32 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Bertengkar dengan Mertua, Dua Tahun Tinggalkan Anak dan Istri

Yosepa Hayat, Sosok yang Diduga Bomber di Solo

Jika memang benar pelaku bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) di Solo itu adalah Yosepa Hayat, dia merupakan menantu Kirmanto, warga Perumahan GKBI, Desa Plumbon, Kecamatan Plumbon, Cirebon. Sebelum meninggalkan istri dan anaknya, Hayat pernah bertengkar dengan mertua gara-gara berbeda keyakinan.

Laporan: M. JUNAEDI, Cirebon

Hayat menikah dengan Dewi, 23, pada 2005. Dewi adalah putri pertama pasangan Kirmanto, 50, dan Sri Astuti, 45. Sejak dua tahun lalu Hayat tak pernah mendatangi istri dan seorang anaknya yang tinggal di rumah Kirmanton
di Perumahan GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia), Desa Plumbon, Kecamatan Plumbon, Kabupaten Cirebon.
“Saya dengar, dia (Hayat) pergi karena sebelumnya bertengkar dengan mertuanya, bahkan sampai adu fisik,” cerita seorang tetangga dekat Kirmanto kepada Radar Cirebon (Grup Sumut Pos). Dia melanjutkan, Hayat memang sering bertengkar dengan mertuanya. Tapi, pertengkaran paling tajam terjadi menjelang pemilihan presiden pada 2009.

Hayat berkeyakinan, jika seseorang menggunakan hak pilih dalam pemilu itu, dia digolongkan orang kafir. Pendapat itu ditentang keras Kirmanto yang sehari-hari menjadi staf di Kementerian Agama Pusat. Hayat lantas bertengkar dengan ayah mertuanya itu. Puncaknya, Hayat pergi meninggalkan istri dan anaknya. Sejak saat itu dia tidak pulang. Apalagi, namanya kemudian dimasukkan ke dalam DPO (daftar pencarian orang).

Radar Cirebon sebenarnya ingin mengonfirmasi cerita itu kepada Kirmanto. Tapi, ketika tiba di rumahnya kemarin (26/9), dia tidak ada. Rumah itu bahkan dalam keadaan kosong. Kata beberapa tetangga, Kirmanto dan keluarga pergi meninggalkan rumah sejak Minggu (25/9).

Ketua RT 19 RW 7 Perumahan GKBI Elly Ermawati, 43, menuturkan, ibu mertua Hayat yang bernama Sri Astuti pernah beberapa kali mengungkapkan soal menantunya tersebut. “Saya hanya melihat Hayat ketika dia menikah sekitar 2005-2006. Setelah itu tidak pernah lagi. Jadi, saya tidak mengetahui kesehariannya,” katanya.

Elly hanya menuturkan, baik Hayat maupun istrinya tidak pernah keluar rumah untuk berinteraksi dengan tetangga. “Untuk berbelanja pun, bukan Dewi yang keluar, melainkan ibunya,” ujarnya.

Kepala Urusan Pemerintahan Desa Plumbon Yusuf menambahkan, sejak bom Cirebon meledak April lalu di kompleks Masjid Polres Cirebon, Hayat tak pernah terlihat di rumah mertuanya. Bahkan, jauh-jauh hari dia jarang pulang ke Plumbon.
Menurut Yusuf, sehari-hari keluarga Kirmanto berperilaku normal. Namun, Hayat dan istrinya memang jarang keluar rumah. Terlebih lagi, pekerjaan Hayat tidak jelas. “Di kartu keluarga, dia tercatat bekerja sebagai wisraswasta,” kata Yusuf.

Radar Cirebon kemarin juga mendatangi Marsiah, 60, nenek Hayat yang tinggal di Dusun Kidul RT 01/RW 02 Desa Astanalanggar, Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon. “Yang saya tahu, dia anaknya pendiam dan tidak nakal. Pernah saya mendengar cerita dari bapaknya bahwa preman pun selalu dibaiki olehnya dengan selalu memberikan semangkuk bakso ketika preman itu ingin usil terhadap usaha bapaknya itu,” kata Marsiah. Di mata Marsiah, sulit bagi dia untuk percaya bahwa Hayat adalah pelaku bom bunuh diri.

Dia mengatakan tidak bertemu Hayat sejak belasan tahun lalu. “Orang tuanya pergi merantau sejak Hayat masih kecil,” tuturnya.

“Saya tidak tahu Hayat ada di mana sekarang. Sejak dia SD, saya sudah berpisah karena Hayat bersama orangtuanya pergi transmigrasi ke Kalimantan,” lanjutnya.

Sejak saat itu Hayat tidak pernah kembali ke Astanalanggar, desa yang menjadi tanah kelahirannya. Padahal, Daud, ayah Hayat, yang bekerja sebagai penjual bakso di Jalan Pandesan, Kota Cirebon, sudah kembali dari perantauan.
Dia mengakui, setelah insiden bom di kompleks Masjid Polres Cirebon April lalu, nama Hayat sering menjadi pembicaraan warga karena dianggap terlibat. Hal itu membuat Marsiah cemas. Bahkan, rumahnya pernah digeledah polisi. “Tiap malam saya selalu berdoa agar dia (Hayat) selamat. Jika polisi datang, silakan saja geledah,” terangnya.
Dia mengatakan, yang dikatakan orang selama ini tentang Hayat yang diduga terlibat dalam rentetan kasus peledakan bom merupakan fitnah besar. Sebab, belum ada kebenaran yang jelas mengenai keterlibatan itu. “Cucu saya difitnah,” ujarnya sambil menitikkan air mata.

Ahmad Yosepa terakhir pulang mengunjungi neneknya sebelum bulan Ramadan kemarin. Yuli (46) tetangga Masriah, mengenal Yosepa. Menurut dia, terakhir kali pria yang dipanggil Hayat itu pulang sebelum bulan Ramadan lalu.
“Sebelum puasa saja, ke rumah Masriah neneknya,” ujar Yuli, Senin (26/9).

Yuli menambahkan, Hayat atau yang dikenal dengan nama Ahmad itu, sebelum itu beberapa kali ke rumah Masriah. Namun, dia datang malam hari. “Tapi tidak lama terus pergi lagi,” tambah Yuli.

Sementara itu, Ika teman sekolah Ahmad Yosepa, mengaku tidak menyangka jika Hayat adalah pelaku pemboman GBIS Kepunton Solo. “Ya tidak menyangka, orangnya kan sopan, dan tidak macam-macam,” kata Ika, yang mendengar kabar soal teman kecilnya ini dari televisi.

Ahmad Yosepa, menghabiskan masa kecilnya di Desa Astanalanggar, Kec Losari, Kab Cirebon. Setelah lulus dari SD Astanalanggar I, keluarganya pindah ke Pandesan, Kota Cirebon.

“Sejak itu, hanya sesekali saja datang ke desa ini. Warga sini sama sekali tidak menduga jika Hayat yang mengebom di Solo,” tambah Yuli. (jpnn/c2/kum)

Yosepa Hayat, Sosok yang Diduga Bomber di Solo

Jika memang benar pelaku bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) di Solo itu adalah Yosepa Hayat, dia merupakan menantu Kirmanto, warga Perumahan GKBI, Desa Plumbon, Kecamatan Plumbon, Cirebon. Sebelum meninggalkan istri dan anaknya, Hayat pernah bertengkar dengan mertua gara-gara berbeda keyakinan.

Laporan: M. JUNAEDI, Cirebon

Hayat menikah dengan Dewi, 23, pada 2005. Dewi adalah putri pertama pasangan Kirmanto, 50, dan Sri Astuti, 45. Sejak dua tahun lalu Hayat tak pernah mendatangi istri dan seorang anaknya yang tinggal di rumah Kirmanton
di Perumahan GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia), Desa Plumbon, Kecamatan Plumbon, Kabupaten Cirebon.
“Saya dengar, dia (Hayat) pergi karena sebelumnya bertengkar dengan mertuanya, bahkan sampai adu fisik,” cerita seorang tetangga dekat Kirmanto kepada Radar Cirebon (Grup Sumut Pos). Dia melanjutkan, Hayat memang sering bertengkar dengan mertuanya. Tapi, pertengkaran paling tajam terjadi menjelang pemilihan presiden pada 2009.

Hayat berkeyakinan, jika seseorang menggunakan hak pilih dalam pemilu itu, dia digolongkan orang kafir. Pendapat itu ditentang keras Kirmanto yang sehari-hari menjadi staf di Kementerian Agama Pusat. Hayat lantas bertengkar dengan ayah mertuanya itu. Puncaknya, Hayat pergi meninggalkan istri dan anaknya. Sejak saat itu dia tidak pulang. Apalagi, namanya kemudian dimasukkan ke dalam DPO (daftar pencarian orang).

Radar Cirebon sebenarnya ingin mengonfirmasi cerita itu kepada Kirmanto. Tapi, ketika tiba di rumahnya kemarin (26/9), dia tidak ada. Rumah itu bahkan dalam keadaan kosong. Kata beberapa tetangga, Kirmanto dan keluarga pergi meninggalkan rumah sejak Minggu (25/9).

Ketua RT 19 RW 7 Perumahan GKBI Elly Ermawati, 43, menuturkan, ibu mertua Hayat yang bernama Sri Astuti pernah beberapa kali mengungkapkan soal menantunya tersebut. “Saya hanya melihat Hayat ketika dia menikah sekitar 2005-2006. Setelah itu tidak pernah lagi. Jadi, saya tidak mengetahui kesehariannya,” katanya.

Elly hanya menuturkan, baik Hayat maupun istrinya tidak pernah keluar rumah untuk berinteraksi dengan tetangga. “Untuk berbelanja pun, bukan Dewi yang keluar, melainkan ibunya,” ujarnya.

Kepala Urusan Pemerintahan Desa Plumbon Yusuf menambahkan, sejak bom Cirebon meledak April lalu di kompleks Masjid Polres Cirebon, Hayat tak pernah terlihat di rumah mertuanya. Bahkan, jauh-jauh hari dia jarang pulang ke Plumbon.
Menurut Yusuf, sehari-hari keluarga Kirmanto berperilaku normal. Namun, Hayat dan istrinya memang jarang keluar rumah. Terlebih lagi, pekerjaan Hayat tidak jelas. “Di kartu keluarga, dia tercatat bekerja sebagai wisraswasta,” kata Yusuf.

Radar Cirebon kemarin juga mendatangi Marsiah, 60, nenek Hayat yang tinggal di Dusun Kidul RT 01/RW 02 Desa Astanalanggar, Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon. “Yang saya tahu, dia anaknya pendiam dan tidak nakal. Pernah saya mendengar cerita dari bapaknya bahwa preman pun selalu dibaiki olehnya dengan selalu memberikan semangkuk bakso ketika preman itu ingin usil terhadap usaha bapaknya itu,” kata Marsiah. Di mata Marsiah, sulit bagi dia untuk percaya bahwa Hayat adalah pelaku bom bunuh diri.

Dia mengatakan tidak bertemu Hayat sejak belasan tahun lalu. “Orang tuanya pergi merantau sejak Hayat masih kecil,” tuturnya.

“Saya tidak tahu Hayat ada di mana sekarang. Sejak dia SD, saya sudah berpisah karena Hayat bersama orangtuanya pergi transmigrasi ke Kalimantan,” lanjutnya.

Sejak saat itu Hayat tidak pernah kembali ke Astanalanggar, desa yang menjadi tanah kelahirannya. Padahal, Daud, ayah Hayat, yang bekerja sebagai penjual bakso di Jalan Pandesan, Kota Cirebon, sudah kembali dari perantauan.
Dia mengakui, setelah insiden bom di kompleks Masjid Polres Cirebon April lalu, nama Hayat sering menjadi pembicaraan warga karena dianggap terlibat. Hal itu membuat Marsiah cemas. Bahkan, rumahnya pernah digeledah polisi. “Tiap malam saya selalu berdoa agar dia (Hayat) selamat. Jika polisi datang, silakan saja geledah,” terangnya.
Dia mengatakan, yang dikatakan orang selama ini tentang Hayat yang diduga terlibat dalam rentetan kasus peledakan bom merupakan fitnah besar. Sebab, belum ada kebenaran yang jelas mengenai keterlibatan itu. “Cucu saya difitnah,” ujarnya sambil menitikkan air mata.

Ahmad Yosepa terakhir pulang mengunjungi neneknya sebelum bulan Ramadan kemarin. Yuli (46) tetangga Masriah, mengenal Yosepa. Menurut dia, terakhir kali pria yang dipanggil Hayat itu pulang sebelum bulan Ramadan lalu.
“Sebelum puasa saja, ke rumah Masriah neneknya,” ujar Yuli, Senin (26/9).

Yuli menambahkan, Hayat atau yang dikenal dengan nama Ahmad itu, sebelum itu beberapa kali ke rumah Masriah. Namun, dia datang malam hari. “Tapi tidak lama terus pergi lagi,” tambah Yuli.

Sementara itu, Ika teman sekolah Ahmad Yosepa, mengaku tidak menyangka jika Hayat adalah pelaku pemboman GBIS Kepunton Solo. “Ya tidak menyangka, orangnya kan sopan, dan tidak macam-macam,” kata Ika, yang mendengar kabar soal teman kecilnya ini dari televisi.

Ahmad Yosepa, menghabiskan masa kecilnya di Desa Astanalanggar, Kec Losari, Kab Cirebon. Setelah lulus dari SD Astanalanggar I, keluarganya pindah ke Pandesan, Kota Cirebon.

“Sejak itu, hanya sesekali saja datang ke desa ini. Warga sini sama sekali tidak menduga jika Hayat yang mengebom di Solo,” tambah Yuli. (jpnn/c2/kum)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/