Gatot Diminta Tegas Atur Pergeseran Antarkabupaten/Kota
JAKARTA- Beban Plt Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho cukup berat. Di saat belum usai menghadapi persoalan mutasi-mutasi jabatan di lingkungan Pemprov Sumut yang mendapat sorotan banyak kalangan, dia punya beban baru yakni melakukan mutasi-mutasi PNS antarkabupaten/kota yang ada di Provinsi Sumut.
Tugas Gatot ini diberikan oleh pusat dalam rangka pemerataan distribusi PNS guna penataan kepegawaian, yang harus diselesaikan di masa jeda waktu alias moratorium penerimaan CPNS. Pegawai di kabupaten/kota yang kelebihan PNS harus digeser ke kabupaten/kota yang kekurangan.
“Kabupaten/kota harus sudah merumuskan kebutuhan PNS-nya akhir tahun ini dan mutasi antarkabupaten/kota dalam provinsi harus selesai akhir 2012. Itu tugas gubernur,” terang Mendagri Gamawan Fauzi di kantornya, Selasa (13/9).
Bagaimana jika para PNS yang akan dimutasi tidak mau? Bagaimana jika gubernur tidak berani melakukan mutasi besar-besaran antarkabupaten/kota itu? Gamawan menjelaskan, gubernur harus berani karena dia punya kewenangan mengatur kabupaten/kota, sebagaimana diatur di PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintah, pemprov, pemkab/kota.
”Perpindahan pegawai antarkabupaten/kota itu kewenangan gubernur. Tinggal tegaskan saja, saatnya kini dilakukan,” tegas Gamawan.
Dijelaskan Gamawan, untuk bisa melakukan mutasi dimaksud, sebelumnya harus ada data kebutuhan pegawai di kabupaten/kota. Untuk menentukan berapa kebutuhan pegawai yang ideal, Gamawan mengatakan, bisa mengacu kepada jumlah instansi yang ada, yang mengacu pada PP Nomor 41 Tahun 2007 tentang organisasi perangkat daerah.
Nantinya, kata Gamawan, untuk kebutuhan pegawai akan dibicarakan dengan masing-masing instansi terkait. Untuk tenaga kesehatan misalnya, akan dibahas dengan kementrian kesehatan. Untuk tenaga sipir misalnya, dibahas dengan kementrian hukum dan HAM.
Dalam rangka penataan kepegawaian, yang intinya untuk efektivitas dan penghematan, pemerintah pusat juga mengkaji keberadaan komisi-komisi yang juga punya kantor di daerah, yang selama ini juga membebani keuangan APBD. Contohnya Komisi Penyiaran Daerah, yang sebenarnya berinduk pada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang berada di pusat.
“Komisi yang tidak menjadi kewenangan daerah, seyogyanya tidak membebani daerah,” ujar Gamawan. Jika uang APBD untuk komisi semacam itu dianggap hibah, juga dilarang karena hibah tidak boleh diberikan terus-menerus.(sam)