Site icon SumutPos

Pesona Sosial Kedai Kopi

MARKETING SERIES (84)

Di Makassar Ada Punam, di Manado Ada Kim Teng, di Balikpapan Ada Miki.

Semuanya warung rakyat, tetapi tak sama. Setelah berdiskusi pada acara BUMN Marketeers Club di Balikpapan dengan host Pak Muin Fikri, pimpinan BNI setempat, saya diajak oleh Direktur BTV (televisi lokal milik Kaltim Post, Jawa Pos Group) Sugito untuk melihat tempat komunitas masyarakat Kaltim berkumpul. Gubernur Awang Faruk pun sehari sebelumnya singgah di situ minum kopi beberapa teguk sebelum menjemput Presiden SBY di bandara.

Menteri BUMN Dahlan Iskan juga pernah mampir dan menulis tentang kedai kopi yang sudah dikelola oleh generasi kedua itu. Pendirinya, sang papa, kini sudah berusia 79 tahun, sejak pukul enam pagi harus sudah duduk di meja kasir karena kedai sudah dibuka.

Pebisnis dan politisi setempat sering nongkrong di situ. Sotonya enak, nasi kuningnya lezat, begitu juga rempeyeknya. Saya ketemu Hud Abdullah, seorang pengusaha SPBU. Saya tanya, kenapa suka makan dan ngopi di situ”

“Suasana santai, makanan enak, dan gak perlu mikir saat mbayar, heheheee..,” jawabnya. Harga semua makanannya murah dan bisa ketemu banyak kolega. Kedai itu bisa mewakili sebagian fungsi sosial lapangan golf yang memesona, yaitu tempat menyegarkan pikiran dan bernegosiasi.
Kedai Miki menempati sebuah ruko, pemiliknya tinggal di lantai atas. Tiba-tiba kepala Balikpapan Plaza Pak Ronny ikut nimbrung ramai-ramai. Akhirnya? Setelah ngobrol ke sana kemari dan saling ledek, jadilah deal.

Besoknya, Bank BNI dan Balikpapan Plaza yang baru menang Service Excellent Award Balikpapan 2012 berdasar hasil riset Mark Plus Insight sehari sebelumnya akan pasang iklan masing-masing setengah halaman di Kaltim Post.
Dan pemilik SPBU akan berlangganan Kaltim Post  untuk karyawan dan pelanggan pompa bensinnya. Wah, deal bisnis benar-benar terjadi di kedai kopi rakyat Miki.

Media sosial memang bukan cuma online. Sebab, secara tradisional, media sosial memang ada sejak dulu. Di mana ada conversation di antara community, terjadilah communal activation yang mendorong terjadinya commercialisation.

Saya merasa beruntung karena pernah tinggal di kampung yang social community-nya kuat sejak dulu.
Menginjak usia 30 tahunan, saya berusaha menerobos strata sosial ke atas secara vertikal. Di usia 60 tahun, saya merasa bahwa dunia berubah menjadi horizontal.

Sejak lima tahun terakhir, hingga saya hendak memasuki usia 65 tahun, saya berusaha melakukan horizontalisasi lagi. Nongkrong di Miki, Punam, dan Kim Teng ternyata tak ubahnya ngobrol di Grand Hyatt, Shangri-La, atau JW Marriott.

Berkomunitas di Twitter, Facebook, dan LinkedIn sudah sama nikmatnya dengan kumpul-kumpul di gang sempit dengan para tetangga saya dulu. Waktu terus berputar, kini ada di titik manusia 3.0.
Bagaimana pendapat Anda? (*)

Exit mobile version