26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Kereta Rp15 Triliun Setahun Hanya Jalan Tiga Hari

Catatan Dahlan Iskan yang Kembali Berlebaran di Makkah (4-Habis)

Seri terakhir dari  empat catatan Dahlan Iskan. Sekeluar Masjid Al Haram, CEO PLN ini langsung menuju proyek dibangunnya kereta cepat khusus haji rute Makkah-Arafah.

Salah satu yang ingin saya lihat di Makkah “di luar ritual umrah” adalah proyek kereta listriknya. Terutama tahap 1 jurusan Makkah-Arafah yang sedang dibangun dengan rugi yang sangat besar oleh Tiongkok itu.

Karena itu, setelah salat Asar, menunggu terik matahari musim panas mereda, saya ke Mina, Mudzdalifah, dan Padang Arafah.  Di luar musim haji seperti sekarang ini, tempat-tempat itu tidak berpenghuni sama sekali. Hanya hamparan padang yang bergunung-gunung batu yang cadas.

Tapi, ketika musim haji, jutaan jamaah bergerak serentak melakukan perjalanan suci ke lokasi-lokasi itu. Padat, merambat, dan bahkan macet total. Sering kemacetan itu begitu parahnya membuat sebagian jamaah tiba di luar jam yang disyaratkan. Dulu, ketika naik haji, saya memilih jalan kaki pulang pergi untuk rute yang sekali jalan sekitar 25 km itu (bukan 40 km seperti dalam seri pertama tulisan ini).

Problem itulah yang akan dipecahkan pemerintah Arab Saudi dengan pembangunan jaringan kereta cepatnya. Kalau kereta tersebut berfungsi penuh pada musim haji dua bulan lagi, kendaraan yang menuju Arafah bisa berkurang setidaknya 53.000 mobil. Tinggal bus-bus besar yang minimal berisi 25 orang yang diizinkan menuju Padang Arafah. Uji coba sudah dilakukan pada musim haji tahun lalu, namun baru 30 persen dari kapasitas sesungguhnya.

Sekarang pun, saat saya menyusuri rute kereta itu, belum benar-benar selesai. Saya mampir ke stasiun Mudzdalifah yang masih belum tertata. Saya lihat hanya dua pekerja yang memasang tegel di tangga. Halamannya juga masih belum dikerjakan. Saya tentu ngobrol dengan pekerja asal Tiongkok yang tidak punya agama itu mengenai suka-duka bekerja di sebuah negara yang sangat ketat dalam menerapkan ajaran agama. Mereka heran melihat saya bisa berbahasa Mandarin.

Uji coba kereta terus dilakukan tanpa menunggu semua fasilitas selesai. Kereta warna dominan hijau muda dan kuning muda tersebut terus datang dan pergi. Itulah stasiun pertengahan antara Mina dan Arafah. Setiap rangkaian berisi 12 gerbong. Setiap gerbong bisa memuat 250 orang (70 persen berdiri) sehingga satu rangkaian bisa mengangkut 3.000 orang.

Menggunakan listrik 1.500 vdc, 3.000 ampere, dan dengan lebar rel 1,435 meter, kereta itu berkecepatan 120 km/jam sehingga direncanakan setiap jam bisa mengangkut 73.000 orang.

Inilah investasi kereta sepanjang 18 km dengan biaya Rp15 triliun yang hanya akan digunakan intensif tiga hari saja dalam setahun. Desainnya pun harus dibuat khusus yang harus cocok untuk keperluan haji.
Misalnya, bagaimana rel kereta itu saat harus melewati tempat lempar jumrah (setiap jamaah haji harus melempar batu ke satu tembok yang menyimbolkan setan). Karena tempat melempar jumrah itu kini berupa bangunan empat lantai, sebelum memasuki lokasi tersebut, relnya memecah jadi empat. Ada kereta yang berhenti di lantai 4, ada juga yang berhenti di lantai bawahnya. Lalu, setelah melewati lokasi jumrah, relnya menyatu kembali. Demikian juga ketika kereta sampai Padang Arafah yang luas itu. Di sini, relnya memecah jadi empat, juga dengan jurusan yang berbeda-beda, menyebar ke empat penjuru Padang Arafah.

Di stasiun Mudzdalifah itu pula saya untuk kali pertama tahu diberi nama apakah kereta tersebut. Monorelkah seperti yang selama ini disebut-sebut” Ternyata tidak disebut monorel karena saya lihat relnya memang ganda. Di display layar komputer di stasiun itu, jelaslah namanya: Makkah Metro. Ditulis dalam bahasa Arab bergantian dengan bahasa Inggris. Pengumuman yang dikumandangkan di dalamnya juga dalam dua bahasa itu, tapi sedikit unik: meski rel kereta ini di ketinggian 8 meter dari tanah, istilah yang digunakan adalah istilah kereta bawah tanah London yang disebut tube itu. Misalnya, kalau di kereta bawah tanah di Singapura atau Tiongkok menggunakan kalimat “mind your step”, di sini menggunakan term tube London “mind your gap”.

Tentu jamaah haji dari Indonesia jangan punya mimpi naik kereta itu pada musim haji mendatang. Kereta itu khusus untuk jamaah haji Arab Saudi dan yang datang dari negara-negara Arab di jazirah Arab anggota GCC, seperti ASEAN kita. Orang Arab dari Mesir, Libya, Maroko (Maghribi), dan lain-lain tidak boleh. Ini ada juga masuk akalnya. Mengapa?
Di satu pihak, tentu Arab Saudi ingin mengistimewakan tetangga-tetangga terdekatnya seperti Yaman, Oman, Emirat, Bahrain, Qatar, dan Kuwait. Di lain pihak, jamaah haji dari tetangga itulah yang banyak datang secara perorangan dengan jalan darat menggunakan mobil kecil. Sedangkan yang dari jauh biasanya berombongan yang terorganisasi, termasuk sudah disiapkan bus-bus besarnya. Tentu akan sulit mengatur karcis perorangan untuk rombongan seperti itu. Hehee” tidak jadi iri kan?

Bahkan, kereta itu tidak berkarcis sehingga tidak ada loket penjualan karcisnya. Kalaupun Anda ngotot ingin naik, waktu Anda akan habis untuk mencari tempat di mana karcis dijual. Sedangkan jamaah dari GCC, untuk naik kereta itu, cukup hanya dengan menunjukkan KTP mereka.

Tentu, jamaah non-GCC seperti dari Indonesia tidak boleh kehabisan rasa bersyukur. Dengan adanya kereta itu, kepadatan jalan jalur ke Padang Arafah toh sangat berkurang. Berarti, perjalanan suci Anda juga bertambah lancar.
Maka, anggap saja kereta itu boneka dari China: boleh dipandang tak boleh dipegang. (c5/lk/jpnn)

Catatan Dahlan Iskan yang Kembali Berlebaran di Makkah (4-Habis)

Seri terakhir dari  empat catatan Dahlan Iskan. Sekeluar Masjid Al Haram, CEO PLN ini langsung menuju proyek dibangunnya kereta cepat khusus haji rute Makkah-Arafah.

Salah satu yang ingin saya lihat di Makkah “di luar ritual umrah” adalah proyek kereta listriknya. Terutama tahap 1 jurusan Makkah-Arafah yang sedang dibangun dengan rugi yang sangat besar oleh Tiongkok itu.

Karena itu, setelah salat Asar, menunggu terik matahari musim panas mereda, saya ke Mina, Mudzdalifah, dan Padang Arafah.  Di luar musim haji seperti sekarang ini, tempat-tempat itu tidak berpenghuni sama sekali. Hanya hamparan padang yang bergunung-gunung batu yang cadas.

Tapi, ketika musim haji, jutaan jamaah bergerak serentak melakukan perjalanan suci ke lokasi-lokasi itu. Padat, merambat, dan bahkan macet total. Sering kemacetan itu begitu parahnya membuat sebagian jamaah tiba di luar jam yang disyaratkan. Dulu, ketika naik haji, saya memilih jalan kaki pulang pergi untuk rute yang sekali jalan sekitar 25 km itu (bukan 40 km seperti dalam seri pertama tulisan ini).

Problem itulah yang akan dipecahkan pemerintah Arab Saudi dengan pembangunan jaringan kereta cepatnya. Kalau kereta tersebut berfungsi penuh pada musim haji dua bulan lagi, kendaraan yang menuju Arafah bisa berkurang setidaknya 53.000 mobil. Tinggal bus-bus besar yang minimal berisi 25 orang yang diizinkan menuju Padang Arafah. Uji coba sudah dilakukan pada musim haji tahun lalu, namun baru 30 persen dari kapasitas sesungguhnya.

Sekarang pun, saat saya menyusuri rute kereta itu, belum benar-benar selesai. Saya mampir ke stasiun Mudzdalifah yang masih belum tertata. Saya lihat hanya dua pekerja yang memasang tegel di tangga. Halamannya juga masih belum dikerjakan. Saya tentu ngobrol dengan pekerja asal Tiongkok yang tidak punya agama itu mengenai suka-duka bekerja di sebuah negara yang sangat ketat dalam menerapkan ajaran agama. Mereka heran melihat saya bisa berbahasa Mandarin.

Uji coba kereta terus dilakukan tanpa menunggu semua fasilitas selesai. Kereta warna dominan hijau muda dan kuning muda tersebut terus datang dan pergi. Itulah stasiun pertengahan antara Mina dan Arafah. Setiap rangkaian berisi 12 gerbong. Setiap gerbong bisa memuat 250 orang (70 persen berdiri) sehingga satu rangkaian bisa mengangkut 3.000 orang.

Menggunakan listrik 1.500 vdc, 3.000 ampere, dan dengan lebar rel 1,435 meter, kereta itu berkecepatan 120 km/jam sehingga direncanakan setiap jam bisa mengangkut 73.000 orang.

Inilah investasi kereta sepanjang 18 km dengan biaya Rp15 triliun yang hanya akan digunakan intensif tiga hari saja dalam setahun. Desainnya pun harus dibuat khusus yang harus cocok untuk keperluan haji.
Misalnya, bagaimana rel kereta itu saat harus melewati tempat lempar jumrah (setiap jamaah haji harus melempar batu ke satu tembok yang menyimbolkan setan). Karena tempat melempar jumrah itu kini berupa bangunan empat lantai, sebelum memasuki lokasi tersebut, relnya memecah jadi empat. Ada kereta yang berhenti di lantai 4, ada juga yang berhenti di lantai bawahnya. Lalu, setelah melewati lokasi jumrah, relnya menyatu kembali. Demikian juga ketika kereta sampai Padang Arafah yang luas itu. Di sini, relnya memecah jadi empat, juga dengan jurusan yang berbeda-beda, menyebar ke empat penjuru Padang Arafah.

Di stasiun Mudzdalifah itu pula saya untuk kali pertama tahu diberi nama apakah kereta tersebut. Monorelkah seperti yang selama ini disebut-sebut” Ternyata tidak disebut monorel karena saya lihat relnya memang ganda. Di display layar komputer di stasiun itu, jelaslah namanya: Makkah Metro. Ditulis dalam bahasa Arab bergantian dengan bahasa Inggris. Pengumuman yang dikumandangkan di dalamnya juga dalam dua bahasa itu, tapi sedikit unik: meski rel kereta ini di ketinggian 8 meter dari tanah, istilah yang digunakan adalah istilah kereta bawah tanah London yang disebut tube itu. Misalnya, kalau di kereta bawah tanah di Singapura atau Tiongkok menggunakan kalimat “mind your step”, di sini menggunakan term tube London “mind your gap”.

Tentu jamaah haji dari Indonesia jangan punya mimpi naik kereta itu pada musim haji mendatang. Kereta itu khusus untuk jamaah haji Arab Saudi dan yang datang dari negara-negara Arab di jazirah Arab anggota GCC, seperti ASEAN kita. Orang Arab dari Mesir, Libya, Maroko (Maghribi), dan lain-lain tidak boleh. Ini ada juga masuk akalnya. Mengapa?
Di satu pihak, tentu Arab Saudi ingin mengistimewakan tetangga-tetangga terdekatnya seperti Yaman, Oman, Emirat, Bahrain, Qatar, dan Kuwait. Di lain pihak, jamaah haji dari tetangga itulah yang banyak datang secara perorangan dengan jalan darat menggunakan mobil kecil. Sedangkan yang dari jauh biasanya berombongan yang terorganisasi, termasuk sudah disiapkan bus-bus besarnya. Tentu akan sulit mengatur karcis perorangan untuk rombongan seperti itu. Hehee” tidak jadi iri kan?

Bahkan, kereta itu tidak berkarcis sehingga tidak ada loket penjualan karcisnya. Kalaupun Anda ngotot ingin naik, waktu Anda akan habis untuk mencari tempat di mana karcis dijual. Sedangkan jamaah dari GCC, untuk naik kereta itu, cukup hanya dengan menunjukkan KTP mereka.

Tentu, jamaah non-GCC seperti dari Indonesia tidak boleh kehabisan rasa bersyukur. Dengan adanya kereta itu, kepadatan jalan jalur ke Padang Arafah toh sangat berkurang. Berarti, perjalanan suci Anda juga bertambah lancar.
Maka, anggap saja kereta itu boneka dari China: boleh dipandang tak boleh dipegang. (c5/lk/jpnn)

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/