Site icon SumutPos

Talk Show Kekerasan di Televisi Kita

Puji Santoso

SELASA, tanggal 13 Maret 2012 malam lalu, masyarakat Indonesia disuguhi oleh sebuah tayangan menarik dalam program Jakarta Lawyers Club (JLC) di stasiun televisi swasta tvOne. Tayangan talk show yang disiarkan secara langsung dengan host Pemimpin Redaksi tvOne Karni Ilyas itu menampilkan sejumlah pakar hukum, para praktisi hukum terkemuka, dan kalangan politisi.

Hari Minggu lalu, tanggal 18 Maret 2012 malam pukul 19.30 WIB, acara itu kembali ditayang di stasiun televisi yang sama. Hanya saja tayangan itu sudah diedit, sehingga penayangannya tidak seseru ketika disiarkan secara langsung.

Topik yang dibahas adalah soal Anas Urbaningrum, Ketua Umum DPP Partai Demokrat, yang siap digantung di Monas jika dirinya terbukti menerima uang suap dari proyek Hambalang atau proyek Wisma Atlet seperti yang dituding Nazaruddin.

Para pemirsa yang sempat menonton program acara di tvOne, boleh jadi tidak terlalu serius dengan topik yang mengangkat kasus yang menjerat nama Anas Urbaningrum maupun Nazaruddin. Bisa jadi khalayak sudah bosan dengan tema-tema yang menyangkut korupsi yang disajikan media.

Lebih menarik dari pembahasan itu, pemirsa televisi tvOne lebih serius menyaksikan adegan pernyataan saling serang antara dua pengacara kondang Hotman Paris Hutapea dengan Ruhut Sitompul ketimbang menyimak topik yang sedang dibahas. Tentu saja, karena tayangannya disiarkan langsung, maka tidak ada proses editing.

Tidak hanya kalangan advokat maupun politisi, hampir semua publik tanah air yang gemar menyaksikan tayangan talk show di televisi akan mengakui bahwa kedua nama advokat ternama dan kaya itu selalu tidak pernah akur. Dalam sebuah forum-forum resmi dan terhormat seperti JLC itu, kedua putra asal tanah Batak, Sumatera Utara itu, tidak lagi beradu argumentasi soal-soal hukum maupun politik.

Lebih dari itu, keduanya juga saling menyerang wilayah yang paling pribadi.  Bahkan saya masih ingat persis ketika program JLC masih ditayang di SCTV dengan host yang sama, Hotman dan Ruhut terlibat adu mulut dalam diskusi yang mengangkat kasus kepailitan perusahaan asuransi Manulife beberapa tahun lalu. Saat itulah pertama kali saya ketahui keduanya sudah saling bermusuhan baik secara profesional maupun secara pribadi.

Tidak berlaku bagi keduanya, intelektualitas dan kecendikiawanan, sekalipun kedua advokat senior itu kononnya sama-sama menyandang gelar doktor (S-3) di bidang hukum. Mereka berdua dianggap terlalu pragmatis dalam menterjemahkan teori-teori hukum yang selama ini mereka pelajari, sehingga mengabaikan etika dan kesantunan berkomunikasi.

Yang menjadi persoalan besar buat saya yang selama ini mengajarkan kepada para mahasiswa persoalan-persoalan teori ilmu komunikasi, hukum media, dan etika media di kampus-kampus di Medan adalah bahwa media, khususnya televisi merupakan media massa yang paling sering dituding memberikan efek paling besar bagi audien atau khalayaknya. Efek atau pengaruh ini menjadi perhatian banyak pihak melalui berbagai teori maupun studi ilmu komunikasi.

Karena pada umumnya, studi mengenai komunikasi massa termasuk media penyiaran berkaitan erat dengan persoalan efek komunikasi massa terhadap audien atau masyarakat banyak (Morissan, 2008). Selanjutnya efek komunikasi itu akan menimbulkan umpan balik (feed back) dari khalayak kepada media. Atau dari khalayak kepada komunikator atau narasumber.

Dalam teori S-R (stimulus-respons) atau yang lebih dikenal dengan teori jarum hipodermik atau teori peluru, media massa (baca: televisi) dinilai amat perkasa dalam mempengaruhi penerima pesan (khalayak/masyarakat). Siaran televisi sesuai dengan sifatnya yang dapat diikuti secara audio dan visual secara bersamaan oleh semua lapisan masyarakat.

Maka, siaran televisi tidak dapat memuaskan semua lapisan masyarakat. Siaran televisi dapat membuat kagum dan memukau sebagian penontonnya. Tetapi sebaliknya siaran televisi dapat membuat jengkel dan rasa tidak puas bagi penonton lainnya. Suatu program mungkin disukai oleh sekelompok masyarakat terdidik, namun program itu akan ditinggalkan kelompok masyarakat lainnya.

Pengetahuan dan Kepentingan Sosial

Studi dalam bidang ilmu komunikasi ini memusatkan perhatian pada penggunaan isi media untuk mendapatkan pemenuhan atas kebutuhan seseorang. Berbagai penggunaan atau manfaat terhadap media televisi ini dikelompokan ke dalam empat tujuan, yaitu pengetahuan, hiburan, kepentingan sosial, dan pelarian. (Dominick, 2002).

Saya mencoba membatasi diri untuk menjelaskan sedikit soal dua tujuan saja, yakni manfaat media televisi bagi pengetahuan dan manfaat media televisi bagi kepentingan sosial.

Seseorang menggunakan televisi untuk mengetahui atau memperoleh informasi tentang sesuatu hal. Hasil survey menunjukkan alasan orang menggunakan media antara lain: apa yang dikerjakan pemerintah, apa yang dilakukan para politisi. Maka program siaran talk show JLC di tvOne yang menampilkan dua aktor Hotman dan Ruhut Selasa malam itu bisa digolongkan sebagai jawaban pemenuhan kebutuhan khalayak akan peristiwa yang dilakukan para politisi maupun para elit yang dinilai tidak cerdas dan tidak mendidik.

Dari sisi kepentingan sosial, kebutuhan ini diperoleh melalui pembicaraan atau diskusi tentang sebuah program televisi seperti program JLC di tvOne itu. Isi tayangan media televisi itu menjadi perbicangan hangat di dalam masyarakat luas. Di dalam kalangan akademisi khususnya studi dan kajian ilmu komunikasi, isi tayangan kekerasan yakni saling adu mulut antara Hotman dan Ruhut di tvOne boleh jadi akan menjadi perdebatan mengenai dampak penayangan kekerasan yang ditampilkan di layar televisi terhadap peningkatan perilaku kekerasan pada khalayaknya, terutama anak-anak dan remaja.

Soal yang satu ini banyak didukung oleh berbagai penelitian yang mengkhususkan pada masalah media violence. The National Institute of Mental Health di Amerika Serikat, misalnya, melaporkan bahwa hal penting akibat penyajian kekerasan pada media massa adalah adanya hubungan antara tayangan kekerasan di televisi dengan peningkatan perilaku agresif pada pemirsanya. (ganunggeong.blogspot.com/2011/04)

Bukan tanpa alasan tayangan kekerasan dapat berdampak negatif terhadap khalayaknya, dikarenakan manusia adalah makhluk peniru, imitatif, dan banyak perilaku manusia terbentuk oleh proses peniruan. Perilaku imitatif ini terutama sangat menonjol pada usia anak-anak dan remaja, sehingga media massa yang banyak sekali menawarkan model untuk diimitasi atau dijadikan obyek identifikasi sangat penting peranannya.

Di samping itu, terdapat pula dampak penayangan kekerasan di media yang bersifat segera atau relatif sementara (immediate or relatively temporary effects), yang dapat berakibat pada individu dewasa dikarenakan efek media terhadap fungsi kognitif, afektif, dan perilaku (behavioral) pemirsanya.

Peran KPI

Melihat tayangan kekerasan JLC di tvOne Selasa malam lalu itu, apakah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tutup mata? Harusnya tidak. Sebab, kalau mencermati pasal 36 ayat 1 dan ayat 3 Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran penayangan live aksi kekerasan adu mulut, saling memaki, dan saling menyinggung wilayah pribadi yang ditampilkan Hotman dan Ruhut, serta jauh dari nilai-nilai agama dan budaya Indonesia, harusnya menjadi tanggung jawab stasiun televisi tvOne.

Dalam pasal 36 ayat 1 UU tersebut dinyatakan: isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitsa, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.
Sedangkan dalam ayat 3 pada pasal yang sama dinyatakan: bahwa Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, lembaga penyiaran wajib mencantumkan atau menyebutkan klasifiksai khalayak sesuai dengan isi siaran.

Oleh karena itu, perlu mengingatkan kepada semua stasiun televisi swasta nasional untuk tidak gegabah dalam menyajikan program siaran talk show yang disiarkan secara live. Ini harus dilakukan para penyelenggara siaran televisi untuk mewaspadai pernyataan spontan para nara sumbernya agar tidak terjebak dalam tayangan kekerasan yang cepat atau lambat akan berdampak langsung bagi pengamalan moral bangsa yang masih beradab ini. (*)

Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi
Fisip USU dan UMSU Medan

Exit mobile version