Site icon SumutPos

Mengais Masa Lalu untuk Keuntungan Masa Kini

Ramadhan Batubara

Kemarin saya didatangi seorang kawan yang umurnya jauh di bawah saya. Pun, karirnya masih junior saya. Nah, saya pun gede rasa. Saya berbincang dengannya seolah sayalah yang paling benar. Persis pemangsa yang dapat mangsa. Sang kawan terlihat kurang senang. Terserah…, saya kan tidak mengundangnya.

“Dulu, semua gak kekgini,” kata saya ketika dia mengeluh soal pekerjaannya. “Saat aku masih kayak kau, tak ada kata mengeluh. Kalian sekarang manja!” sambung saya pula.

Lalu, kawan tadi pun bercerita tentang kendala di pekejaannya. Dia katakan, zaman sudah berubah, tidak bisa disamakan dengan zaman dulu.
“Sama saja! Hidup adalah pengulangan, Kawan. Aku dulu…,” balas saya lagi.

Intinya, setiap kawan itu bercerita, mengeluh, atau sekadar mencurahkan isi hati, saya pasti membalasnya dengan kata ‘dulu’. Dan ketika dia mulai ngotot, saya akan mengatakan kata ‘aku’. Fiuh, dia diam, mungkin sadar kalau saya lebih senior dan tentunya lebih berpengalaman. Bak kata orang bijak: sudah makan asam garam.Ya, meski tak sesuai dengan isi hati kawan tadi, saya memang unggul karena semua orang paham kalau pengalaman adalah guru yang sebenarnya.

Saya ceritakan fragmen di atas tak lain karena pada Oktober ini kita memperingati Bulan Bahasa. Ya, di bulan inilah ada kesepakan untuk menggunakan bahasa Indonesia bagi daerah di Nusantara yang merupakan jajahan Belanda; menariknya, saat itu belum merdeka. Jadi,  bisa bayangkan bagaimana perjuangan pemuda di zaman itu dalam meramu sesuatu untuk disepakati dalam Soempah Pemoeda 1928 yang terkenal tersebut.

Terus terang, saya tergoda ingin mengetahu seperti apa perdebatan kala itu. Ayolah, kesepakatan itu dibentuk di Pulau Jawa yang tentunya memiliki bahasa sendiri. Lalu, ada orang Sulawesi, Batak, dan sebagainya. Kenapa bahasa Melayu yang dipilih? Baiklah, saya paham kalau bahasa Melayu sudah dipakai dalam pergaulan pelayaran saat itu; menjadi alat komunikasi para pelaut, baik yang baik-baik maupun perompak. Pun, saya paham kalau kekalahan bahasa Jawa karena dia memiliki kelas.

Hal ini dianggap tidak demokratis padahal sejatinya perbedaan kelas untuk kesadaran warga dalam memandang dirinya dan orang lain. Lalu, bagaimana dengan bahasa Batak, bahasa dari Sulawesi semacam Bugis-Makassar, bisa kalah juga? Hm, mungkin terletak pada penggunanya yang terbatas. Tapi sudahlah, saya tidak ingin membahas itu. Saya penasaran, apakah dalam rapat tersebut ada yang menggunakan kata ‘aku’ dan ‘dulu’?

Untuk menjawab kepenasaran itu tampaknya saya butuh mesin waktu. Bagaimana tidak, saya tidak tahu harus bertanya pada siapa dan membaca buku karangan siapa terkait latar belakang dan perdebatan soal Soempah Pemoeda.

Pemuda yang meramu kesepakatan itu semuanya telah tiada. Dan, sepengetahuan saya, literatur yang tersedia tidak menceritakan secara detail seperti apa proses Soempah Pemoeda itu, yang ada hanya seputaran teks sumpahnya saja.

Kenapa tida bertanya pada sejarahwan saja? Wah, pasti jawabnya ‘dulu’ tanpa ada kata ‘aku’. Tidak asyik kan?

Hal inilah yang saya maksud dalam lantun kali ini. Pengalaman secara langsung memang lebih indah dibanding mendengar kata orang atau membaca buku orang lain kan? Lucunya, ada beberapa kawan yang tidak pernah melakukan sesuatu tapi mengaku sudah melakukan hanya karena dia lebih tua atau lebih senior di pekerjaan. Contohnya begini, ada seorang redaktur di sebuah koran, misalnya, memarahi beberapa reporternya. “Kalian ini kurang peka, tidak ada lagi features yang bisa diusulkan untuk halaman satu. Ayolah, tulis. Dulu, aku langganan nulis itu,” katanya.

Hm, kalau si redaktur memang benar langganan menulis feuters untuk halaman satu, tentunya tidak masalah, tapi bagaimana kalau sebaliknya? Apakah si redaktur tak sadar kalau isi koran dalam beberapa tahun sebelumnya masih bica dibaca? Ya, kalau si reporter penasaran seperti apa tulisan sang redaktur dan ingin membacanya, tapi tidak berhasil menemukannya bagaimana?
Ini dia yang saya maksud dari menjual masa lalu untuk keuntungan zaman sekarang. Atas nama tua dan lebih dulu makan asam garam di suatu profesi, kan tidak bisa asal mengklaim. Kesenioritasan boleh saja, tapi dibuktikan dengan karya kan? Jangan asal jual kata ‘dulu’ dan ‘aku’!

Fiuh…, pemikiran di atas tadi tampaknya ada dalam otak kawan saya yang curhat itu. Ya, ada sinar berbeda dari matanya ketika saya menunjukkan kesenioritasan padanya. Memang, dia tidak mengatakan kalau saya terlalu menjual masa lalu, namun saya melihat kegelisahnya.

Ya, sebagai generasi yang lebih muda, tentunya dia ingin dianggap sebagai manusia yang berkarya bukan? Manusia yang tidak hanya meneruskan apa yang telah dilakukan oleh pendahulunya. Seperti saya dulu (akhirnya saya tuliskan juga kata ‘dulu’ untuk diri sendiri; heheheheh) yang selalu protes kepada senior ketika diharapkan sebagai generasi penerus. Saya tidak setuju dengan itu karena saya menganggap diri saya dan generasi saya adalah generasi pengganti. Ingat bukan penerus, tapi pengganti!

Tapi, kenapa pula saya harus memaksa kawan tadi sebagai generasi penerus? Ah… hidup memang seperti lingkaran; bulat!(*)

Exit mobile version