Site icon SumutPos

Jangan Sampai Tekan Tombol ‘Delete’ di Keyboard

Oleh: Ramadhan Batubara

Seorang kawan sempat bertanya, bagaimana cara untuk menyelesaikan sebuah cerita pendek. Spontan saya jawab, fokus dan setia. Lalu, kawan tadi langsung mengerutkan kulit dahi. Saya melebarkan bibir dan menampakkan sedikit gigi.

Begitulah, setelah sekian detik sibuk menunjukkan ekspresi yang berbeda, kami berdua terlibat lagi perbincangan yang diawali oleh pertanyaannya tadi. Begini, saya jelaskan padanya soal fokus. Menurut pengalaman saya, kegagalan menyelesaikan cerita pendek terletak pada pikiran yang bercabang. Ya, saya tidak fokus pada cerita awal yang ingin saya rangkai.

Misalnya begini, saat awal menulis, saya ingin menulis tentang seorang penjual jagung yang sulit mendapatkan jagung. Nah, di dua paragraf hingga lima paragraf, saya masih fokus tentang cerita itu. Namun, tiba-tiba dalam otak saya muncul kata kompor. Tak pelak, saya pun mengupas kompor itu hingga beberapa paragraf. Memang kompor masih ada hubungan dengan jagung, setidaknya untuk membuat jagung rebus butuh kompor kan? Eh, tidak sampai di situ, pikiran saya pun berkembang ke bahan bakar minyak atawa BBM; harga yang melangit dan barang yang menghilang.

Ujung-ujungnya, cerita soal BBM tertuang hingga tujuh paragraf. Nah, ketika soal BBM selesai, saya sadar, saya kan harusnya menulis soal jagung? Kemana pedagang yang sulit mendapatkan jagung itu? Lalu, tulisan saya terhenti. Saya bakar rokok dan memandang keluar jendela. Saya dapati pandangan di sana, sepasang kekasih yang berjalan sambil bergandengan tangan dan memakan coklat; bukan jagung rebus. Bah! makin bingung saya. Apa yang harus saya tuliskan. Jagung dan pedagangnya seakan raib. Saya stag!

Nah, ketika menjelaskan ini pada kawan tadi, saya senyum-senyum. Bukan apa-apa, saya hanya teringat dengan fokus berita di dunia ini yang terus berubah. Menariknya, dalam pekan terakhir, berbagai berita seakan tak mau kalah untuk mendapat perhatian. Mulai mewabahnya tren menggulingkan pemimpin di Timur Tengah sana hingga kisruh PSSI. Untuk dua berita ini, kata ‘diktator’ ramai dibicarakan. Memang, PSSI tidaklah sebesar Mesir, Libya, atau negara lainnya, tapi kekuatan Nurdin Halid seakan lebih dahsyat. Tak bisa saya bayangkan kalau PSSI memiliki tentara sendiri lengkap dengan pesawat tempurnya.

Belum usai soal di atas, Presiden Susilo Bambang Yudhono pun buka suara soal rumah murah seharga Rp5 juta hingga Rp10 juta. Untuk yang ini saya agak miris. Pasalnya, saya merasa senang mendegar hal itu, mengingat sangat sulit bagi saya untuk memiliki rumah. Tapi, setelah saya dalami, rumah itu ternyata tak layak. Bayangkan saja, rumah itu berbahan bambu dan didirikan di atas tanah 3×5 meter. Fiuh.

Lalu dari Medan, muncul pula kabar 30 anak keracunan jajanan anak sekolah alias JAS. Ayolah, anak penerus bangsa saja sudah menjadi sasaran, bagaimana masa depan kita? Masak hanya karena keuntungan sedikit rupiah, mereka berani mencelakakan generasi penerus. Eh, tak lama kemudian, Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Kota Medan, Hanas Hasibuan, yang baru sepekan dilantik malah diduga korupsi saat dia menjabat Kabid Humas Pemko Medan. Bah!

Tapi begitulah, kembali ke soal menulis cerpen, fokus memang sulit. Pasalnya, peristiwa terus berganti. Masalahnya, sastra adalah dunia yang diciptakan pengarang. Jadi, dia berada dalam otak si pengarang itu. Ide, inspirasi, peristiwa, atau apapun itu memang bisa berasal dari dunia nyata. Tapi, dalam menulis, seorang pengarang wajib memilah dan memilih apa yang ingin dia tulis. Itulah yang membuat cerpen berbeda dengan berita.

Kemudian, saya jelaskan pada kawan saya tadi soal setia. Sejatinya, setia ini tak jauh beda dengan fokus. Tapi, saya menganggapnya beda karena hal itu terkait dengan pengalaman juga. Begini, ketika saya fokus soal jagung dan pedagangnya, bukan berarti cerpen saya selesai. Maksudnya, dalam cerita jagung, saya harus setia pada konflik yang saya rencanakan atau yang tanpa sengaja terbentuk. Kasarnya, ketika saya menetapkan atau merangkai konflik terbentuk oleh perseteruan pedagang dengan petani serta pembeli jagung, maka saya harus setia di situ saja. Kadang, dalam beberapa kasus, saya tergoda untuk memunculkan tokoh lain. Misalnya, saya masukan mertua si pedagang atau kekasih si pembeli atau istri si petani.

Nah, memasukan seorang tokoh baru ke dalam sebuah cerita, berarti kita memasukan dunia baru lagi dalam cerita. Wah, repot kan? Bagaimana kita menggabungkan sekian banyak dunia itu dalam satu cerpen kita. Bagi pemula, sebaiknya hindarilah multi tokoh.

Serius, nanti kesulitan kembali ke ide awal. Ujung-ujungnya, kumpulan kalimat itu diblock dan tekan tombol ‘delete’ di keyboard. Jika begitu, sampai kapan cerpen kita bisa mencapai ending.  Ingat ini cerpen, bukan novel yang memiliki wadah lebih luas; walau novel pun cenderung tidak melebar.

Soal setia ini bisa kita kaitkan dengan konflik bertingkat di negeri ini. Masalah Bank Century nyaris selesai jika tak muncul tokoh baru yang dimunculkan Susno Duadji. Ingat, Susno Duadji sendiri adalah tokoh baru setelah sebelumnya heboh dengan Bibit dan Candra. Dari Susno ini muncul lagi tokoh lain, Gayus Tambunan.

Masing-masing nama di atas kan punya dunia sendiri, punya cerita sendiri. Meski saling berkaitan, tentunya akan membuat repot penulis kan? Ujung-ujungnya, belum selesai juga ceritanya kan?

Begitulah, namanya selingkuh cenderung membuat siapa saja dalam posisi bahaya.  Jadi, ketika cerpen kita selingkuhi dari ide awal, dia bisa melebar tak tentu arah. Fokus dan setia memang bukan satu-satunya syarat untuk menciptakan cerpen. Tapi, kalau ada kebutuhan primer, pasti ada kebutuhan sekunder serta lux kan? Bukankah begitu?

Terserahlah, kata  kawan saya. Bah! (*)
25 Februari 2011

Exit mobile version