26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Tambah Kuota BBM Subsidi

JAKARTA- Antrean kendaraan bermotor di SPBU akibat kelangkaan BBM sepertinya masih akan sulit diatasi. Kritikan pun ditujukan pada pemerintah yang dinilai tidak tegas dalam menentukan kebijakan BBM bersubsidi.

Anggota Komisi VII DPR Dito Ganinduto mengatakan, kekisruhan akibat kelangkaan BBM di berbagai daerah disebabkan karena sikap pemerintah yang terkesan menggantung. Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR Satya W. Yudha menyebut, kenaikan harga seharusnya menjadi salah satu opsi yang bisa dipertimbangkan oleh pemerintah, selain melakukan pembatasan konsumsi BBM dengan melarang mobil pribadi membeli BBM bersubsidi.

Menurut Satya, langkah menaikkan atau membatasi konsumsi BBM tersebut bisa memberi banyak manfaat. Selain menekan angka subsidi, langkah tersebut juga bisa membuat subsidi BBM lebih tepat sasaran karena diperuntukkan untuk kendaraan umum maupun sepeda motor.   Jika dicermati, kelangkaan BBM yang terjadi di berbagai daerah memang ibarat lingkaran setan. Pertamina selaku operator, memang tidak bisa begitu saja menambah pasokan BBM ke SPBU jika di suatu daerah terjadi kelangkaan. Sebab, jika ingin menambah kuota, Pertamina harus mendapat persetujuan dari Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) selaku pihak pemerintah.

DPR melalui Komisi VII juga terus menekan pemerintah dan Pertamina agar mengatasi kelangkaan. Namun, BPH Migas pun juga terikat dengan kuota BBM bersubsidi yang sudah disepakati oleh pemerintah dan DPR dalam APBN. Sehingga, jika kuota BBM bersubsidi, maka BPH Migas dan Kementerian ESDM lah yang akan disalahkan oleh DPR.

Sebelumnya, Kepala BPH Migas Tubagus Haryono mengatakan, konsumsi BBM bersubsidi jenis Premium dan Solar di berbagai wilayah Indonesia sudah melampaui kuota yang ditetapkan. Artinya, Pertamina pun mulai mengerem pasokan. “Dari 33 provinsi, konsumsi BBM bersubsidi di 28 provinsi sudah melampaui kuota,” ujarnya.

VP Komunikasi PT Pertamina Mochamad Harun menambahkan, Pertamina pun selalu dalam posisi sulit dalam kasus kelangkaan BBM. “Sebab, Pertamina pasti selalu dituding sebagai pihak yang bersalah. Padahal, kami memang terikat dengan kuota. Jadi, kami tidak bisa serta merta menambah pasokan BBM di daerah-daerah yang terjadi kelangkaan,” jelasnya.

Selain itu, lanjut dia, sebanyak apapun BBM dipasok ke daerah-daerah yang terjadi kelangkaan, maka tetap saja masih akan kurang jika memang di daerah tersebut terjadi banyak penyelewengan. “Jadi, kalau BBM terus dipasok, nanti yang untung malah sindikat yang menyelewengkan BBM bersubsidi ke industri,” ucapnya.

Karena itu, kata Harun, yang bisa dilakukan Pertamina saat ini adalah membantu BPH Migas dan aparat Kepolisian untuk menekan tindak penyelewengan BBM bersubsidi.

Saat ini, pemerintah dan Komisi VII DPR memang sudah menyepakati penambahan kuota BBM bersubsidi dalam RAPBN-Perubahan 2011, dari 38,59 juta kiloliter (KL) menjadi 40, 49 juta KL. Namun, tanpa langkah yang tegas dari pemerintah, kuota tersebut berpotensi untuk kembali terlampaui.

Dirjen Migas Kementerian ESDM Evita H Legowo mengatakan, persoalan BBM bersubsidi ini benar-benar menjadi fokus utama pemerintah. Bahkan, pihaknya bersama BPH Migas dan Pertamina selalu melakukan koordinasi setiap dua hari sekali untuk memantau BBM bersubsidi.(owi/jpnn)

JAKARTA- Antrean kendaraan bermotor di SPBU akibat kelangkaan BBM sepertinya masih akan sulit diatasi. Kritikan pun ditujukan pada pemerintah yang dinilai tidak tegas dalam menentukan kebijakan BBM bersubsidi.

Anggota Komisi VII DPR Dito Ganinduto mengatakan, kekisruhan akibat kelangkaan BBM di berbagai daerah disebabkan karena sikap pemerintah yang terkesan menggantung. Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR Satya W. Yudha menyebut, kenaikan harga seharusnya menjadi salah satu opsi yang bisa dipertimbangkan oleh pemerintah, selain melakukan pembatasan konsumsi BBM dengan melarang mobil pribadi membeli BBM bersubsidi.

Menurut Satya, langkah menaikkan atau membatasi konsumsi BBM tersebut bisa memberi banyak manfaat. Selain menekan angka subsidi, langkah tersebut juga bisa membuat subsidi BBM lebih tepat sasaran karena diperuntukkan untuk kendaraan umum maupun sepeda motor.   Jika dicermati, kelangkaan BBM yang terjadi di berbagai daerah memang ibarat lingkaran setan. Pertamina selaku operator, memang tidak bisa begitu saja menambah pasokan BBM ke SPBU jika di suatu daerah terjadi kelangkaan. Sebab, jika ingin menambah kuota, Pertamina harus mendapat persetujuan dari Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) selaku pihak pemerintah.

DPR melalui Komisi VII juga terus menekan pemerintah dan Pertamina agar mengatasi kelangkaan. Namun, BPH Migas pun juga terikat dengan kuota BBM bersubsidi yang sudah disepakati oleh pemerintah dan DPR dalam APBN. Sehingga, jika kuota BBM bersubsidi, maka BPH Migas dan Kementerian ESDM lah yang akan disalahkan oleh DPR.

Sebelumnya, Kepala BPH Migas Tubagus Haryono mengatakan, konsumsi BBM bersubsidi jenis Premium dan Solar di berbagai wilayah Indonesia sudah melampaui kuota yang ditetapkan. Artinya, Pertamina pun mulai mengerem pasokan. “Dari 33 provinsi, konsumsi BBM bersubsidi di 28 provinsi sudah melampaui kuota,” ujarnya.

VP Komunikasi PT Pertamina Mochamad Harun menambahkan, Pertamina pun selalu dalam posisi sulit dalam kasus kelangkaan BBM. “Sebab, Pertamina pasti selalu dituding sebagai pihak yang bersalah. Padahal, kami memang terikat dengan kuota. Jadi, kami tidak bisa serta merta menambah pasokan BBM di daerah-daerah yang terjadi kelangkaan,” jelasnya.

Selain itu, lanjut dia, sebanyak apapun BBM dipasok ke daerah-daerah yang terjadi kelangkaan, maka tetap saja masih akan kurang jika memang di daerah tersebut terjadi banyak penyelewengan. “Jadi, kalau BBM terus dipasok, nanti yang untung malah sindikat yang menyelewengkan BBM bersubsidi ke industri,” ucapnya.

Karena itu, kata Harun, yang bisa dilakukan Pertamina saat ini adalah membantu BPH Migas dan aparat Kepolisian untuk menekan tindak penyelewengan BBM bersubsidi.

Saat ini, pemerintah dan Komisi VII DPR memang sudah menyepakati penambahan kuota BBM bersubsidi dalam RAPBN-Perubahan 2011, dari 38,59 juta kiloliter (KL) menjadi 40, 49 juta KL. Namun, tanpa langkah yang tegas dari pemerintah, kuota tersebut berpotensi untuk kembali terlampaui.

Dirjen Migas Kementerian ESDM Evita H Legowo mengatakan, persoalan BBM bersubsidi ini benar-benar menjadi fokus utama pemerintah. Bahkan, pihaknya bersama BPH Migas dan Pertamina selalu melakukan koordinasi setiap dua hari sekali untuk memantau BBM bersubsidi.(owi/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/