Site icon SumutPos

Sumut Butuh Pemimpin Visioner

Akmaluddin Hasibuan, Komisaris Utama PTPN VII

JAJARAN KOMISARIS: Komisaris Utama PTPN VII, Akmaluddin Hasibuan (duduk) bersama jajaran komisaris lainnya.//istimewa
Sumatera Utara merupakan provinsi dengan kombinasi sumber daya alam (SDA) dan manusia (SDM) yang mumpuni. Provinsi ini punya potensi besar untuk berkembang dan lebih maju lagi. Bagaimana komentar Akmaluddin Hasibuan, putra Sumatera Utara yang berkiprah di tingkat nasional terhadap perkembangan provinsi ini? Berikut petikan wawancara singkatnya dengan wartawan Sumut Pos saat Komisaris Utama PTPN VII itu berkunjung ke Medan, Jumat, 30 Juni lalu.

Anda lahir di Pekanbaru tetapi lama tinggal di Sumatera Utara dan pantas disebut orang Sumut. Pendapat Anda tentang provinsi ini?

Sumatera Utara itu gerbang utama Indonesia wilayah barat, punya peran strategis membangun Indonesia. Potensi yang dimiliki juga sangat besar. Gabungan keduanya menjadi modal kuat membangun Indonesia dari Sumatera Utara. Tetapi kalau pemimpinnya tak beres, bagaimana membangun Sumut?

Idealnya, sosok seperti apa yang pantas memimpin Sumut?

Yang punya leadership, visi dan misi yang jelas dan mampu menjalankannya. Apapun program, kalau pemimpin tak beres, percuma. Harus punya visi, yag bisa diterjemahkan. Mau dibawa kemana Sumatera Utara ke depan? Apa sektor andalan yang bisa dijual dari Provinsi Sumatera Utara, agribisnis, pertambangan atau apa? Visi itu diambil setelah mempertimbangkan kelemahan dan kelebiha serta peluang.

Bila Sumut mengambil basis sebagai provinsi yang mengandalkan agribisnis, bagaimana langkah selanjutnya. Mana yang harus dipersiapkan. Sarana dan prasarana laut atau pelabuhan udara. Itu strategi jangka panjang.

Bagaimana dengan kondisi Sumut saat ini?

Saya kira enggak jelas.

Tidak jelas seperti apa?

Sumatera Utara tidak punya visi yang jelas. Belum ada pemimpin di provinsi ini yang memikirkan ke arah sana. Coba Anda lihat sendiri lah. Sumut itu besar ya besar sendiri. Tidak ada program jelas dan yang sudah teruji.  Itu yang harus kita pikirkan bersama.

Apakah Anda menyuarakan kepemimpinan ini terkait Pilgubsu 2013?

Bicara kepemimpinan, bukan hanya satu orang, itu kompleks. Mulai dari pemimpin birokrasi terrendah di tingkat kepala desa atau lurah, camat, bupati dan walikota sampai gubernur. Kalau mau maju, para pemimpin ini harus punya pola pandang dan pola piker yang sama. Itu lah permasalahan besar di Sumatera Utara. Nah, bicara gubernur, kalau Anda sekarang memipin, mau diapain itu Tapanuli, apa yang akan Anda kembangkan di Deliserdang, dan begitu seterusnya untuk daerah lain.

Kalau sudah ada strateginya, timbul pertanyaan lain. Apakah gubernur dan bupati serta walikotanya bias seide? Jadi kita harus kesana berpikirnya.

Soal koordinasi gubernur di kabupaten/kota, Anda pasti tahu otonomi memangkas kewenangan gubernur. Pendapat Anda?

Itulah masalahnya. Otonomi membuat gubernur dan bupati/walikota tidak bisa koordinasi soal pembangunan. Beda dengan dulu, satu komando. Tetapi menurut saya, otonomi ya otonomi. Tapi komando pembangunan harus dibicarakan dan dijalankan.

Kalau tidak ada koordinasi, bagaimana bisa membangun?

Begini ya. Di Sumut itu ada berapa kabupaten/kota. Tiap daerah tingkat dua itu pasti dan harus bergantung dengan kabupaten/kota lainnya, tidak bisa bergerak sendiri-sendiri. Misalkan Taput, kalau mau mengekspor hasil bumi atau produk-produknya dari mana? Mereka kan tidak punya pelabuhan atau bandara internasional, harus dibawa ke daerah lain. Kalau mengandalkan angkutan kereta api, di sana tidak dilayani PJKA. Pakai jalur darat pakai truk, jalannya banyak yang rusak serta tidak efisien. Yang ada hight cost. Itu berlaku untuk daerah tingkat dua lain.  Nah, fasilitas jalan saja kita sudah diajak koordinasi. Untuk perbaikan jalan saja, yang bangun siapa, izin penggunaan jalan dari siapa, birokrasinya gak jelas.

Apa yang harus disiapkan membenahi itu semua?

Pembenahan kepemimpinan di Sumut. Setelah itu, baru mereka bekerja menata dan menangani kembali masalah Sumut dengan baik dan benar. Di sini DPR bermain. Karena yang atur itu DPR.
Ingat persaingan kita bukan tingkat lokal lagi, bukan antar kabupaten/kota. Persaingan sudah masuk ranah mengglobal.

Ini terkait cost. Bagaimana kita melawan Malaysia atau Singapura yang tatanannya sudah jelas? Kalau ingin siapkan Sumut bersaing dengan negara tetangga, mulai dari sekarang.
Konkritnya?

Harus ada konsolidasi total untuk pemerintah kita. Jangan hanya menunggu, nanti ditinggal ama provinsi lain. Tengok Riau, tengok provinsi lain. Infrastruktur mereka jauh lebih baik dari kita. Sementara Sumatera Utara sibuk mempersiapkan infrastruktur di kota saja, termasuk di Medan ini.

Kamu tahu tahu pembangunan hanya yang di kota saja, yang di kampung sana enggak menikmati kok. Bentar lagi, enggak ada apa-apanya Sumut ini.

Kalau ingin membangun Sumut, dari mana kita berpikir dan memulai tindakan. Bukan hanya sibuk siapkan program, lebih penting bagaimana mengimplementasikannya.

Bagaimana dengan peran para putra asal Sumut di perantauan?

Banyak tokoh nasional dari Sumut. Mereka bisa dimintai sumbangan pemikiran dan sumbangan lainnya. Saya alumni Universitas HKBP Nommensen dari Fakultas Ekonomi jurusan Akuntansi angkatan 1964. Banyak alumni Nommensen yang menempati posisi strategis di penjuru Indonesia ini. Demikian juga dengan alumni perguruan tinggi lain di Sumut. Libatkan mereka. (tms)

Aktif Menulis Buku

Akmaluddin Hasibuan sangat bersemangat memaparkan isi  buku barunya yang berjudul Manajemen  Perubahan: membalik arah  menuju usaha  perkebunan yang  tangguh melaui strategi optimalisasi efisiensi. Buku ini  adalah  buku pertama yang  ditulis sendiri karena sebelumnya lebih banyak terlibat  dalam pengerjaan  buku yang sifatnya kompilasi.

“Buku ini merupakan  penebusan dosa karena mencekoki orang kebun (planters) dengan teknis keuangan,” ujar Akmaluddin sambil tersenyum.
Lulusan Sarjana Akutansi UHN ini mengeluhkan rendahnya kesadaran perusahaan perkebunan terhadap kultur teknis budidaya, malah  lebih menekankan  kepada efisiensi biaya operasional.
Gejala ini mulai terjadi semenjak medio 1980-an yang sekarang berakibat kepada rendahnya produktivitas perkebunan milik perusahaan negara.
Bang Akmal, panggilan akrab Akmaluddin Hasibuan, meminta setiap planters tidak meninggalkan  norma teknis di perkebunan karena sudah menjadi  hal mutlak. Apabila norma teknis dinegosiasikan, jelas akan merusak perkebunan dalam jangka panjang.

”Tanaman ini merupakan barang hidup yang mesti dipenuhi kebutuhannya,” papar mantan Ketua Umum Gabungan Pengusaha  Kelapa Sawit  ini.
Di usia  ke-67 tahun, Akmaluddin Hasibuan berencana menerbitkan buku lagi karena masih  jarang buku mengenai manajemen perkebunan yang ditulis kalangan pelaku dan praktisi perkebunan. Motivasi ini berasal dari  keinginan  untuk berbagi pengalaman dengan pekerja perkebunan yang  masih muda. (bbs)

[table caption=”Drs Akmaluddin Hasibuan MSc” delimiter=”:”]

Lahir        : Pekanbaru, 14 Mei 1945
Pendidikan[attr colspan=”2″]
1970    :     Fakultas Ekonomi Universitas   HKBP Nomensen, Medan
2007    :     Magister  Agribisinis Universitas Gajah Mada, Jogjakarta
Karir[attr colspan=”2″]
1971    :     Staf internal auditor PT PP London Sumatera.
1975    :    PN Perkebunan VI
1996    :    Direktur Keuangan PT Perkebunan Nusantara XII
1998    :    Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara XII
2003    :    Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara III
2006-2008    :     Ketua GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia)
2008-sekarang    :     Komisaris Utama PTPN VII
[/table]

Exit mobile version