Site icon SumutPos

Budaya dan Tradisi Imlek

Gong Xi! Gong Xi!
Gong Xi Fa Cai! Kiong Hi Huat Chai!  Ucapan yang bermakna selamat tahun baru Imlek dan semoga murah rezeki akan terlontar ketika dua orang yang merayakan Imlek bertemu, baik di jalan ataupun ketika mereka  bertamu pada hari raya Imlek.

Oleh: Yusrin

Imlek sesungguhnya ‘diawali’ dari hari raya Tang ceh (Dong zhi) yakni hari raya kue onde. Kue onde adalah sejenis kue yang bentuknya bulat-bulat kecil dan diberi warna pink dan putih. Terkadang juga diberi warna kuning dan hijau. Kue onde ini diberi gula merah atau gula putih. Kue onde atau di Sumatera Utara dikenal dengan ‘yie’ (bulat) menandai gerbang memasuki tahun baru Imlek. Umumnya Tang ceh jatuh pada bulan sepuluh atau sebelas menurut penanggalan Imlek atau tanggal 21-22 Desember penanggalan Masehi.

Ketika kita memakan kue onde, maka usia kita akan bertambah satu tahun. Kue onde ini biasanya juga dimakan menurut usianya, misalnya seorang anak berumur tujuh tahun maka dia harus memakan tujuh buah kue onde. Tetapi, peraturan ini hanya berlaku bagi anak-anak saja. Bagi orangtua yang berumur tujuh puluh tahun, misalnya tidak mungkin memakan kue onde sebanyak itu. Hal inilah yang sering dikeluhkan dan diprotes anak-anak karena anak-anak akan memakan lebih sedikit dari orangtua. Orangtuanya hanya tersenyum-senyum, menanggapi protes anak-anaknya. Rangkaian Imlek akan berakhir pada hari kelima belas atau yang dikenal dengan Cap Go Me.

Perayaan Imlek pada mulanya adalah perayaan memasuki musim semi. Di negeri asalnya, negeri tirai bambu, dikenal empat musim. Masyarakat Tiongkok ketika itu adalah masyarkat yang bercorak agraris.  Corak masyarakat agraris yang sangat akrab dengan segala perubahan musim, cuaca dan gejala-gejala alam. Memasuki musim semi yang indah, masyarakat menyatakan rasa syukur kepada Thian Kong (Tuhan) dengan mempersembahkan berbagai sesajen. Sesajen-sesajen ini semuanya diberi warna merah yang melambangkan kebahagiaan.

Perayaan Imlek ini kemudian menyebar ke seantero dunia, karena sejalan dengan migrasi penduduk ke berbagai belahan dunia. Migrasi penduduk yang terbesar adalah ke Asia dan Amerika Utara seperti Kanada. Demikian pula dengan keturunan Tionghoa di Indonesia juga merayakan hari raya Imlek. Hari raya Imlek selalu dimaknai sebagai salah satu budaya Tionghoa yang wajib dilestarikan dan merupakan ikatan yang mempersatukan seluruh komunitas keluarga ke dalam satu kesatuan.

Penyembahan dan Ucapan Syukur

Ucapan Syukur dan penyembahan terhadap Thian Kong dilakukan pada malam menjelang tahun baru Imlek (Sa Cap Me atau malam ke-30). Tepat pukul dua belas, segala macam persembahan telah diletakkan dengan rapi di meja persembahan yang biasanya diletakkan di pekarangan rumah yang langsung menghadap ke langit. Atau bisa juga di loteng teratas dari rumah yang menghadap ke langit.

Persembahan-persembahan baik berupa ayam, bebek dan buah-buahan semuanya ditempeli dengan kertas merah atau dibubuhi gincu berwarna merah. Acara ritual ini akan diakhiri dengan membakar Gin cua (Kertas Perak), Kim Cua (Kertas emas) dan Thi kong kim (Kertas emas yg dipersembahkan utk Tuhan).  Kertas Thi kong kim dibentuk dengan aneka rupa seperti nenas dan lain-lain.  Ketiga kertas ini akan dibakar ketika jam telah menunjukkan pukul dua belas atau telah terjadi pergantian tahun.

Pada era Reformasi ini, dimana hari raya Imlek telah ditetapkan resmi menjadi hari libur resmi. Pergantian tahun ini selalu dimeriahkan oleh petasan-petasan yang membuat langit tampak indah, bermekaran dan berpijar bunga-bunga api yang menghiasi angkasa raya. Suara petasan dan berpijarnya bunga-bunga api menambah semarak Imlek pasca-Orde Baru.

Kemudian, acara penyembahan akan berlanjut keesokkan harinya. Orang-orang Tionghoa yang merayakan Imlek, terutama anak-anak, akan bangun pagi-pagi. Lantas, mereka akan mengenakan pakaian baru terutama yang berwarna merah. Mengenai warna-warna pakaian yang boleh dipakai, tidak boleh dipakai, atau harus dipakai biasanya hari-hari menjelang Imlek, ada dewa-dewa yang mengeluarkan aturan, perintah atau himbauan. Misalnya pada hari raya pertama harus mengenakan pakaian berwarna kuning, karena diyakini warna ini akan membawa berkah. Umumnya, penganut-penganut Kong Hu Cu ( Kong Fu zi/ kong Fu Tze) taat dan percaya kepada perintah dewa-dewa.

Semua anggota keluarga harus menyembah di meja abu leluhur. Di atas meja abu biasanya telah dipersembahkan Tie koi (Kue Keranjang), Huat koi ( Kue berkah), buah-buahan dan arak.  Setiap anggota keluarga, mengambil tiga batang hio (dupa) kemudian membakarnya, bersujud, kedua tangan ditangkupkan di depan dada, dan tiga batang hio diayun-ayunkan. Kemudian mereka berdoa mengucapkan syukur dan memohon berkah kepada leluhur dan nenek moyang agar memberikan kedamaian, suka cita dan berkah kepada mereka di tahun baru ini.

Acara atau ritual penyembahan pada hari raya Imlek akan berlanjut dengan melakukan ritual penyembahan di kelenteng-kelenteng setempat bagi yang beragama Kong Fu Tze. Dupa-dupa naga raksasa akan menghiasi acara penyembahan di kelenteng-kelenteng. Asap dupa akan membumbung tinggi dan mengitari pelataran kelenteng. Kemudian, kertas-kertas sembahyang dibakar menyatakan rasa syukur dan berterima kasih kepada Tuhan. Ritual penyembahan pada hari pertama berakhir.

Ritual penyembahan dalam rangka Imlek akan dilaksanakan kembali pada hari ke sembilan. Hari raya kesembilan atau dikenal dengan hari raya tebu. Atau dikenal juga dengan hari Imlek suku Hokkian (Fu jian).

Menurut lengenda, perayaan Imlek hari kesembilan dirayakan oleh suku Hokkian adalah karena pada hari raya Imlek terjadi pertempuran antara tentara Nasionalis Chiang Kai Sek  dan tentara Komunis Mao Tze Tung. Karena kalah kekuatan, maka pasukan Chiang Kai Sek bersembunyi di ladang tebu. Pasukan itu baru keluar dari ladang tebu pada hari kesembilan, ketika suasana telah aman dan mereka pulang ke rumah untuk merayakan Imlek bersama keluarnya. Oleh karenanya, perayaan Imlek hari kesembilan selalu menyertakan tebu dalam ritual penyembahannya. Namun, perkembangkan selanjutnya di Sumatera Utara, tidak hanya suku Hokkian yang mengadakan ritual penyembahan pada hari kesembilan, banyak orang-orang Tionghoa dari suku lain juga turut mengadakan ritual penyembahan hari kesembilan.
Penyembahan pada hari Cap Go Me

Rangkaian Imlek akan berakhir pada hari kelima belas atau Cap Go Me. Muda-mudi akan merayakan Cap Go Me di pantai-pantai karena dari sana, bulan akan kelihatan bulat bundar sempurna. Cap Go Me ini juga dijadikan anak-anak muda sebagai ajang mencari jodoh.

Ritual atau upacara penyembahan yang dilakukan pada malam Cap Go Me adalah menyembah dewi bulan. Sesajen-sesajen diletakkan pada sebuah meja yang telah disediakan di pekarang rumah yang menghadap langit atau ruang loteng tertinggi yang menghadap langit. Sesajen-sesajen ini berupa buah-buahan, bedak dan kue bulan. Dalam doa-doa yang dipanjatkan, selain memohon murah rezeki, damai sejahtera, usaha lancar biasanya bagi anak-anak gadis juga memohon kecantikan dan murah jodoh karena dewi bulan adalah dewi yang sangat cantik. Rangkaian ritual Imlek akan berakhir pada Cap Go Me ini. Namun, ada satu lagi Cap Go Me yang dirayakan secara besar-besaran yakni Cap Go Me pada pertengahan bulan delapan penanggalan Imlek.

Perayaan Imlek tentu saja juga dirayakan oleh Tionghoa Kristen dan sebagian Tionghoa Muslim. Ritual-ritual ini tentu tidak dilaksanakan oleh kedua penganut agama tersebut. Mereka menyembahkan rasa syukur kepada Tuhan menurut tata cara agama mereka.

Akhir kata, penulis mengucapkan: “Selamat tahun baru Imlek, semoga di tahun ular ini, kita bertambah sukses, bahagia dan murah rezeki. Kiong Hi! Kiong Huat Chai.(*)

Penulis adalah pemerhati budaya Tionghoa

Exit mobile version