Site icon SumutPos

Bea Impor Belum Tuntas

Dari Peringatan Hari Film Nasional

Menbudpar Jero Wacik memenuhi janjinya. Dia membuka aturan baru pajak film lokal dan impor bertepatan dengan Hari Film Nasional, Rabu (30/3). Aturan pajak baru yang dibeber masih sebatas untuk film lokal. Untuk aturan baru pajak film impor, masih digodok Kementerian Keuangan.

D    i depan para insan perfilman, Wacik menjelaskan aturan perpajakan film asing sudah mengalami perkembangan. Dia mengatakan, ancaman pihak Motion Picture Association of America yang akan menghentikan distribusi film Hollywood tidak bakal terjadi.

Sebab, tegas menteri asal Singaraja Bali itu menjelaskan, pihak perwakilan MPAA dengan pemerintah Indonesia sudah duduk satu meja. “Pada intinya, kami menganut sistem win-win solution,” tandas Wacik. Diantaranya adalah, pemerintah tidak menutup pintu bagi film impor asal negeri paman Sam. Sebaliknya, importer film juga harus membayar pajak yang wajar.

Sayangnya, dalam kesempatan kemarin Wacik belum membeber rinci gambaran kebijakan pajak baru bagi film impor. Dia hanya mengatakan, Kemenkeu saat ini sedang membahas beberapa opsi.

Diantaranya adalah menarik kembali kebijakan penetapan pajak royalti atas film impor. “Tapi kepastiannya tunggu dulu ya,” ujar pria yang sudah menjadi Menbudpar selama tujuh tahun itu. Wacik juga mengatakan, bisa jadi pemerintah justru tidak menaikkan seluruh pajak impor dan bea masuk film asing.

Wacik juga mengatakan, pemerintah bisa jadi mengembalikan status pajak film impor seperti dulu. “Jika dikembalikan status quo seperti dulu, mungkin tidak ada polemik lagi,” tambah Wacik.

Pertimbangannya, pemerintah menganggap industri perfilman tanah air dalah padat karya. Wacik khawatir, jika distribusi film impor diputus bioskop sepi lalu membuat pekerja di PHK. Menurutnya, langkah tersebut tidak sejalan dengan upaya pemerintah yang terus mengupayakan lapangan kerja baru.

Pertimbangan pemerintah selanjutnya adalah keberadaan film asing bisa menjadi stimulus film nasional. Film Hollywood, ujar Wacik, bisa dijadikan referensi untuk mendongkrak kualitas film lokal. “Kita bisa bandingkan, apakah kualitas Ayat-ayat Cinta itu sudah sama dengan Pretty Woman,” kata dia.

Sementara untuk kebijakan pajak film lokal, bahan-bahan produksi film yang dulu masuk kategori barang mewah sudah dihapus. Selama masuk dalam kategori barang mewah, bahan-bahan produksi film tersebut dikenakan pajak 40 persen. “Sekarang sudah ditetapkan pemerintah pajaknya nol persen,” tegas Wacik.

Pembahasan selanjutnya yang masih digodok pemerintah adalah aturan baru pajak PPn (Pajak Pertambahan Nilai). Selama ini, PPn yang dikenakan pada film lokal adalah 10 persen. Wacik menyebut, tidak menutup kemungkinan besaran PPn untuk film lokal juga bisa di-nol-kan. Yang penting, tambah Wacik, motivasi pemerintah dalam pemberlakuan aturan pajak baru perfilman itu untuk melindungi dan mendorong produksi film lokal.  Diberitakan sebelumnya, pihak MPAA selaku distributor film besutan rumah produksi ternama di Amerika ke Indonesia mengancam menghentikan distribusinya. Pemicunya adalah mereka protes karena beban pajak tiba-tiba melambung tinggi. Masyarakat penikmat film sempat dibuat cemas dengan ancaman tersebut. (wan/jpnn)

Hanung Bramantyo: Film Nasional Maknanya Apa Sih?

Tanggal 30 Maret kemarin ditetapkan sebagai Hari Film Nasional. Sejarah itu berdasarkan hari pertama shooting Film Doa dan Darah yang disutradarai oleh Bapak Usmar Ismail pada tahun 1950. Film Doa dan Darah sendiri adalah film pertama yang dibuat oleh anak bangsa dan perusahaan bangsa Indonesia sendiri (PERFINI) dimana Usmar Ismail juga termasuk salah satu pendirinya.

Nah terkait Hari film nasional, sutradara Hanung Bramantyo buka suara. Dia tidak mau berpolemik soal pajak royalti, namun lebih pada arti momen Hari Film Nasional kemarin. Menurut dia, Hari film nasional merupakan saat yang tepat untuk melakukan refleksi. Baik pemerintah maupun insan perfilman seharusnya saling bekerja sama untuk memajukan perfilman Indonesia.

“Buat saya, yang paling penting adalah merefleksi. Artinya, film nasional itu maknanya apa sih? Apakah film yang berbahasa Indonesia, film yang disutradarai orang Indonesia atau apa. Kalau berbahasa Indonesia, kok Merah Putih sama Opera Jawa tidak masuk di FFI, lalu apa kriterianya,” katanya.

Hanung menambahkan, makna film nasional cenderung masih ambigu. Ia berharap ketidakjelasan itu segera mendapat rumusan yang jelas. “Kalau belum bisa merumuskan film nasional, tidak perlu pakai kata-kata itu. Film dari Indonesia, mungkin cukup itu saja, atau film lokal,” tuturnya.

Ia berharap agar kejayaan film nasional yang pernah terjadi  bisa terulang. Beberapa film nasional yang pernah meraih penghargaan, seperti Tjoet Nja’ Dhien (1988) dan Ibunda (1986) diputar ulang agar dapat dinikmati lagi. (bbs/jpnn)

Exit mobile version