Saran untuk Pejabat Korban Mutasi Massal di Pemprov
JAKARTA-Hingga kemarin (6/10) belum ada kebijakan yang tegas dari Mendagri Gamawan Fauzi terkait kebijakan Plt Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho melakukan mutasi besar-besaran di jajaran Pemprov Sumut. Malahan, Sekjen Kemendagri Diah Anggraeni sebagai pejabat yang mengurusi masalah Sumut ini, hingga kemarin belum ngantor karena cuti.
Terkait dengan sikap Gamawan Fauzi dan Gatot tersebut, pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Sigit Pamungkas, menyarankan agar para pejabat yang dimutasi melakukan perlawanan secara terbuka terjadap kebijakan Gatot itu. Bila perlu, aksi terbuka juga dilakukan seluruh PNS di jajaran Pemprov Sumut.
Berdasarkan pengalaman kasus di Kabupaten Temanggung pada 2005, para PNS yang menggelar aksi mogok kerja, berhasil melakukan perlawanan terhadap Bupati Temanggung saat itu, Totok Ary Prabowo yang dinilai sewenang-wenang dan berbuntut langkah dewan yang menggunakan hak angket dan interpelasi.
“Kasus Temanggung adalah sebuah preseden, jika birokrasi kompak maka bisa mengalahkan kekuatan politik yang sewenang-wenang. Jika birokrasi lemah, maka gampang dipecah-pecah oleh politisasi birokrasi,” kata Sigit Pamungkas, yang juga dosen pascasarjana Ilmu Politik UGM itu, kepada Sumut Pos, kemarin.
Dia menilai, mutasi ‘ngawur’ yang dilakukan Gatot, jika dibiarkan terus, maka akan merusak kinerja birokrasi. Jika unsur politisasi dan pengkubuan terus dipelihara, maka para birokrat mau tak mau akan ikut-ikutan masuk ke pusaran politik. “Dampaknya, birokrat yang merasa tak punya cantelan politik, kerjanya malas-malasan karena merasa percuma saja kerja serius karena toh bakal terpental,” ucapnya.
Sigit menjelaskan, jika para PNS di Pemprov Sumut melakukan aksi unjuk rasa dan mogok kerja seperti di Temanggung, masyarakat harus memahami bahwa itu bukan berarti mogok memberikan pelayanan. “Tapi semata memberikan perlawanan kepada kesewenang-wenangan politisasi,” cetusnya.
Menurut Sigit, posisi mendagri memang tak mudah menghadapi masalah ini. Alasannya, tidak ada regulasi yang tegas yang mengatur mendagri bisa menganulir mutasi. Karenanya, agar kasus mutasi ngawur tidak terulang di kemudian hari, Sigit menyarankan agar revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 memasukkan aturan yang tegas, dengan memberikan kewenangan kepada pejabat di atasnya untuk bisa mensupervisi kebijakan-kebijakan yang diambil pejabat di bawahnya.
“Jangan diserahkan kewenangan itu sepenuhnya ke kepala daerah,” kata Sigit. Alternatif lain, di UU Nomor 32 Tahun 2004 diatur mekanisme anyar mengenai sistem jenjang karir. Misalnya, penempatan jabatan harus melibatkan lembaga independen, misal perguruan tinggi, lewat mekanisme fit and proper test. “User-nya harus menerima hasilnya. Ini untuk mencegah politisasi birokrasi,” saran Sigit.
Sebelumnya, akhir bulan lalu, Gamawan menekankan, pihaknya berharap agar Gatot sendiri yang mengambil inisiatif melakukan evaluasi terhadap kebijakan mutasi yang telah diambilnya itu. Maksudnya, kemendagri tidak sampai harus melakukan tindakan paksaan. “Saya harapkan ada evaluasi sendiri dari Pak Gatot,” kata mantan gubernur Sumbar itu.
Jadi, tidak perlu sampai dipaksa seperti kasus mutasi yang dilakukan Pj Wali Kota Pekanbaru Syamsurizal? “Iya, Pak Gatot saya harapkan mengevaluasi. Kan saya sudah memberikan teguran,” ujar Gamawan. Dia mengatakan, langkah mutasi yang dilakukan Gatot salah.
Sementara, informasi yang didapat Sumut Pos, laporan Gatot terkait kebijakan mutasi itu sudah diterima Gamawan. Hanya saja, menurut sumber itu, laporan yang dibuat Gatot belum seperti yang diharapkan pihak kemendagri. (sam)