Site icon SumutPos

Polri Harus Bertindak Apa Adanya, Bukan Karena Ada Apanya

Oleh: Kombes Pol Dr H Hery Subiasauri, SH MH, M.Si

Perilaku yang ada ditubuh Polri dalam rangka meningkatkan pencitraan di masyarakat dan dalam rangka meningkatkan kinerja kepolisian di mata masyarakat itu dapat dilakukan melalui dua aspek. Bagi saya, setiap kegiatan yang dilakukan Polri itu harus berpengaruh bagi internal dan berpengarauh kepada eskternal.

Saya angkakan, kalau internal itu nilainya 30 persen dan eskternal itu 70 persen. Internal itu adalah personel kepada atasan dan rekannya sesama Polri. Sementara eksternal itu kegiatan yang memberi pengaruh dan kontribusi kepada masyarakat.

Menurut saya, kegiatan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sesuai teori kebijakan publik itu, harus diterima kepada Polri sebesar 30 persen dan masyarakat harus dapat menerimanya sebesar 70 persen.

Saya misalkan, setiap pagi itu ada Polri yang bertugas untuk mengatur lalulintas di jalanan. Jika saya rangkum, Polisi rugi 30 persen dalam melaksanakan tugas negara tersebut. Pasalnya, personel yang bertugas mengatur lalulintas di jalanan tidak ikut apel di markasnya masing-masing. Jadi dia tidak mendapat pengarahan dari atasannya. Tapi disisi lain, 70 persen masyarakat terbantu dengan adanya Polri yang mengatur lalulintas yang menjadi tertib.

Contoh yang kedua saya misalkan, dalam menghadapi geng motor, ada kegiatan-kegiatan yang dilakukan Polri. Misalnya melakukan pertemuan dengan tokoh-tokoh agama dan memberi ceramah kepada remaja maupun pelajar dalam rangka memberi pembinaan. Dalam hal ini menurut saya. Polri hanya untung 30 persen, sedangkan 70 persen keuntungan ada di masyarakat, karena masyarakat mau menerima tentang pembinaan tersebut.

Setiap kegiatan yang dilakukan Polri, pasti ada sejumlah masyarakat yang tidak menerima. Contoh kecilnya, misalnya Polri melakukan sweeping dalam rangka menyambut hari raya Idul Fitri. Pasti ada yang pro dan kontra dalam kegiatan itu. Yang pro masyarakat akan senang dan merasa terlindungi dari ancaman bahaya.

Tapi disisi lain, ada masyarakat yang menganggap ini hanya bersifat pencitraan saja dan merasa kepentingannya terganggu akibat sweeping tersebut. Pasalnya arena kepentingan masyarakatnya sendiri tidak tercukupi.

Saya melakukan pendekatan kepada masyarakat, baik internal maupun eksternal. Mungkin bagi saya, saya hanya dapat ucapan terima kasih dari atasan saya. Tapi di masyarakat saya jadi dikenal. Paling tidak keberadaan saya diterima masyarakat.

Menurut saya, ada dua tindakan untuk meningkatkan pencitraan di tubuh Polri, yakni aktif dan pasif. Pasif sebesar 40 persen, dan 60 persen nya harus aktif. Inilah yang harus diutamakan kepada masyarakat. Saya misalkan kembali, ada pejabat yang naik bis, kemudian di eskpose di media. Tapi apakah ada perubahan untuk mengajak masyarakat untuk ikut naik bis.

Sekarang ini banyak pejabat yang menunjukkan pencitraan seperti itu. Bagi saya, masyarakat tidak memerlukan itu. Dalam berprilaku kita juga harus pasif dan aktif. Misalnya, Polri berdiri tegak, senyum sama orang. Itu masuk kategori pasif. Nah, yang dikatakan aktif itu apabila masyarakat menerima hal tersebut. Makanya menurut saya, kepemimpinan yang diharapkan itu karena aktif, profil dan perilaku orang tersebut. Saya rasa pimpinan saya di Poldasu sudah memiliki sifat itu.

Dalam teori kebijakan publik, pencitraan dilakukan kepada atasan dan kepada masyarakat.

Jika polisi tidak berpangaruh kepada eskternal, diluar ruang lingkup kepolisian, maka Polr itu telah gagal. Artinya, 70 persen masyarakat tidak terpuaskan, karena Polri itu hanya mengutamakan kepentingan internal yang saya kalkukalisakan sekitar 30 persen.

Kehormatan itu saya pakai untuk senjata saya. Saya rasa mulailah saatnya bertindak karena apa adanya, bukan karena ada apanya. (*)

Penulis Direktur Binmas Kepolisian
Daerah Sumatera Utara

Exit mobile version