29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Peta Baru yang Pengaruhi Hubungan Dua Suku

New Hope-Dahlan Iskan

Oleh Dahlan Iskan

PETA Timur Tengah kelihatannya akan berubah total. Bisa lebih damai. Atau akan lebih kisruh. Masih harus kita lihat perkembangannya. Yang jelas, Amerika Serikat (AS) tampaknya sudah sampai pada kesimpulan bahwa pendekatan lama tidak bisa dipakai lagi.

Cara yang dipakai selama 30 tahun terakhir ini dinilai tidak menunjukkan gejala ke arah damai.

Di bawah Presiden Barack Obama yang juga pemenang Nobel Perdamaian, AS tampaknya memilih banting setir. Berteman dengan Arab Saudi, sekaligus berteman dengan musuh utamanya yang bernama Israel, sambil bermusuhan dengan musuh dua negara itu, yakni Iran, dianggap terbukti tidak bisa menyelesaikan masalah Timur Tengah. Bahkan terus mengancam ketenangan dunia. Terutama oleh terorisme.

Kini AS justru terlihat akan memilih berteman dengan Iran, musuh besarnya selama 30 tahun itu. Dengan dukungan PBB dan Eropa, AS menyepakati perjanjian tentang nuklir Iran. Ini jalan awal menuju dicabutnya embargo pada Iran. Juga awal normalisasi hubungan dengan negara-negara Barat. Bahkan, Prancis seperti sudah tidak sabar untuk membuka hubungan itu.

Risiko besar memang sedang diambil Obama. Di dalam negeri Obama akan ditentang habis lawan politiknya. Di luar negeri Obama akan dimusuhi sekutu lamanya, Israel dan sekaligus Arab Saudi.

Untuk menghadapi oposisi di dalam negeri, Obama tentu akan menggunakan alasan yang sangat masuk akal. Akal sehat orang Amerika akan setuju dengan alasan Obama ini: semua sumber teroris di Barat justru datang dari jalur yang dekat dengan aliran Wahabi yang asalnya dari Arab Saudi. Tidak ada aksi teror di AS dan Eropa yang terkait dengan Iran atau aliran Syiahnya.

Akal sehat publik Amerika akan bisa menerima fakta itu. Mereka bukan orang yang ideologis atau emosional. Tapi, Obama tetap saja harus kerja keras meyakinkan mereka. Oposisi di AS kini tidak hanya datang dari Partai Republik, tapi juga dari dalam Demokrat sendiri. Satu sayap kuat di Demokrat kini lagi mempersoalkan kesenjangan ekonomi yang kian lebar. Lebih dari 55 persen pendapatan baru Amerika dikuasai hanya oleh 10 persen orang kaya. Itu pun lebih didominasi 1 persen di dalam 10 persen itu. Inilah kesenjangan ekonomi terjelek sejak tahun 1928 di AS.

Soal hubungan dengan sekutu lamanya, Arab Saudi, Obama kelihatannya sudah tidak ada beban apa-apa. Amerika sudah tidak takut apa-apa lagi. Praktis, sebenarnya kini Amerika bahkan sudah tidak membutuhkan Saudi. Dulu AS memang takut diembargo minyak oleh Saudi. Ekonomi AS sangat bergantung pada minyak mentah Saudi.

Kini” Amerika tidak memerlukan minyak Saudi. Tidak lagi. Amerika kini sudah punya sumber energi sendiri. Bahkan lebih bersih. Dan lebih murah: shale gas.

Sejak AS menemukan shale gas (gas dari celah bebatuan) beberapa tahun lalu, kini ekonominya tumbuh sangat bagus. Sumber energinya sangat murah. Ketika Tiongkok, Jepang, dan Eropa harus membeli gas dengan harga paling rendah 9 dolar/mmbtu, harga gas di AS hanya 3 dolar/mmbtu. Hanya sepertiganya.

Praktis AS tidak perlu Saudi lagi. Bahkan, kini AS bisa-bisa melihat Saudi sebagai penghambat utama demokratisasi dunia. Sistem kerajaannya yang tidak demokratis, sistem sosialnya yang sangat menghambat peran perempuan, dan network-nya dengan kelompok-kelompok radikal bisa jadi membuat AS akan sangat kritis terhadap Saudi.

Selama ini AS dikecam sebagai penganut standar ganda. Pejuang demokrasi, tapi melindungi Saudi yang tidak demokratis. Semua itu dilakukan AS semata-mata demi mendapat minyak dari Saudi. Kini, setelah AS tidak membutuhkan minyak Saudi lagi, ke depan peta itu bisa berubah total.

Apakah menjauhnya AS dari Saudi sambil mendekatkan diri ke Iran itu akan menimbulkan ketegangan internal di kawasan tersebut. Antara blok Arab yang beraliran Sunni dan blok Iran/Parsi yang beraliran Syiah. Atau ketegangan hanya akan lebih mencekam di internal masing-masing negara Arab. Terutama akibat tuntutan demokratisasi dari dalam negeri masing-masing.

Kalau saja kelak terjadi demokratisasi di negara-negara kerajaan itu, siapa yang akan jadi pemenang pemilu di Bahrain dan Arab Saudi” Belum tentu kelompok Sunni dan Wahabi yang menang. Bisa jadi akan seperti Iraq sekarang.

Bagi kita di Indonesia, sebenarnya semua itu urusan politik. Bukan urusan agama. Tapi, mau tidak mau Islam terbawa-bawa. Apalagi kalau sampai membawa-bawa Sunni dan Syiah sebagai kemasan pertentangan.

Islam pernah mengalami kemajuan ilmu pengetahuan luar biasa. Melebihi dunia Barat. Yakni di saat pemerintahan Abbasiyah di wilayah yang sekarang disebut Baghdad. Itu tahun 1300-an. Di saat rajanya mengatakan “setetes tinta untuk ilmu lebih mulia daripada setetes darah untuk perang”. Saat itu terjadi kerja sama yang sangat erat antara suku Arab yang Sunni dan suku Persia yang Syiah. Tidak ada situasi saling menjelekkan, saling mengafirkan, dan saling menyerang.

Abbasiyah memang belajar banyak dari keruntuhan kerajaan Islam yang amat kuat sebelumnya: Umayyah. Yang beribu kota di Damaskus (Syria) saat ini. Pada zaman inilah Islam berkembang sampai ke Andalusia (Spanyol). Dan juga sampai Persia dan India. Artinya, banyak wilayah non-Arab yang menjadi Islam.

Tapi, sikap raja-raja Umayyah yang menjadikan umat Islam non-Arab sebagai umat Islam kelas dua, menurut sebagian ahli sejarah, membuat kerajaan itu akhirnya mudah dijatuhkan Abbasiyah. Tentu raja-raja Abbasiyah juga dari suku Arab, tapi mengakomodasi suku lain non-Arab sangat bagus. Termasuk mengakomodasi suku Persia, tetangganya di selatan yang notabene Syiah.

Waktu itu Sunni bisa sangat rukun dengan Syiah. Islam menjadi sangat maju. Mengalahkan kemajuan Barat. Energi tidak habis untuk bertengkar. Energi lebih banyak untuk berkarya.

Dengan kemungkinan terjadinya peta baru di sana, kita yang jauh dari Timur Tengah ingin melihat kembali kemungkinan terjadinya kerukunan dua suku utama di kawasan itu. Demi nama harum Islam, kedamaian dunia, dan kesejahteraan umat manusia. (*)

New Hope-Dahlan Iskan

Oleh Dahlan Iskan

PETA Timur Tengah kelihatannya akan berubah total. Bisa lebih damai. Atau akan lebih kisruh. Masih harus kita lihat perkembangannya. Yang jelas, Amerika Serikat (AS) tampaknya sudah sampai pada kesimpulan bahwa pendekatan lama tidak bisa dipakai lagi.

Cara yang dipakai selama 30 tahun terakhir ini dinilai tidak menunjukkan gejala ke arah damai.

Di bawah Presiden Barack Obama yang juga pemenang Nobel Perdamaian, AS tampaknya memilih banting setir. Berteman dengan Arab Saudi, sekaligus berteman dengan musuh utamanya yang bernama Israel, sambil bermusuhan dengan musuh dua negara itu, yakni Iran, dianggap terbukti tidak bisa menyelesaikan masalah Timur Tengah. Bahkan terus mengancam ketenangan dunia. Terutama oleh terorisme.

Kini AS justru terlihat akan memilih berteman dengan Iran, musuh besarnya selama 30 tahun itu. Dengan dukungan PBB dan Eropa, AS menyepakati perjanjian tentang nuklir Iran. Ini jalan awal menuju dicabutnya embargo pada Iran. Juga awal normalisasi hubungan dengan negara-negara Barat. Bahkan, Prancis seperti sudah tidak sabar untuk membuka hubungan itu.

Risiko besar memang sedang diambil Obama. Di dalam negeri Obama akan ditentang habis lawan politiknya. Di luar negeri Obama akan dimusuhi sekutu lamanya, Israel dan sekaligus Arab Saudi.

Untuk menghadapi oposisi di dalam negeri, Obama tentu akan menggunakan alasan yang sangat masuk akal. Akal sehat orang Amerika akan setuju dengan alasan Obama ini: semua sumber teroris di Barat justru datang dari jalur yang dekat dengan aliran Wahabi yang asalnya dari Arab Saudi. Tidak ada aksi teror di AS dan Eropa yang terkait dengan Iran atau aliran Syiahnya.

Akal sehat publik Amerika akan bisa menerima fakta itu. Mereka bukan orang yang ideologis atau emosional. Tapi, Obama tetap saja harus kerja keras meyakinkan mereka. Oposisi di AS kini tidak hanya datang dari Partai Republik, tapi juga dari dalam Demokrat sendiri. Satu sayap kuat di Demokrat kini lagi mempersoalkan kesenjangan ekonomi yang kian lebar. Lebih dari 55 persen pendapatan baru Amerika dikuasai hanya oleh 10 persen orang kaya. Itu pun lebih didominasi 1 persen di dalam 10 persen itu. Inilah kesenjangan ekonomi terjelek sejak tahun 1928 di AS.

Soal hubungan dengan sekutu lamanya, Arab Saudi, Obama kelihatannya sudah tidak ada beban apa-apa. Amerika sudah tidak takut apa-apa lagi. Praktis, sebenarnya kini Amerika bahkan sudah tidak membutuhkan Saudi. Dulu AS memang takut diembargo minyak oleh Saudi. Ekonomi AS sangat bergantung pada minyak mentah Saudi.

Kini” Amerika tidak memerlukan minyak Saudi. Tidak lagi. Amerika kini sudah punya sumber energi sendiri. Bahkan lebih bersih. Dan lebih murah: shale gas.

Sejak AS menemukan shale gas (gas dari celah bebatuan) beberapa tahun lalu, kini ekonominya tumbuh sangat bagus. Sumber energinya sangat murah. Ketika Tiongkok, Jepang, dan Eropa harus membeli gas dengan harga paling rendah 9 dolar/mmbtu, harga gas di AS hanya 3 dolar/mmbtu. Hanya sepertiganya.

Praktis AS tidak perlu Saudi lagi. Bahkan, kini AS bisa-bisa melihat Saudi sebagai penghambat utama demokratisasi dunia. Sistem kerajaannya yang tidak demokratis, sistem sosialnya yang sangat menghambat peran perempuan, dan network-nya dengan kelompok-kelompok radikal bisa jadi membuat AS akan sangat kritis terhadap Saudi.

Selama ini AS dikecam sebagai penganut standar ganda. Pejuang demokrasi, tapi melindungi Saudi yang tidak demokratis. Semua itu dilakukan AS semata-mata demi mendapat minyak dari Saudi. Kini, setelah AS tidak membutuhkan minyak Saudi lagi, ke depan peta itu bisa berubah total.

Apakah menjauhnya AS dari Saudi sambil mendekatkan diri ke Iran itu akan menimbulkan ketegangan internal di kawasan tersebut. Antara blok Arab yang beraliran Sunni dan blok Iran/Parsi yang beraliran Syiah. Atau ketegangan hanya akan lebih mencekam di internal masing-masing negara Arab. Terutama akibat tuntutan demokratisasi dari dalam negeri masing-masing.

Kalau saja kelak terjadi demokratisasi di negara-negara kerajaan itu, siapa yang akan jadi pemenang pemilu di Bahrain dan Arab Saudi” Belum tentu kelompok Sunni dan Wahabi yang menang. Bisa jadi akan seperti Iraq sekarang.

Bagi kita di Indonesia, sebenarnya semua itu urusan politik. Bukan urusan agama. Tapi, mau tidak mau Islam terbawa-bawa. Apalagi kalau sampai membawa-bawa Sunni dan Syiah sebagai kemasan pertentangan.

Islam pernah mengalami kemajuan ilmu pengetahuan luar biasa. Melebihi dunia Barat. Yakni di saat pemerintahan Abbasiyah di wilayah yang sekarang disebut Baghdad. Itu tahun 1300-an. Di saat rajanya mengatakan “setetes tinta untuk ilmu lebih mulia daripada setetes darah untuk perang”. Saat itu terjadi kerja sama yang sangat erat antara suku Arab yang Sunni dan suku Persia yang Syiah. Tidak ada situasi saling menjelekkan, saling mengafirkan, dan saling menyerang.

Abbasiyah memang belajar banyak dari keruntuhan kerajaan Islam yang amat kuat sebelumnya: Umayyah. Yang beribu kota di Damaskus (Syria) saat ini. Pada zaman inilah Islam berkembang sampai ke Andalusia (Spanyol). Dan juga sampai Persia dan India. Artinya, banyak wilayah non-Arab yang menjadi Islam.

Tapi, sikap raja-raja Umayyah yang menjadikan umat Islam non-Arab sebagai umat Islam kelas dua, menurut sebagian ahli sejarah, membuat kerajaan itu akhirnya mudah dijatuhkan Abbasiyah. Tentu raja-raja Abbasiyah juga dari suku Arab, tapi mengakomodasi suku lain non-Arab sangat bagus. Termasuk mengakomodasi suku Persia, tetangganya di selatan yang notabene Syiah.

Waktu itu Sunni bisa sangat rukun dengan Syiah. Islam menjadi sangat maju. Mengalahkan kemajuan Barat. Energi tidak habis untuk bertengkar. Energi lebih banyak untuk berkarya.

Dengan kemungkinan terjadinya peta baru di sana, kita yang jauh dari Timur Tengah ingin melihat kembali kemungkinan terjadinya kerukunan dua suku utama di kawasan itu. Demi nama harum Islam, kedamaian dunia, dan kesejahteraan umat manusia. (*)

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/