Site icon SumutPos

Mei, Momentum Guru Bertanya

Oleh: Ananta Bangun

Seniman legendaris Pablo Picasso, satu waktu, melontar sebuah pemikiran. Dalam pandangannya, seseorang memiliki nilai tatkala mampu mencetus pertanyaan. Tidak hanya memberi jawaban sebagaimana ihwal benda mati seperti komputer. Jawaban sejatinya lahir dari rahim pertanyaan. Kesempurnaan terwujud bila jawaban dari pertanyaan tersebut diiringi tindakan.

Lalu, mengapa Mei menjadi momentum guru untuk bertanya? Wacana ini tidak hanya dilatar belakangi dekatnya peringatan Hari Pendidikan Nasional (2 Mei) dan Hari Kebangkitan Nasional (20 Mei). Lebih dari itu, sosok guru sesungguhnya berandil besar membangkitkan Indonesia dari lelap nan panjang. Mustahil sosok pemimpin bangsa muncul tanpa adanya jerih tenaga pendidik. Peran utama bagi jiwa yang ikhlas memberi ilmu pengetahuan dan ilham. Karenanya sasaran tulisan ini tidak hanya mereka yang mengabdi di sekolah/ universitas. Namun, juga menyentuh setiap sosok mahfum akan dua peran tersebut sebelumnya.

Kini, guru Indonesia benar-benar mendapat momentum bertanya bagi kebangkitan bangsa. Ini ditandai pengamatan Kishore Mahbubani, seorang pakar isu Internasional dan Asia dari University of Singapore. Menurutnya, Asia memasuki era baru sejarah dunia yang ditandai dengan dua poin utama. Pertama, kita akan melihat akhir dari era dominasi Barat dalam sejarah dunia. Tapi, ia mengimbuhkan, akhir dari dominasi Barat dalam sejarah dunia tidak berarti akhir dari Barat. Mahbubani juga meyakini bahwasanya Indonesia berpeluang sejajar China dan India dan juga berhasil menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia.

Keyakinan tersebut ditopang juga dengan perhitungan James Canton dalam “The Extreme Future: The Top Trends That Will Reshape the World for the Next 5, 10 and 20 Years”. Menurutnya, Indonesia bakal bersanding dengan Brazil, Rusia, India, China, South Africa sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi dunia. Ini adalah kabar baik di saat dominasi Barat tengah limbung. Ditandai dengan ambruknya perekonomian Yunani, peralihan kursi kepemimpinan di Italia, Prancis. Dan bukan tak mungkin bakal merembes ke Amerika.

Kita jangan langsung senang. Tantangan utama menyangkut prediksi tersebut ialah penanganan serius atas lonjakan penduduk Indonesia . Hasil kajian UNDP menyebut bahwa jumlah penduduk Indonesia lebih dari 240 juta. Tingkat pertumbuhan 1,49 persen penduduk Indonesia, di sisi lain, menjadi ancaman bila tidak dibarengi ketersediaan pangan dan energi serta layanan pendidikan dan kesehatan memadai. Sebagai masukan, Indonesia berada di peringkat 124 dunia dalam upaya menangani isu pendidikan, kesehatan, dan penghasilan penduduk.

Menghadapi tantangan yang menentukan derajat Indonesia (harus diakui) bukan perkara mudah. Perlu sudut pandang memberdayakan segala kekuatan bangkit hingga kalangan elit dunia. Indonesia memiliki dua aset strategis guna mewujudkan impian tersebut. Yakni, jumlah penduduk besar dan kekayaan alam. Tetapi kedua aset tersebut nihil perannya tanpa pengelolaan oleh Sumber Daya Manusia kompeten. Di sinilah aksi guru Indonesia mendapat ruangnya.

Pembuktiannya sedikit mengulik lembar sejarah. Kebijakan pemerintahan Meiji yang mengutamakan pendidikan alih-alih kekuatan militer untuk memulihkan Jepang usai kekalahan di Perang Dunia II. Bahkan, para pelajar negeri Sakura ini juga menyerap langsung pendidikan Barat dan berani mengusung kemampuan berinovasi. Kebijakan serupa diterapkan Malaysia yang mengimpor tenaga guru dari Indonesia. Sang Jiran berhenti memohonkan tenaga pengajar Indonesia setelah memantapkan kompetensi SDM mereka telah layak dan memenuhi sektor penting dalam pembangunan negara. Termasuk diantaranya ialah tenaga guru.

Mulai Bertanya, Disusul Karya Nyata

Pakar organisasi, Peter M Senge, punya metafora menarik tentang mengendalikan massa dalam bukunya “The Fifth Discipline”. Ini populer disebut sebagai ‘teori merebus kodok’. Senge membuat ilustrasi yang membandingkan teknik merebus hewan tersebut. Kodok pertama dimasukkan bulat-bulat ke dalam air mendidih. Tentu saja, reptil itu meronta, melawan dan gagal direbus. Di sudut lain, kodok kedua direndam ke dalam kuali berisi air dingin. Kompor dinyalakan, selang beberapa menit, air menghangat namun si kodok acuh karena sudah beradaptasi dengan perubahan suhu nan perlahan. Si kodok tetap enggan beringsut saat air semakin memanas. Hingga ia tak bisa lagi keluar karena terlanjur mendapat titel almarhum.

Teori merebus kodok tersebut laik juga diterapkan dalam membenahi pendidikan nasional. Utamanya dalam gebrakan menyertakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) bagi proses belajar mengajar. Selain meningkatkan kompetensi guru dalam menyusun Silabus, RPP dan Teknik Penyusunan Nilai, pengusaan TIK dalam kegiatan mengajar juga penting. Kebutuhan siswa 10-20 tahun yang akan datang akan berbeda dengan kebutuhan siswa sekarang. Jika para guru tidak mau belajar dengan menambah pengetahuan, terbuka terhadap perkembangan terkini inovasi pembelajaran, menciptakan teknologi pembelajaran baru, kredibilitasnya akan jatuh di hadapan siswa. Tentu itu kabar buruk buat dunia pendidikan dan kebangkitan Indonesia tetaplah menjadi mimpi.

Secara perlahan, tenaga pengajar di setiap sekolah/ universitas dapat ‘merebus’ ketidakpercayaan dirinya menggunakan TIK dengan aktif mengikuti pelatihan dari lembaga filantropi yang khusus menangani ihwal ini. Semisal, Djalaluddin Pane Foundation (http://djalaluddinpane.org) yang fokus di daerah Labuhan Batu, Labuhan Batu Selatan dan Labuhan Batu Utara. Aktivis pendidikan dan program CSR Indonesia tentunya dapat meneladani langkah tersebut.Bila para guru belum menemui program pelatihan senada, jangan sungkan belajar langsung dari siswanya sesuai kebutuhan mengajar di kelas. Dengan demikian pemberdayaan TIK akan memberi sesi belajar-mengajar yang produktif. Baik bagi peserta didik dan pendidik.

Guru mahir TIK bukanlah solusi ajaib yang dapat membangkitkan bangsa dengan segera. Kreativitas dan kewibawaan guru tetap dituntut melahirkan generasi pemimpin. Guru turut menjadi pemangku “agents of change” yang kreatif merebus ketidakpercayaan dirinya, bukan muridnya. Setiap guru dapat memulai tanya berikut dalam relung hatinya: Siapkah saya menjadi bagian dari pendobrak peradaban? Siapkah saya menciptakan SDM mumpuni? Apakah saya berani memulai? Jika bukan saya (guru) yang memulai lalu siapa menurut Anda? Sejumlah tanya yang hendaknya disusul karya nyata. Setidaknya kita (guru) mengawali dengan berani bertanya. Sebab, kita menyadari tindak ‘bertanya’ bukanlah tanda kebodohan. Tetapi jika kita (guru) kita hanya diam.(*)

Penulis adalah Guru SMK Kesehatan Wirahusada Medan,
Relawan di DPF, Trainer

Exit mobile version