Site icon SumutPos

Hanura dan Gerindra Bisa Besar

PADA Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) yang berlangsung 9 April 2009, perolehan suara Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), memang belum menggembirakan. Meski begitu, mereka sudah cukup bagus, karena telah mampu melawati hadangan parliamentary threshold. Berarti mereka berhak untuk ikut perhitungan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), sekaligus dapat mengikuti Pemilu 2014.
Kita anggap cukup bagus karena banyak partai baru lainnya -sekitar 28-29 partai politik- yang gagal ikut perhitungan kursi di DPR RI, dan juga tidak berhak ikut di Pemilu 2014. Hanya pertanyaan dan persoalannya adalah, bagaimana peluang mereka di Pemilu 2014? Mungkinkah kedua partai tersebut dapat berubah menjadi partai besar?

Selain kedua partai yang disebutkan di atas, diperkirakan ada beberapa partai baru lainnya, yang juga bakal menjadi peserta Pemilu 2014, misalnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN). Partai-partai inilah, di luar partai lama seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan Partai Golkar, serta partai pemenang Pemilu 2009, Partai Demokrat yang bakal ikut bertarung di Pemilu lima tahun ke depan.

Berdasarkan pengamatan, Pemilu 2014 diikuti 10 partai politik. Dalam pandangan pengajar hukum tata negara dari Universitas Indonesia (UI) Makmur Amir, SH, MH; semakin sedikit partai politik yang ikut dalam Pemilu justru semakin baik. Dengan begitu sistem presidensil yang dianut Pemerintah Indonesia akan dapat berjalan dengan lebih baik.

Dengan banyak partai seperti sekarang atau sebelumnya, kita sering dihadapkan kepada kesulitan dan kerumitan, ketika hendak mempraktikkan sistem presidensil dengan benar, karena pemerintahan dibangun dengan banyak koalisi. Padahal untuk sistem presidensil yang bagus dengan merujuk kepada Pasal 6 a ayat (2) Undang Undang Dasar 1945, koalisi sebaiknya dibangun penggabungan dua besar.

Penggabungan dua besar sebagaimana tertera dalam aturan dasar tersebut dapat dimaknai sebagai penggabungan dua besar partai pemenang Pemilu. Mengapa? Dengan tidak banyak melibatkan partai dalam pemerintahan, maka pemerintah akan lebih fokus menjalankan misinya. Di sisi lain, dengan dua kekuatan besar yang menopang pemerintah, pemerintahan akan dapat berjalan stabil, tidak goyah atau goncang.

Sementara itu, partai lainnya, atau partai yang tidak terlibat dalam koalisi dapat menjadi patner pemerintah atau bahasa lugasnya oposisi. Oposisi dalam pemerintahan sangat dibutuhkan agar ada check and balance, supaya ada kontrol alias pengendali. Sebab seperti istilah yang terkenal dalam ilmu politik, kekuasaan yang berlebihan, cenderung korup. Tanpa kontrol pemerintah dapat berbuat sewenang-wenang.

Sistem dan tata cara yang berlaku di Pemilu 2009, baik Pileg maupun Pemilu Presiden (Pilpres), sesungguhnya adalah pintu masuk menuju sistem pemerintahan yang baik dengan mengacu kepada sistem presidensil seperti yang kita anut.
Melalui sistem Pemilu ini, diharapkan akan terjaring atau terpilih partai politik yang memang pantas atau cukup layak bertarung di Pemilu 2014. Dan karena sistem ini cukup rumit dan membingungkan, wajar jika di sana-sini timbul komplain.
Namun adalah sangat rugi, jika kemudian kita memboikot atau tidak mengikuti Pilpres mendatang. Karena berarti kita membuang kesempatan dan peluang dengan sia-sia. Padahal kita semua belum tahu, rakyat akan memilih siapa dan yang mana. Di sisi lain, hasil perolehan suara di Pileg bukanlah jaminan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang diusung partai pemenang atau partai yang memperoleh suara terbanyak bakal memenangkan Pilpres.

Masih segar dalam ingatan kita, Partai Golkar dan PDIP adalah partai pemenang pertama dan kedua di Pemilu 2004. Sementara Partai Demokrat dan lainnya hanyalah partai menengah, seperti Partai Gerindra maupun Partai Hanura sekarang. Namun seperti kita ketahui, ternyata jago yang diusung Partai Demokrat, PKS dan lainnya —yang termasuk partai menengah— malah yang menang.

Dan ingat perjalanan sejarah tidak pernah berhenti dalam satu episode saja. Sejarah selalu bergerak mengikuti arus perubahan, dan siapa tahu sejarah kembali terulang. Artinya, jago-jago yang sekarang diusung partai underdog justru yang memenangkan Pilpres mendatang. Siapa tahu, bukan?

Hal lain yang juga patut kita renungkan adalah bahwa tidak selamanya suatu partai politik akan menjadi pemenang.

Di awal Kemerdekaan dan ketika Pemilu pertama kali digelar di negeri tercinta ini (1955), Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah dua partai besar yang mendominasi pemerintahan dan parlemen atau dewan.
Namun berselang 16 tahun kemudian, PKI harus meninggalkan jagat politik nasional karena dilarang, sedangkan PNI yang masih bertahan harus menerima kenyataan kalah dari partai baru. Partai-partai lama yang masih tetap bertahan, nasibnya sama saja, tergilas oleh perubahan.

Sekarang ini sebenarnya telah terjadi perubahan, perolehan suara Partai Golkar yang merosot alias jeblok, termasuk suara PDIP. Dan suara Partai Demokrat yang melonjak 300 persen, serta perolehan suara Partai Gerindra dan Hanura yang cukup signifikan, adalah indikator kuat terjadinya perubahan. (net/jpnn)

Exit mobile version