Tiga Bocah Papua Pencipta Sistem Robot Pendeteksi Bencana Tsunami
Tiga bocah asal Papua ini, Albertina Boanal, Yohana Helena Oprawiri, dan Demira Yikwa, masih duduk di bangku SD. Tapi, karya mereka tak bisa dianggap remeh. Sebuah sistem robot yang bisa mendeteksi dini bencana tsunami berhasil mereka ciptakan.
M HILMI SETIAWAN, Jakarta
Perhelatan Indonesian Information and Communication Technology Award (INAICTA) 2011 dipusatkan di Jakarta Convention Center (JCC) yang berlangsung pekan ini cukup meriah. Ratusan anak berbakat saling unjuk gigi memamerkan temuan-temuan mereka yang berkaitan dengan ICT (information and communication technology).
INAICTA 2011 kali ini menghadirkan beragam kategori lomba. Di antaranya, untuk kelompok profesional dilombakan kategori seperti e-Business Manufacturing Logistics and Supply Chain, Industrial Application, serta e-Learning dan e-Education.
Untuk tingkat pelajar dilombakan kategori temuan aplikasi dan robot, mulai tingkat SD hingga perguruan tinggi. Di antara sekian kategori perlombaan, yang terlihat cukup menyedot perhatian pengunjung adalah lomba Applicative Robot Exhibition dengan tema Robot for Helping People from Natural Disaster. Merujuk temanya, dalam ajang itu diperagakan temuan-temuan robotik pelajar untuk membantu manusia menghadapi bencana.
Khusus kelompok tersebut diikuti belasan peserta, mulai dari tingkat SD hingga perguruan tinggi. Aneka temuan dijejer rapi. Ada satu stan pameran yang mengundang animo pengunjung. Stan itu memampang robot deteksi dini (early warning) gelombang tsunami. Robot tersebut adalah karya tiga bocah asal Papua tadi: Albertina Boanal, Yohana Helena Oprawiri, dan Demira Yikwa.
Ketiganya saat ini tercatat sebagai murid yang mengikuti program beasiswa pendidikan di Surya Institute yang didirikan Prof Yohanes Surya. Mereka hijrah dari bumi Papua menuju Jakarta sekitar dua tahun lalu.
Saat ini Yohana duduk di bangku kelas VI SD, sedangkan Tina (panggilan Albertina) kelas IV dan Demira kelas V. “Biaya sekolah kami ditanggung hingga perguruan tinggi,” kata Yohana, siswi kelahiran Timika, Papua, 4 Februari 1998, itu. Dia menjelaskan, beasiswa itu adalah hasil dari prestasi mereka selama belajar di Papua.
Perjalanan tiga bocah tersebut hingga akhirnya berhasil menemukan robot pendeteksi dini tsunami dimulai sekitar dua bulan lalu. Tepatnya ketika mendengar ada kontes ICT tingkat nasional. Saat itu mereka sempat cemas karena tema yang ditentukan cukup sulit. Yaitu, membuat robot yang berfungsi membantu manusia untuk menghindari bencana alam.
Setelah berembuk dengan beberapa guru pengasuh dan membolak-balik kliping koran di sekolah mereka, akhirnya diputuskan untuk membuat alat deteksi dini bencana tsunami. Itu adalah bencana yang sangat menakutkan di negeri ini. Demira menyebutkan, contoh tsunami yang cukup parah di negeri ini terjadi di Aceh pada 2004 yang memakan korban lebih dari 166 ribu jiwa. Selain itu, disusul kasus bencana tsunami yang juga memakan korban tak sedikit.
Demira yang lahir di Kabupaten Tolikara, Papua, 8 Maret 2000, itu menuturkan, setelah menemukan fokus bencana yang akan mereka tangani, pekerjaan selanjutnya ialah menciptakan robot yang mampu mendeteksi dini ancaman gelombang atau bencana tsunami.
Sebagai anak yang tinggal di pedalaman Tolikara, Demira menuturkan, alam sebetulnya sudah menjadi alat early warning untuk beragam bencana. “Di tempat kami, hewan-hewan pasti ribut setiap akan ada bencana,” tandasnya. Mulai burung, monyet, kanguru, hingga binatang buas selalu terlihat gusar dan berlarian ketika akan ada bencana alam.
Kondisi alam semacam ini juga tampak ketika bakal terjadi bencana letusan gunung berapi. Aneka binatang turun gunung beberapa saat sebelum bencana datang. “Hewan itu seperti memiliki insting yang kuat dalam membaca gejala alam. Manusia kalah untuk urusan ini,” tandasnya.
Gejala alam yang tampak sebelum terjadi bencana itu ditangkap Tina, Yohana, dan Demira. Mereka bertiga lantas membuat robot pendeteksi dini dengan menerapkan gejala alam tersebut. Dalam hal itu, mereka menggunakan bantuan seekor burung. “Awalnya kami ingin menggunakan kera. Tapi, sulit cari kandangnya,” celetuk Tina yang lahir di Timika pada 28 Januari 1998 itu.
Sebagai percobaan, mereka menggunakan burung berkicau jenis kutilang (pycnonotus aurigaster) yang dimasukkan di dalam sangkar ukuran sedang. Nah, konsep sederhana dari robot karya tiga anak ini adalah bencana tsunami mengancam, burung panik, kemudian ribut. Burung yang panik itu lantas memencet sakelar berkali-kali. Sakelar itu sendiri dipasang di empat sisi sangkar. Setiap sakelar itu terpencet, akan mengeluarkan sinyal yang ditampung dalam sebuah motor.
Demira menjelaskan, motor tidak akan bergerak jika sakelar hanya tertekan kurang dari sepuluh. “Motor baru bisa berputar setelah sakeral terpencet belasan kali,” tandasnya.
Nah, poros motor yang berputar itu kemudian dipasangi keping VCD. Kemudian, keping VCD dihubungkan dengan seutas tali ke sebuah lonceng kecil. Setiap motor berputar, tuas lonceng tertarik, dan mengeluarkan bunyi teng, teng, teng, teng?.
Demira menjelaskan, sejatinya motor bisa disetel berputar meskipun sakelar hanya tersentuh sekali. Tapi, jika disetel model seperti itu, akurasi kepanikan burung kurang tepat. “Jika sedikit, kepanikan burung bisa saja bukan karena tsunami,” tandasnya. Namun, ketika intensitas terpencetnya sakelar di-setting belasan kali, bisa diduga kuat burung panik karena ada bencana tsunami. “Supaya lebih efektif, robot ini harus dipasang di pantai,” tandasnya.
Yohana, anggota tim lainnya, menuturkan bahwa untuk menggerakkan sistem robot itu dibutuhkan baterai DC 9 colt. Anak keempat di antara delapan bersaudara itu menjelaskan, pengguna alat tersebut tidak perlu mengkhawatirkan baterai habis pada masa tertentu. Sebab, baterai yang digunakan sejenis baterai HP yang bisa diisi ulang lagi.
Untuk mengisi ulang baterai tersebut, tiga anak itu juga menggunakan tenaga dari alam. Tepatnya, mereka menggunakan tenaga panas matahari untuk mengisi daya baterai. “Kebetulan, jika dipasang di pantai, supply cahanya melimpah,” tandasnya.
Menurut Yohana, ongkos untuk membuat alat itu tidak terlalu besar. Hanya sekitar Rp 1 juta. Itu sudah termasuk untuk membeli burung. Dia mengatakan tidak perlu menggunakan burung berkicau yang mahal. Dengan biaya yang terjangkau itu, dia berharap bisa diaplikasikan pemerintah dan dipasang di sepanjang garis pantai Indonesia. Tujuannya, jika akan terjadi tsunami, masyarakat bisa cepat tahu dan segera menyelamatkan diri.
Selama ini hasil alat peringatan dini buatan pemerintah sering ditayangkan di TV saja. Padahal, kata dia, di pantai-pantai pedalaman Papua banyak masyarakat yang belum memiliki TV. Kalaupun punya, saluran dari Jakarta tidak bisa masuk ke kampung pinggiran pantai. “Target kami lainnya adalah juara dalam kontes robot aplikasi ini,” kata Yohana bersemangat. (c4/kum/jpnn)