28 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Cerdik dan Licik Itu Bedanya Tipis

Oleh: Ramadhan Batubara

Pagi tadi istri saya keningnya berkerut. Dadanya naik turun. Dan, saya yakin, jika begitu, dia sedang marah. Ketika saya ungkit permasalahannya, ternyata gara-gara anak tetangga yang suka mengotori beranda kami yang tak seberapa.

“Dia tu licik tau gak? Bayangin aja, dia yang ngajak anak lain maen di teras kita, eh, pas aku marahi, dia langsung kabur. Jadinya kan anak lain yang kena marahku,” begitu urai istri saya.
“Bukan licik, tapi cerdik,” balas saya pula.
“Hallo? Begitu itu cerdik, licik tau!”

Sampai di situ, tak saya tanggapi lagi perkataan istri. Pasalnya, kalau saya tambahi, dia akan semakin berang. Bahaya kan? Padahal saya ingin sekali mengatakan padanya kalau cerdik dan licik itu sejatinya memiliki arti yang mirip; tinggal disesuaikan dari sudut pandangnya saja. Memang, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ‘cerdik’ memiliki arti panjang akal atau juga pandai mencari pemecahan, sementara ‘licik’ berarti banyak akal yang buruk; pandai menipu; culas; curang dan sebagainya. Nah, arti kedua kata tadi bermuara pada banyak akal, dibedakan pada efek positif dan negatif semata. Hm, masalah positif dan negatif itukan masih bisa diperdebatkan. Misalnya begini, benarkah si Kancil (dalam dongeng ‘Si Kancil dan Buaya’) adalah sosok yang cerdik? Atau malah licik? Bagi sebagian orang akan mengatakan, si Buaya itu yang bodoh. Nah, bagaimana cara si Kancil membodohi Buaya, bisakah dianggap sebuah kecerdikan? Bisa, jika kita berpangku pada arti ‘cerdik’ bermakna panjang akal atau pandai mencari pemecahan. Cerita itu, pemecahan bagi si Kancil sendiri kan? Jika begitu apa bedanya dengan licik? Ya, bukankah apa yang dilakukan Kancil pada Buaya adalah sebuah perbuatan curang, yakni memperdaya Buaya yang sedang tidur dengan buaian daging segar?

Begitulah, perbedaan cerdik dan licik itu sangat tipis. Dan, kedua kata tersebut sudah cukup lama hidup di Nusantara ini. Perhatikan cerita fabel tadi, dongeng adalah sastra lisan yang tentunya lebih dulu dikenal dibanding sastra tulis yang ada di Nusantara ini kan? Selain soal Kancil, masih cukup banyak cerita yang bersumber pada kata cerdik dan licik tadi. Di Sumatera Bagian Utara tentunya kita sangat mengenal cerita Pak Belalang dan juga cerita Si Jonaha. Hm, ada yang bisa memastikan kalau Pak Belalang adalah tokoh yang licik atau Si Jonaha sebagai tokoh yang cerdik? Jawabnya kembali ke sudut pandang. Maksudnya begini, licikkah Pak Belalang yang bekerja sama dengan anaknya, Belalang, dengan menyembunyikan kambing di hutan? Pasalnya, itu dilakukan agar mereka dapat terbebas dari rasa lapar. Ya, setelah warga merasa kehilangan kambing, si Belalang keliling kampung sambil mengkampanyekan kalau bapaknya dukun andal; mampu menemukan barang yang hilang. Dan, bukan sesuatu yang sulit ketika Pak Belalang berakting bak dukun sambil menunjuk di mana tempat kambing yang hilang itu kepada warga yang datang ke gubuk mereka. Licik atau cerdik?

Lalu Jonaha (kebetulan Opera Batak mementaskan cerita ini di Taman Budaya Sumatera Utara pada Jumat dan Sabtu malam kemarin), cerdikkah ketika dia mengatakan kalau dirinya memiliki kecapi sakti yang bisa membersihkan ladang? Padahal, dia selalu membersihkan ladangnya di tengah malam. Dan ketika pagi, dia berpura-pura dengan kesaktian kecapinya tadi. Lalu, si Pemalas membeli kecapi itu dengan harga yang melimpah. Cerdik atau licik?
Begitulah, Pak Belalang dan si Jonaha tak lain adalah tokoh rekaan yang diciptakan sejatinya untuk membangkitkan motivasi orang yang ingin maju. Pak Belalang yang miskin, dengan menggunakan akalnya, mampu menjadi dukun yang kaya. Si Jonaha, dengan akalnya, mampu mengelabui si Pemalas dan berujung pada keuntungan harta. Intinya, ketika masalah menghampiri, jangan putus asa. Berusahalah karena kita semuanya punya akal.

Begitulah, soal cerdik dan licik ini sudah terserap dalam kehidupan manusia di Nusantara sekian waktu. Maka, bukan sesuatu yang aneh ketika hal serupa sering didapati di kehidupan nyata bukan? Contohnya, ketika seorang bawahan di sebuah kantor yang ingin mencari uang lebih, dia akan menggunakan akalnya untuk meraih kebutuhannya itu. Nah, ketika usaha dia terhambat oleh atasan, bukankah atasan itu juga memiliki atasan yang lain. Jadi, dia pun langsung potong kompas ke atasan yang paling tinggi. Jadi, ketika atasannya yang menghambat tadi berusaha menggagalkan kesempatannya, dia kan sudah aman karena sudah berkawan dengan bos tertinggi. Heheheh. Cerdik apa licik?

Masalah cerdik dan licik ini intinya kan pada akal. Jadi, ketika kita stag pada sesuatu, gunakanlah akalmu. Kalau nanti dikatakan licik, kan bisa kita balikan menjadi cerdik. Ya, itu semua hanya soal sudut pandang dan bagaimana kita menjabarkannya.

Hm, jadi ingat Gayus Tambunan dan tokoh lainnya yang merugikan negeri tercinta ini, cerdik atau licik? Ya, bukankah dia mampu menggunakan akalnya dengan melihat keadaan negara yang carut marut ini?
11 Maret 2011

“Yang cerdik itu keponakanmu. Ingat waktu kukasih uang, dia tidak langsung ke warung, dia simpan uang itu. Besoknya ketika uangnya bertambah, baru dia beli bonbon yang banyak,” tiba-tiba istri saya mengatakan itu. Tampaknya dia masih tak terima kalau anak tetangga yang katanya licik itu saya sebut sebagai anak yang cerdik.
Sumpah, saya tak menanggapi kalimatnya. Saya hanya teringat keponakan yang dimaksud istri saya. Ya, dia memang tak langsung ke warung, tapi dia diam-diam malah menghabiskan bonbon adiknya. Lalu, besoknya dia malah lari ketika adiknya meminta bonbon yang baru dibelinya itu. Hm, cerdik atau licik? Entahlah. (*)

Oleh: Ramadhan Batubara

Pagi tadi istri saya keningnya berkerut. Dadanya naik turun. Dan, saya yakin, jika begitu, dia sedang marah. Ketika saya ungkit permasalahannya, ternyata gara-gara anak tetangga yang suka mengotori beranda kami yang tak seberapa.

“Dia tu licik tau gak? Bayangin aja, dia yang ngajak anak lain maen di teras kita, eh, pas aku marahi, dia langsung kabur. Jadinya kan anak lain yang kena marahku,” begitu urai istri saya.
“Bukan licik, tapi cerdik,” balas saya pula.
“Hallo? Begitu itu cerdik, licik tau!”

Sampai di situ, tak saya tanggapi lagi perkataan istri. Pasalnya, kalau saya tambahi, dia akan semakin berang. Bahaya kan? Padahal saya ingin sekali mengatakan padanya kalau cerdik dan licik itu sejatinya memiliki arti yang mirip; tinggal disesuaikan dari sudut pandangnya saja. Memang, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ‘cerdik’ memiliki arti panjang akal atau juga pandai mencari pemecahan, sementara ‘licik’ berarti banyak akal yang buruk; pandai menipu; culas; curang dan sebagainya. Nah, arti kedua kata tadi bermuara pada banyak akal, dibedakan pada efek positif dan negatif semata. Hm, masalah positif dan negatif itukan masih bisa diperdebatkan. Misalnya begini, benarkah si Kancil (dalam dongeng ‘Si Kancil dan Buaya’) adalah sosok yang cerdik? Atau malah licik? Bagi sebagian orang akan mengatakan, si Buaya itu yang bodoh. Nah, bagaimana cara si Kancil membodohi Buaya, bisakah dianggap sebuah kecerdikan? Bisa, jika kita berpangku pada arti ‘cerdik’ bermakna panjang akal atau pandai mencari pemecahan. Cerita itu, pemecahan bagi si Kancil sendiri kan? Jika begitu apa bedanya dengan licik? Ya, bukankah apa yang dilakukan Kancil pada Buaya adalah sebuah perbuatan curang, yakni memperdaya Buaya yang sedang tidur dengan buaian daging segar?

Begitulah, perbedaan cerdik dan licik itu sangat tipis. Dan, kedua kata tersebut sudah cukup lama hidup di Nusantara ini. Perhatikan cerita fabel tadi, dongeng adalah sastra lisan yang tentunya lebih dulu dikenal dibanding sastra tulis yang ada di Nusantara ini kan? Selain soal Kancil, masih cukup banyak cerita yang bersumber pada kata cerdik dan licik tadi. Di Sumatera Bagian Utara tentunya kita sangat mengenal cerita Pak Belalang dan juga cerita Si Jonaha. Hm, ada yang bisa memastikan kalau Pak Belalang adalah tokoh yang licik atau Si Jonaha sebagai tokoh yang cerdik? Jawabnya kembali ke sudut pandang. Maksudnya begini, licikkah Pak Belalang yang bekerja sama dengan anaknya, Belalang, dengan menyembunyikan kambing di hutan? Pasalnya, itu dilakukan agar mereka dapat terbebas dari rasa lapar. Ya, setelah warga merasa kehilangan kambing, si Belalang keliling kampung sambil mengkampanyekan kalau bapaknya dukun andal; mampu menemukan barang yang hilang. Dan, bukan sesuatu yang sulit ketika Pak Belalang berakting bak dukun sambil menunjuk di mana tempat kambing yang hilang itu kepada warga yang datang ke gubuk mereka. Licik atau cerdik?

Lalu Jonaha (kebetulan Opera Batak mementaskan cerita ini di Taman Budaya Sumatera Utara pada Jumat dan Sabtu malam kemarin), cerdikkah ketika dia mengatakan kalau dirinya memiliki kecapi sakti yang bisa membersihkan ladang? Padahal, dia selalu membersihkan ladangnya di tengah malam. Dan ketika pagi, dia berpura-pura dengan kesaktian kecapinya tadi. Lalu, si Pemalas membeli kecapi itu dengan harga yang melimpah. Cerdik atau licik?
Begitulah, Pak Belalang dan si Jonaha tak lain adalah tokoh rekaan yang diciptakan sejatinya untuk membangkitkan motivasi orang yang ingin maju. Pak Belalang yang miskin, dengan menggunakan akalnya, mampu menjadi dukun yang kaya. Si Jonaha, dengan akalnya, mampu mengelabui si Pemalas dan berujung pada keuntungan harta. Intinya, ketika masalah menghampiri, jangan putus asa. Berusahalah karena kita semuanya punya akal.

Begitulah, soal cerdik dan licik ini sudah terserap dalam kehidupan manusia di Nusantara sekian waktu. Maka, bukan sesuatu yang aneh ketika hal serupa sering didapati di kehidupan nyata bukan? Contohnya, ketika seorang bawahan di sebuah kantor yang ingin mencari uang lebih, dia akan menggunakan akalnya untuk meraih kebutuhannya itu. Nah, ketika usaha dia terhambat oleh atasan, bukankah atasan itu juga memiliki atasan yang lain. Jadi, dia pun langsung potong kompas ke atasan yang paling tinggi. Jadi, ketika atasannya yang menghambat tadi berusaha menggagalkan kesempatannya, dia kan sudah aman karena sudah berkawan dengan bos tertinggi. Heheheh. Cerdik apa licik?

Masalah cerdik dan licik ini intinya kan pada akal. Jadi, ketika kita stag pada sesuatu, gunakanlah akalmu. Kalau nanti dikatakan licik, kan bisa kita balikan menjadi cerdik. Ya, itu semua hanya soal sudut pandang dan bagaimana kita menjabarkannya.

Hm, jadi ingat Gayus Tambunan dan tokoh lainnya yang merugikan negeri tercinta ini, cerdik atau licik? Ya, bukankah dia mampu menggunakan akalnya dengan melihat keadaan negara yang carut marut ini?
11 Maret 2011

“Yang cerdik itu keponakanmu. Ingat waktu kukasih uang, dia tidak langsung ke warung, dia simpan uang itu. Besoknya ketika uangnya bertambah, baru dia beli bonbon yang banyak,” tiba-tiba istri saya mengatakan itu. Tampaknya dia masih tak terima kalau anak tetangga yang katanya licik itu saya sebut sebagai anak yang cerdik.
Sumpah, saya tak menanggapi kalimatnya. Saya hanya teringat keponakan yang dimaksud istri saya. Ya, dia memang tak langsung ke warung, tapi dia diam-diam malah menghabiskan bonbon adiknya. Lalu, besoknya dia malah lari ketika adiknya meminta bonbon yang baru dibelinya itu. Hm, cerdik atau licik? Entahlah. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/