MEDAN- Perkembangan ekonomi Cina di dunia Internasional kian mencengangkan. Penguatan ekonomi ini diikuti pula dengan kokohnya posisi yuan Cina atau disebut renminbi (rmb) di perdagangan internasional.
Pelaku ekonomi di sebagian negara di belahan dunia kini mulai menyimpan uangnya dalam bentuk rmb. Berbagai kebijakan dilakukan pemerintah Cina untuk memposisikan rmb masuk dalam jajaran mata uang utama dalam perdagangan internasional.
Saat ini, pengaruh rmb di perdagangan dunia hampir setara dengan dolar AS, euro Uni Eropa, Yen Jepang dan Poundsterling Inggris. Analisis Senior Hongkong and Shanghai Banking Corporation Limited (HSBC Bank), Nirmala Salli, memprediksi rmb akan berada di posisi tiga besar untuk pemakaian mata uang dunia. Hal ini sekaitan dengan berbagai kebijakan yang dilakukan Cina memanfaatkan devisa yang melimpah menjadi pinjaman bagi negara lainn
Salah satunya adalah Yunani yang menggunakan mata uang euro. “Bahkan Yunani yang merupakan salah satu negara Eropa meminjam dari Cina,” ujar Nirmala yang juga Vice President, Sales Trade and Supply Chain HSBC Bank Indonesia ini.
Analis HSBC memperkirakan rmb akan menjadi mata uang dalam perdagangan internasional pada 2013-2015. Peran mata uang negeri tirai bambu ini akan meningkat mata uang global pada 2020, setara dengan dolar AS dan euro Uni Eropa.
Menangkap trend penggunaan mata uang di perdagangan internasional, HSBC Indonesia sebagai bank asal negeri tirai bambu, mulai intensif memperdagangkan mata uang ini. Bank yang memiliki cabang di seluruh dunia ini, mulai mensosialisasikan rmb ke seluruh nasabahnya, terutama di Sumut sebagai sentra penghasil kelapa sawit dan produk turunannya di Indonesia.
“Sejak 2006, renminbi ini sudah masuk, tetapi untuk sosialisasinya baru mulai sekarang,” ujar Nirmala Salli.
Untuk Indonesia sendiri saat ini, penggunaan mata uang Yuan dalam perdagangan internasional berada di urutan lima setelah dolar AS, rupiah, euro dan dolar Singapura.
—
Menurut Kepala Seksi Ekspor Hasil Pertanian Pertambangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumatera Utara, Fitra Kurnia, perdagangan Sumut-Cina mencatatkan surplus untuk provinsi ini. “Perdagangan Sumut-Cina mengalami surplus, sedangkan Indonesia-Cina mengalami defisit,” ujar Fitra Kurnia.
Surplus ini disumbang ekspor minyak sawit atau crude palm oil (CPO) Sumut ke negeri panda itu. Sumut merupakan pengekspor kedua CPO ke Cina. Nilai ekspor minyak nabati ini menyumbangkan 19,72 persen dari total ekspor Sumut pada Januari-Juli 2011. “Bahkan untuk negara tujuan (ekspor), Cina sudah berada di posisi ke 3,” ucapnya.
Selain CPO dan turunannya, Sumut juga mengekspor karet alam, kayu lapis dan produk kimia ke Cina. Ada juga rempah-rempah seperti pala dan kapulaga. “Bisa dibilang, ekspor kita ke Cina merupakan barang baku, yang akan memberikan keuntungan sangat besar bagi mereka (Cina) setelah diolah dan dijual kembali menjadi barang jadi,” ucap Fitra.
Bahan baku asal Sumut ini diolah dan diekspor dalam bentuk barang jadi dengan harga berpuluh kali lipat. “Dan salah satu yang membeli produk Cina tersebut adalah Indonesia. Karena itu perdagangan kita (Indonesia) defisit dari Cina,” tambah Fitra. (mag-9)