Site icon SumutPos

APBD Habis untuk Pegawai

Remunerasi Tinggi, 124 Daerah Terancam Bangkrut

Program remunerasi yang dihembuskan pemerintah dalam misi reformasi birokrasi nampaknya menjadi bumerang. Kenaikan belanja pegawai negeri yang terjadi di beberapa kurun waktu, nampaknya kini mulai membebani anggaran di daerah.

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mencatat, sebanyak 124 daerah menggunakan lebih dari 50 persen anggaran daerahnya hanya untuk belanja pegawai.

“Tingginya belanja pegawai ini membuat daerah terancam kebangkrutan,” kata Yuna Farhan, Sekretaris Jenderal FITRA dalam keterangan di Jakarta, kemarin (3/6).

Berdasarkan data yang dihimpun FITRA, terdapat 124 daerah yang belanja pegawainya mencapai angka 60 persen ke atas di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2011. Jika dipersempit lagi, kata Yuna, sebanyak 16 daerah ternyata menganggarkan belanja pegawai mencapai 70 persen lebih (lihat grafis). Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, menduduki peringkat tertinggi dengan belanja daerah mencapai 83 persen.

“Pelayanan publik tidak optimal karena mayoritas belanja daerah hanya untuk ongkos tukang,” kata Yuna.
Jika hal itu berlarut-larut, ujar Yuna, daerah yang belanja pegawainya lebih tinggi terancam kebangkrutan. “2-3 tahun lagi, pendapatan daerah itu bisa terancam,” prediksinya.

Secara umum, porsi rata-rata daerah menganggarkan belanja pegawai telah naik. Pada tahun 2007, rata-rata belanja pegawai mencakup 44 persen anggaran. Di tahun 2010, rata-rata belanja pegawai itu meningkat menjadi 55 persen. Ironisnya, belanja modal atau penambahan inventaris aset tetap yang rata-rata jumlahnya 24 persen pada tahun 2007, kini turun menjadi 15 persen pada tahun 2010.

Menurut Yuna, fenomena ini terjadi disebabkan kebijakan pemerintah dalam mengemas reformasi birokrasi melalui remunerasi. Setidaknya dalam empat atau lima tahun terakhir, rekrutmen PNS terus menerus dilakukan tanpa memperhatikan keterbatasan anggaran. Ada pula sejumlah kebijakan yang berimplikasi pada beban belanja pegawai, seperti pengangkatan Sekretaris Desa menjadi PNS.

Di level yang lebih tunggi, reformasi birokrasi dengan metode itu telah terbukti tidak mengurangi perilaku korupsi. “Kenaikan gaji sebesar 5-10 persen mulai tahun 2007 turut berkontribusi dalam beban belanja pegawai,” sorotnya.
Menurut Yuna, harus ada solusi untuk mengantisipasi ancaman kebangkrutan yang dialami daerah. Tidak hanya dengan pensiun dini, harus ada kebijakan dana perimbangan kepada daerah yang berhasil meningkatkan pendapatan dan mengurangi belanja pegawainya. “Daerah yang mampu merampingkan birokrasi dan meningkatkan pendapat harus mendapat insentif,” jelas dia.

Selain itu, melakukan depolitisasi birokrasi. Kepala daerah sebagai pembina PNS daerah harus menghilangkan politisasi, yakni janji-janji menambah berbagai tunjangan demi kepentingan politik lima tahunan. “Perlu juga menyusun kembali rasio jumlah pegawai berdasar kondisi geografis dan kemampuan fiskal daerah,” tegasnya.
Dari 16 daerah yang berada di posisi teratas APBD paling tidak pro rakyat, 7 di antaranya dipimpin oleh kepala daerah yang diusung PDIP. Yakni Klaten, Pemalang, Kulon Progo, Bantul, Kuningan, Kota Karanganyar, termasuk Lumajang yang menjadi ‘top skor’ APBD paling tidak pro rakyat.

Sewaktu dikonfirmasi, Sekjen DPP PDIP Tjahjo Kumolo terkejut dengan data tersebut. Menurut dia, PDIP memiliki kebijakan politik bahwa setidaknya 50 persen APBD harus dibelanjakan untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah. “Kalau anggaran untuk rakyatnya masih dibawah 50 persen, jelas harus dilakukan revisi.  DPRD setempat tentunya harus mengambil peran yang lebih kritis,” tegas Tjahjo. (bay/pri/jpnn)

16 kab/Kota Dengan Belanja Pegawai 70 persen ke Atas

No Kab/Kota Provinsi Porsi Belanja Pegawai
1 Tasikmalaya Jawa Barat 70 persen
2 Klaten Jawa Tengah 70 persen
3 Bitung Sulawesi Utara 70 persen
4 Padang Sidimpuan Sumatera Utara 70 persen
5 Sragen Jawa Tengah 70 persen
6 Purworejo Jawa Tengah 70 persen
7 Pemalang Jawa Tengah 70 persen
8 Kulon Progo DI Yogyakarta 71 persen
9 Bantul DI Yogyakarta 71 persen
10 Kuningan Jawa Barat 71 persen
11 Palu Sulawesi Tengah 71 persen
12 Simalungun Sumatera Utara 72 persen
13 Agam Sumatera Barat 72 persen
14 Ambon Maluku 73 persen
15 Karanganyar Jawa Tengah 75 persen
16 Lumajang Jawa Timur 83 persen

Sumber: Seknas FITRA, Diolah dari APBD 2011 DJPK, Kemkeu.

Exit mobile version