Site icon SumutPos

Buah Krisis Penyelenggara Negara

KPK vs Polri Jilid II

Belum hilang dari memori perseteruan cicak vs buaya jilid I, kini muncul lagi cicak vs buaya jilid II. Berbeda dengan sebelumnya, jika sebelumnya  dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chandra M  Hamzah dan Bibit Samad Rianto dituduh menyalahgunakan wewenang oleh kepolisian, maka pada sekarang ini penyidik KPK dijemput paksa dengan cara “mengepung gedung KPK”. Penyidik Novel Baswedan dituduh menembak pencuri walet yang menyebabkan terbunuh. Sontak tindakan Polri mendapat kecaman dari berbagai kalangan.

BERI KETERANGAN: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didampingi pejabat negara lainnya saat memberikan keterangan terkait kisruh KPK vs Polri. //ABROR RIZKI/RUMGAPRES

Mantan Presiden RI ke-5 Megawati Soekarno Putri menilai, munculnya perseteruan KPK vs Polri kembali merupakan kegagalan pimpinan nasional. Megawati menyebut, Indonesia belum berdaulat secara politik. “Kita masih belum berdaulat secara politik. Jika negara sudah berdaulat secara politik, mampu menegakkan hukum di negaranya dan mengatasi disintegrasi lembaga negara,” kata Ketua umum DPP PDIP di hadapan ribuan kader saat pembukaan Rekernas II di Surabaya, Jumat (12/10).

Megawati mengatakan, koflik KPK vs Polri bentuk krisis terhadap penyelenggaraan negara. Artinya, telah terjadi tidak maksimalnya kepemimpinan nasional serta rendahnya kapasitas untuk memimpin bangsa ini.

“Hal ini semakin diperburuk oleh fakta dengan gaya kepemimpinan nasional yang cenderung mementingkan menjaga citra diri,” kata Megawati. Hal ini adalah tantangan besar bagi bangsa yang memerlukan pembenahan, di antaranya adalah persoalan KUHP yang notabene adalah warisan kolonial Belanda. Seharusnya ada sinkronisasi agar sesuai dengan UUD 45. “Apakah hal tersebut masih diperlukan ataukah ditiadakan,” tuturnya. “Bangsa berdaulat secara politik adalah mampu menegakkan aturan hukum bangsanya,” tutup Mega disambut dengan tepuk tangan kader PDIP.

Sebelumnya perseteruan jilid I ini relatif tidak menyentuh pada tataran penyidik KPK, sehingga letupanya tidak sampai melibatkan semua bagian dalam kedua institusi tersebut. Beda dengan perseteruan Jilid yang pertama, maka perseteruan kali ini benar-benar dalam skala masif melibatkan semua unsur dalam institusi KPK dan Polri. Ada peberapa faktor yang merupakan pemicu pertarungan ini makin keras, yaitu: penetapan tersangka Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo dalam kasus Simulator SIM; penarikan atau rotasi penyidik KPK oleh Polri; penetapan penyidik KPK yang masih jadi anggota Polri menjadi pegawai tetap KPK; dan penetapan tersangka terhadap penyidik KPK Kompol Novel Baswedan.

Kita coba urai sedikit satu persatu yang menjadi “bahan bakar” sehingga konflik antar institusi penegak hukum ini menjadi makin membara. Pertama, penetapan tersangka Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo dalam kasus Simulator SIM, sebenarya tidak ada yang istimewa dengan penetapan ini. Pada tahun 2008 KPK malah pernah menetapkan sebagai tersangka Jenderal Pol Rusdiharjo (mantan Kapolri), dalam kasus pungutan liar pembuatan visa di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Malaysia.

Penetapan Djoko Susilo sebagai tersangka terasa istimewa karena the rising star ini merupakan perwira tinggi Polri yang masih aktif dan mempunyai posisi yang strategis.

Belum lagi masalah misteri Surat Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan logo resmi Mabes Polri tertera tanda tangan Kapolri Jenderal Timur Pradopo selaku pengguna anggaran. Surat bernomor Kep/193/IV/2011 bertanggal 8 April 2011 berisi dua poin: mempertimbangkan dan menetapkan. Ada 11 poin yang tercantum dalam bagian ‘mempertimbangkan’. Ini mengindikasikan bahwa pengadaan simulator SIM ini merupakan program resmi Mabes Polri.

Dalam Surat Keputusan Kapolri tersebut, ada hal yang sangat menarik untuk dicermati, sebelum Kapolri membubuhkan tandatangannya, ada enam pejabat Mabes Polri yang sudah meneken parafnya, menegaskan bahwa lelang dan penetapan pemenang lelang dalam surat itu sudah sesuai prosedur.
Keenam pejabat itu adalah: Kepala Korlantas kala itu, Irjen Djoko Susilo selaku konseptor. Ada juga tanda tangan Kepala Sekretariat Umum (Kasetum) Polri yang dijabat Komisaris Besar Suprayitno; Asisten Bidang Sarana dan Prasarana (Assarpras) Kapolri, Irjen Pol Anton Bachrul Alam; Asisten Bidang Perencanaan Umum dan Pengembangan (Asrena) Kapolri, Irjen Pol Pudjianto; Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri Komjen Pol Fajar Prihantoro dan Wakil Kepala Polri Komjen Nanan Sukarna.

Sebelumnya, Polri mengajukan banding ke MA (Mahkamah Agung). Siapa yang paling berhak menangani kasus tersebut? Pada akhirnya, MA menetapkan bahwa KPK lebih berhak menangani kasus korupsi di internal Polri. Persitegangan KPK vs Polri menyita banyak perhatian, mulai LSM, aktivis, pengacara, pengamat hingga masyarakat ikut turun gunung berdemonstrasi menyuarakan satu kata “Selamatkan KPK”. Dukungan terus mengalir deras tak terbendung. Ini menunjukkan bahwa rakyat sangat menggantungkan bangsa kepada KPK karena korupsi telah membuat sendi-sendi bangsa rapuh. Rakyat tidak ingin korupsi menggurita yang membuat bangsa Indonesia hancur.

Sesungguhnya, permasalahan ini tidak akan melebar jika para pemimpinnya bisa bersikap tegas dan tangkas. Keterlambatan dalam mengambil sikap inilah yang membuat rakyat gerah dan muak sehingga malakukan aksi-aksi protes dan demo. Masyarakat sadar, di saat lembaga lain tidak dapat diharapkan, KPK datang membawa dan memberi sejuta harapan masyarakat, karena KPK lahir dari rahim masyarakat. Ini sebabnya, ketika KPK mau dikerdilkan fungsi dan wewenangnya, seluruh aktivis dan masyarakat berduyun-duyun mengecam Polri, karena KPK merupakan harapan rakyat untuk bangkit menuju Indonesia yang bersih dari korupsi.

Penarikan atau rotasi penyidikan KPK oleh Polri sebenarnya juga merupakan sesuatu yang selama ini sudah rutin berjalan. Penarikan ini menjadi sesuatu yang istimewa ketika bebarengan dengan penetapan tersangka Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo dalam kasus Simulator SIM. Entah sebuah kebetulan semata atau memang ada sebuah upaya pelemahan, karena konon beberapa penyidik yang ditarik itu menangani kasus simulator SIM.
Masalah penetapan penyidik KPK yang masih jadi anggota Polri menjadi pegawai tetap KPK. Diberitakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan 28 penyidik dari unsur kepolisian sebagai pegawai tetap di lembaga antikorupsi itu.

Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas menyatakan, pengangkatan 28 penyidik tersebut telah tertuang dalam surat ketetapan (SK) yang ditandatangani langsung pimpinan KPK. Lembaga ad hoc itu juga telah melayangkan surat pemberitahuan kepada Mabes Polri terkait pengangkatan 28 penyidik tersebut menjadi pegawai KPK. Pemberitahuan tersebut sebagai bagian koordinasi kedua lembaga.

Sementara menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar saat jumpa pers di Mabes Polri, Jenderal bintang satu ini pun kembali mengingatkan para penyidik terkait etika sebagai anggota Polri.

Penyidik terlebih dahulu harus kembali ke Mabes Polri dan melaporkan kepulangan mereka secara resmi. Setelah itu, para penyidik juga harus memberikan laporan tertulis selama mereka diperbantukan di KPK. Setelah menjalankan kewajiban tersebut, kata Boy, mereka bisa mengajukan surat pengunduran diri pada Kapolri Jenderal Timur Pradopo. Prosedur pengunduran diri ini disesuaikan juga dengan Undang-Undang Nomor 43 tahun 1999 tentang perubahan Nomor 8 tahun 1974, tentang Pokok Kepegawaian.

Keempat, masalah penetapan tersangka terhadap penyidik KPK Kompol Novel Baswedan. Diberitakan bahwa penetapan Kompol Novel Baswedan yang diikuti oleh upaya penangkapan tersangka oleh anggota Polri, berhasil digagalkan oleh pemimpin KPK. Konon Polda Bengkulu mengaitkan Kompol Novel dengan pelanggaran Pasal 351 ayat 3 KUHP, yakni penganiayaan yang mengakibatkan kematian. Seorang tahanan yang mendekam di wilayah yuridiksi Polda Bengkulu meninggal akibat ditembak. Kasus ini dikatakan terjadi pada 2004. Saat itu, Kompol Novel menjabat sebagai Kasat Serse Polda Bengkulu.
Sementara itu Wakil Ketua KPK Bambang Widjodjanto dalam keterangan persnya menegaskan bahwa KPK tetap akan melindungi penyidiknya, Kompol Novel Baswedan. Bambang menuding balik kalau penetapan tersangka sekaligus upaya penjemputan paksa itu merupakan sebuah upaya kriminalisasi terhadap penyidik KPK. Kalau melihat situasi terakhir semalam, persoalan Kompol Novel akan berbuntut panjang. Sesama aparat penegak hukum dengan alasan untuk menegakkan hukum sama-sama berseteru.

Disisi lain Aktivis 98, Adian Napitupulu, mengaku heran dengan rencana polisi yang akan menangkap penyidik KPK, Novel Baswedan di Gedung KPK pada malam hari.

“Siapa pun tahu kalau malam KPK pasti tutup dan tak ada pimpinan yang berkompetan untuk menghadapi masalah sekelas penangkapan penyidik sebuah institusi hukum yang tentunya tidak semudah menangkap maling ayam,” ujarnya kala itu.

Menurut Adian, polisi punya banyak metode untuk melakukan penangkapan misalnya diawali pengintaian lalu membuntuti kemudian menangkap Noval di jalan, warung, rumahnya atau banyak tempat lain yang bukan berada di KPK saat kantor sudah tutup. Dengan adanya upaya penangkapan itu maka akan banyak muncul pertanyaan di publik.

“Polisi mau nangkap atau cari sensasi? Kalau mau nangkap kok polanya naif, kalau mau cari sensasi itu untuk menutupi isu apa,?” tanyanya.
Bahkan, menurut Adian, ada yang lebih lucu yaitu ketika dilakukan pengepungan kantor KPK konon dipimpin petinggi polisi dari Polda Bengkulu plus pasukannya. Padahal memimpin penangkapan penyidik KPK di Jakarta harusnya dipimpin oleh orang yang memahami konstalasi Jakarta dengan baik dan bukan seperti pemain sepak bola yang bisa ditransfer seketika antarkota.

“Drama makin lucu ketika mantan staf khusus Presiden yang sekarang menjabat Wamenkumham tiba-tiba datang di KPK. Kehadirannya bukan saat situasi tegang tapi setelah situasi konon sudah terkendali. Entah apa fungsi kehadirannya. Apakah untuk meredam atau memastikan “skenario” berjalan,” ujarnya heran.

Drama tersebut menurut Adian ternyata belum berhenti. Pasalnya di malam yang sama, tanpa proses pengadilan, Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto yang juga pakar hukum didampingi Denny Indrayana memberi pernyataan bahwa Noval tak bersalah.

“Siapapun tahu, bahwa bersalah atau tidak seseorang ditentukan oleh putusan pengadilan dan bukan oleh KPK,” tukasnya.
Banyaknya keganjilan dalam konflik ini menurutnya semakin memberikan cerita lucu yang kemungkinan berakhir dengan datangnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai juru selamat dalam konflik ini.

“KPK dipilih oleh DPR yang 80 persen anggotanya bagian dari koalisi SBY. Sementara Kapolri diangkat langsung oleh SBY dan ketika mereka berseteru para tokoh politik berteriak “Kemana Presiden Kita?”. Berteriak seolah sinyal untuk mempersiapkan landasan bagi pencitraan SBY untuk tampil sebagai juru selamat dalam konflik ini,” pungkasnya.(bbs/jpnn)

Exit mobile version