Site icon SumutPos

Parpol Boleh Pecah Ulang Koalisi

Logo KPU

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Komisi Pemilihan Umum (KPU) terus berupaya mencegah pilkada hanya diikuti calon kepala daerah tunggal. Penyelenggara pemilu tersebut memperbolehkan parpol keluar dari koalisi untuk kemudian mencalonkan kepala daerah baru dalam pilkada 2017. Namun, ketentuan itu hanya bisa dilakukan di daerah-daerah yang pilkadanya hanya diikuti satu pasangan calon karena koalisi yang gendut, seperti yang terjadi di Kota Tebingtinggi, Sumut.

Komisioner KPU Sigit Pamungkas mengatakan, pilkada dengan calon tunggal memang konstitusional setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Hanya, MK meminta KPU untuk melakukan upaya secara maksimal terlebih dahulu. Nah, langkah yang diambil KPU untuk memenuhi ketentuan ”berusaha maksimal” adalah memperpanjang masa pendaftaran.

Namun, Sigit menilai pembukaan kembali masa pendaftaran tidak akan berdampak apa-apa jika semua dukungan partai sudah diborong satu pasangan calon. Karena itu, koalisi yang gendut diperbolehkan untuk dipecah. ”Kalau dibuka pendaftaran tapi sudah diborong habis, kan tidak bermakna,” ujarnya di kantor KPU pusat, Jakarta, kemarin (26/9).

Sigit menambahkan, dalam situasi normal, partai memang tidak diperbolehkan menarik dukungan atau mendaftar dua kali. Namun, karena masuk situasi darurat, KPU memperbolehkannya. Apakah hal itu tidak bertentangan dengan ketentuan UU Pilkada? Sigit kembali menjadikan kondisi darurat sebagai alasan. ”Kan ending-nya tetap. Setiap partai hanya mengusung satu pasangan calon,” imbuh pria dari Sragen tersebut.

Namun, bagaimana kalau koalisi tidak juga terpecah hingga penutupan? Sigit mengatakan bahwa hal itu bukan masalah. Yang terpenting, pihaknya sebagai penyelenggara sudah berupaya maksimal untuk menghindari calon tunggal.

Ketentuan tersebut saat ini masuk masa finalisasi. Namun, dia memastikan tidak akan memasukkannya ke peraturan KPU (PKPU) tentang pencalonan. Ketentuan itu hanya akan disosialisasikan melalui surat edaran ke KPU daerah.

Sigit mengakui bahwa yang dilakukan pihaknya itu bukan opsi ideal. Namun, dia tidak bisa membantah bahwa konstruksi regulasi yang ada membuka peluang calon tunggal. Pertimbangannya, UU Pilkada tidak membatasi koalisi dukungan calon. Karena itu, di beberapa daerah terjadi pemborongan dukungan partai oleh satu pasangan calon (paslon) saja.

Ke depan, jika memang tidak ada aturan pembatasan koalisi, dia meminta komitmen partai politik untuk menciptakan iklim demokrasi yang baik. Salah satu upayanya adalah memunculkan paslon semaksimalnya. ”Kalau ada calon tunggal yang diborong, artinya demokrasi tidak sehat,” ujarnya.

Sebagaimana diketahui, berdasar data yang masuk ke KPU pusat hingga kemarin sore, ada delapan daerah yang berpotensi menyelenggarakan pilkada dengan calon tunggal. Hal itu disebabkan aksi pemborongan dukungan oleh calon. Misalnya pilkada Kabupaten Tulang Bawang Barat. Dalam kontestasi itu, pasangan petahana Umar Ahmad-Fauzi Hasan didukung sepuluh partai. Dengan begitu, tidak memungkinkan adanya paslon lain.

Ketua Lembaga Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (KoDe Inisiatif) Veri Junaidi menilai keputusan KPU berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, UU Pilkada melarang partai menarik dukungan. ”Kalau sampai dibuka ruang menarik dukungan, maka potensial memunculkan sengketa dukungan dan tidak adanya kepastian hukum,” ujarnya kepada Jawa Pos.

Menurut dia, KPU tidak perlu bingung dalam menyikapi fenomena calon tunggal. Sebab, pasca putusan MK, calon tunggal diperbolehkan dan konstitusional. ”KPU tidak perlu memunculkan wacana agar partai boleh menarik dukungan. Kebijakan ini justru bisa menimbulkan ketidakpastian,” katanya. (far/c11/agm/jpg)

Exit mobile version