JAKARTA- Sorotan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) makin tajam. Tanggapan publik tak lagi sekadar soal nyanyian Nazaruddin yang menyebut pernah bertemu Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah, Deputi Penindakan Ade Rahardja dan Jubir KPK Johan Budi. Kinerja KPK pun diblejeti.
Wakil Ketua Komisi III DPR Tjatur Sapto Edi menyebut KPK tidak punya strategi yang jelas dalam memberantas korupsi. KPK disebutnya tidak punya pemetaan perkara korupsi yang mesti ditangani. Bahkan, cenderung hanya mengurusi perkara korupsi kelas teri, yang nilai kerugian negaranya tak seberapa alias recehan.
“Jangan hanya mengurusi yang recehan. Harapan saya, selamatkan uang negara yang jumlahnya besar. KPK belum pernah mengusut yang triliunan,” ujar Tjatur Sapto Edi dalam diskusi bertema ‘KPK, Nasibmu Kini’, di Warung Daun, Cikini, Sabtu (30/7).
KPK juga diingatkan jangan melulu menuruti laporan dari masyarakat, yang hingga kini sudah mencapai sekitar 55 ribu pengaduan. Kalau semua dituruti, jelas tidak tertangani oleh KPK yang hanya punya 600-an pegawai dan 70-an penyidik. “Sampai kiamat pun tak akan selesai, karena yang kalah tender itu rata-rata lapor,” ujar politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) itu.
“Yang ditangani harus orang besar, yang uang kerugian negaranya besar. Harus ada yang diprioritaskan. Jangan recehan. Koruptor yang betul-betul, kumpul di Singapura, main casino, tertawa karena yang ditangkapi yang kecil-kecil,” cetus Tjatur.
Meski demikian, Tjatur mengaku tidak setuju dengan pernyataan Ketua DPR Marzuki Alie yang mendorong perlunya KPK dibubarkan saja jika dianggap tidak ada pimpinan KPK yang kredibel.
Sementara, Direktur Pusat Antikorupsi (Pukat) UGM, Zainal Arifin Mochtar, habis-habisan membela pimpinan KPK. Menurutnya, tidak adil jika nyanyian Nazaruddin lantas dijadikan amunisi untuk menyerang pimpinan KPK. Menurutnya, omongan Nazar yang tidak konsisten, tidak bisa dipercaya.
Dia lantas membeberkan argumentasinya. Menurutnya, sumber penyakit KPK bukan pada pimpinannya. Pertama, yang terkait dengan struktur kelembagaan KPK. Dari 55 ribuan laporan kasus korupsi yang masuk ke KPK, hanya 10 persennya saja yang diverifkasi, lantaran keterbatasan pegawai dan penyidik. “Jadi, omong kosong jika semua laporan bisa tertangani,” ujarnya.
Kedua, dia menduga, level di bawah pimpinan KPK lah yang nakal, baik itu tingkat deputi ataupun penyidik. Masalah ini sumbernya juga di UU KPK, dimana disebutkan, penyidik KPK berasal dari kepolisian dan kejaksaan. Menurut Zainal, ini aneh, lantaran KPK didirikan dengan niat mendorong kejaksaan dan kepolisian bisa lebih baik dalam memberantas korupsi. “Yang mau diperbaiki polisi dan jaksa, tapi penyidiknya polisi dan jaksa,” ujarnya.
Hal ini, lanjutnya, menghambat KPK dalam melakukan proses supervisi kasus korupsi yang ditangani kepolisian dan kejaksaan di daerah. Penyidik KPK yang paling banter berpangkat mayor, harus bertemu dengan Kapolda yang sudah perwira tinggi. “Mereka pasti juga berpikir, begitu tugasnya di KPK selesai, ya baik lagi ke korpsnya, di kepolisian dan kejaksaan,” kata Zainal.
Berbeda dengan Zainal, praktisi hukum Juniver Girsang yang juga hadir sebagai pembicara diskusi menilai, saat ini memang sudah tidak ada pimpinan KPK yang kredibel. “Apa yang kita rindukan mengenai pimpinan KPK yang kredibel, jauh panggang dari api,” ujar Juniver. Dikatakan, pelanggaran kode etik sudah banyak dilakukan pimpinan KPK. Pengaduan Ade Rahardja bahwa memang pernah bertemu Nazar, sudah cukup sebagai dasar untuk menyebut telah terjadi pelanggaran kode etik.
Dia sepakat dengan Tjatur, bahwa KPK mestinya bisa mengembalikan kerugian negara dalam jumlah besar dari para koruptor. “Tapi yang ditangani malah recehan. Tertangkap tangan Rp1 juta, atau Rp1 miliar. Kalau kewenangan KPK yang besar itu diberikan kejaksaan dan kepolisian, saya yakin tujuan pengembalian uang negara bisa tercapai,” kata pengacara senior itu.
Sedang mantan anggota Panja RUU KPK, Firman Jaya Daeli mengatakan, faktor pelemah KPK teletak pada orang-orangnya. “Titik lemah KPK ada pada orangnya. Publik sedang melihat itu,” ujar politisi dari PDI Perjuangan itu. (sam)