Site icon SumutPos

Pemiskinan Koruptor, Sudahkah Solusi?

Rimson Chandra Napitupulu

AIDS adalah sebuah penyakit yang mematikan bagi penderitanya. Virus HIV sebagai penyebab utamanya sangat mudah menyebar dan menjalar cepat di seluruh tubuh. Jika penyakit ini sudah memasuki tahap sangat kronis dalam tubuh penderita, nyawa penderita sangat kecil kemungkinan dapat diselamatkan. AIDS adalah penyakit yang paling berbahaya yang dapat membunuh seseorang.

Penyakit ini akan semakin parah jika tidak dilakukan dengan cara pengobatan dan penyembuhan yang tepat serta progresif. Bahkan, jika dokter yang diharapkan tidak profesional dan tangguh serta tak kunjung bertindak cepat mengurusnya, dikhawatirkan penyakit ini seakan menjadi bom waktu yang siap meledak sewaktu-waktu yang dapat mengancam nyawa.

Jika dokter tidak bijak dan telaten memberikan obat mujarab dan tepat terhadap pasien, dikhawatirkan si pasien hanya tinggal menunggu waktu kapan ajal menjemput. Jika dokter hanya sekadar coba-coba menggunakan obat (malpraktek), penyakit bukannya sembuh malah semakin parah.

Jangan Coba-coba

Korupsi di Negara Indonesia dapat diibaratkan penyakit AIDS stadium empat diatas. Korupsi di Indonesia sudah mencapai tahap yang sangat mencemaskan. “Penyakit” korupsi sudah menulari seluruh tubuh (lini dan bidang) di Negara ini. Dokter Pembasmi Korupsi ( KPK) yang diharapkan untuk mengatasi penyakit ini, belum mampu memberikan solusi dan kinerja berarti untuk membunuh penyakit ini. Cara yang sudah dilakukan belum bisa mencegah kasus korupsi untuk tidak terjadi lagi. Bahkan, terkesan gagal.

Belakangan ini, ada cara alternatif yang diwacanakan oleh penegak hukum untuk mengertak para calon koruptor, yaitu pemiskinan koruptor. Ketika hukuman penjara terbukti tak membuat negeri ini bebas dari korupsi, maka upaya memiskinkan koruptor perlu dilihat sebagai salah satu pilihan yang perlu dilakukan, untuk membuat jera koruptor menggerogoti uang negara-selain  hukuman penjara diperberat.

Wacana memiskinkan koruptor ini, belakangan  semakin meluas ketika Kamis (1/3/12) lalu hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memberi vonis enam tahun penjara bagi Gayus Tambunan, denda Rp1 miliar dan menyita harta Gayus, termasuk rumah mewah sang terpidana di Kelapa Gading Jakarta Utara.
Majelis hakim yang dipimpin Suhartoyo menyatakan, Gayus terbukti melakukan korupsi dan pencucian uang saat berstatus sebagai pegawai pajak. Vonis itu adalah vonis keempat yang diterima Gayus. Sebelumnya, ia divonis untuk tiga perkara lain, yakni pemalsuan paspor, penggelapan pajak, dan penyuapan dengan total hukuman selama 22 tahun.

Memiskinkan koruptor perlu dilakukan, dan Gayus bisa dijadikan momentum awal untuk melakukan instrumen ini. Menurut Edi Rakamto, jaksa penuntut umum dalam perkara terakhir Gayus, total uang yang disita dari Gayus mencapai Rp74 miliar, terdiri dari berbagai rekening dan deposito. Uang itu telah dititipkan di Bank Indonesia. Semua harta dan asetnya yang terkait kasus ini disita oleh Negara.

Majelis hakim juga memerintahkan agar aset Gayus, berupa mobil Honda Jazz; Ford Everest; rumah di Gading Park View, Kelapa Gading, Jakarta Utara; dan 31 batang emas masing-masing 100 gram, disita untuk negara.

Jika masa tahanan kerap dianggap ringan, pemiskinan menjadi alternatif hukuman yang menjerat para koruptor. Wakil Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII), Luky Djani menyatakan, sudah saatnya para penegak hukum mampu menggunakan instrumen hukum yang ada untuk memiskinkan koruptor.

Upaya memiskinkan koruptor bisa dilakukan dengan membebankan denda maksimal terhadap pelaku. Sudah ada aturan yang bisa memberikan hukuman denda empat kali (lipat) dari nilai kerugian negara seperti yang diatur dalam UU Pajak.

Tidak hanya itu, menekankan pentingnya penanganan terhadap wajib pajak yang terlibat dalam kasus pajak. Dalam kasus Gayus Tambunan, sampai saat ini, KPK belum menyentuh perusahaan-perusahaan yang terlibat. Pengguna jasa Gayus harus ditindak juga. Dalam kasus itu, sudah disebutkan perusahaan-perusahaannya, bisa juga melibatkan tokoh besar. Bisa saja dijerat tindakan korupsi atau pelanggaran UU Pajak.

Pemerintah mengapresiasi langkah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk mengambil alih harta kekayaan koruptor atau memiskinkan koruptor. Juru bicara kepresiden Julian Aldrin Pasha mengatakan, langkah memiskinkan koruptor merupakan langkah preventif.

“Kalau itu diterima atau dibenarkan, korupsi itu harus ditindak atau kalau ada kerugian negara itu harus disita. Memiskinkan itu bagaimana yang bersangkutan merugikan negara, dan bukan hasil dari usaha yang bersangkutan. Itu upaya dari pemerintah untuk menimbulkan efek jera bagi mereka, dan membuat mereka yang ingin korupsi bisa berpikir.”

Harapan

Negara saat ini sudah bagai penderita AIDS stadium empat. AIDS itu adalah korupsi. Penyakit korupsi sudah hampir melumpuhkan tubuh bangsa. Negara saat ini sedang terbaring tak berdaya menahan rasa sakit akibat penyakit ini. Negara hari ini membutuhkan tangan dokter yang profesional dalam menyembuhkan dan membasmi penyakit ini.

Sama halnya seperti dokter yang melakukan malpraktek, Penegak Hukum jangan melakukan malpraktek keadilan. Negara jangan dijadikan sebuah kelinci percobaan. Jika hal ini terjadi, kondisi Negara bukannya semakin “sembuh” justru malah semakin memburuk. Lambat laun, ini akan menghancurkan Negara sendiri. Pemiskinan koruptor yang dianggap sebagai solusi pencegahan kasus korupsi diharapkan adalah sebuah hasil pertimbangan yang matang, bukan usaha coba-coba. Jika cara ini jadi diterapkan, semoga penegak Hukum benar-benar serius melaksanakannya di lapangan. Selama ini, Indonesia sangat “populer” dengan berbagai aturan dan teori yang maha dahsyat, namun aplikasi dan praktiknya sangat minim. Oleh karena itu, KPK dan penegak keadilan diharapkan sepenuh hati menjalankannya.(*)

Penulis adalah alumnus Unimed,
pemerhati politik dan hukum

Exit mobile version