membalasnya di sana,” tegasnya. Di Borisov Arena, Barysaw, Prancis menghadapi Belarusia dalam matchday pertama Grup A kualifikasi Piala Dunia 2018. (ren/jpg/ril)

Exit mobile version