(Kejahatan dan penjahat merupakan sesuatu yang sudah kita kenal. Dia seakrab dengan kebaikan yang kita miliki. Namun, mengapa kita kurang menyadarinya?)
Cerpen : Musa Ismail
Subuh mencekam.
Perburuan sudah dimulai. Koret1 embun yang jatuh tadi malam masih menyisakan ketajaman. Di sebalik kabut tipis bagai kelambu kasa itu, tampak sepasukan polisi merayap menyusuri perbukitan perawan. Mereka bagaikan sebarisan semut hitam yang sedang menuju sesuatu. Nahar yang memimpin kelihatan begitu serius. Meskipun ini adalah tugas yang biasa mereka lakukan, tetapi masih juga ada kecemasan, was-was, dan kebimbangan. Kesilapan sedikit saja akan mengakibatkan kecelakaan dan kegagalan yang akan melahirkan kekesalan seumur hidup. Nyawa bisa lepas.
Bebatuan yang berbaris dan berhimpitan seakan-akan menjeling dan berbincang tentang sesuatu di subuh itu. Benda keras tersebut bagaikan memberikan isyarat, tetapi entah apa. Tidak seorang pun tahu apa itu. Benda mati itu beronggok-onggok di kanan dan kiri jalan setapak penuh daun kering. Sepanjang jalan, batu-batu itu terus saja menjeling manusia pemburu kejahatan.
Pohon-pohon begitu juga. Makhluk berdaun dan berakar itu berbisik-bisik ringan dengan tetangga dekatnya tentang subuh. Nahar, Yusri, dan beberapa temannya tidak sedikit pun menghiraukannya karena mereka memang tidak memahami kondisi ketika itu. Serangga-serangga hutan pun berbual mesra, tapi para polisi itu bukanlah Nabi Sulaiman. Sekali-kali dedaunan pepohonan menyapa mereka dengan lembut. Angin menyapu lemah sehingga ada suara seperti bunyi kertas kering yang disental pada lantai papan.
Nahar memberikan kode dengan kedua tangannya ketika jarak mereka dari lokasi sasaran hanya sekitar 50 meter. Mereka berpecah. Mereka mengepung dari berbagai arah dengan senjata api yang sedia laksana binatang buas yang siap menerkam mangsa. Sepanjang jalan berjarak 50 meter itu, akar-akar tanaman yang menjalar berjuntai. Terkadang akar-akar itu diterpa angin sehingga mengusap tubuh para polisi itu dengan ramah. Beberapa teman Nahar, terkejut karena menyangka akar-akar itu adalah ular yang bakal mematuk.
Nahar kembali memberi kode dengan tangannya. Rumah sasaran sudah dikepung dari berbagai arah mata angin. Hidung Nahar mencium bau asap rokok, bau mesiu, dan bau yang tidak enak. Kecemasan semakin gawat. Dengan kekompakan yang tinggi di bawah satu komando, mereka mendobrak pintu rumah itu. Masing-masing polisi itu berkeliaran mengamankan lokasi. Pintu-pintu kamar terus didobrak dengan penuh hati-hati
Dari luar, berjujai2 peluru menembusi dinding-dinding rumah sasaran itu. Polisi-polisi itu dicekam cemas. Mereka tertipu dan terkepung.
”Yusri tertembak,” Kapten Marjul berteriak setengah berbisik.
(Di apartemen, Sanah terkejut dari tidurnya. Dia duduk heran didera rasa tidak enak).
”Semuanya tiarap!” Nahar bergerak ke arah Yusri yang terbaring. ”Kamu harus bertahan,” tangannya memegang tangan sahabatnya itu.
”Lukaku hanya sedikit. Aku masih bisa bertarung.” Semangat Yusri masih berkobar seperti api yang sedang menjulat3. Peluru buta itu memang hanya nyasar sedikit saja di bahu kanannya. Walaupun begitu, memanggul senjata cukup menyakitkan juga. Jangankan memanggul senjata, mengacungkan pistol saja seperti mengangkat seribu-satu kilogram batu.
Nahar dan teman-temannya memilih diam.
Hujan peluru pun tiba-tiba reda.
Dengan hati-hati, Nahar dan beberapa temannya, kecuali Yusri, bergerak mendekati celah-celah dinding. Tak satu pun bayangan tampak. Penembak gelap tadi mungkin sudah meninggalkan tempat itu. Nahar kembali memberikan kode dengan tangannya. Perlahan-lahan dan dengan kesiagaan yang tinggi, mereka bergerak mengintai sasaran, si penembak gelap yang berada di luar itu. Ketika keluar dari pintu, mereka langsung dicegat seseorang yang aneh.
”Tertipu,” orang itu langsung tertawa panjang, mengikik.
Tangan Nahar melayang ke muka orang yang selalu disapa ”Gila” itu. Mukanya berdarah.
”Ayo lagi. Pukul lagi,” si gila itu tertawa lagi seraya menunjuk ke mukanya. Dia masih tertawa.
Nahar mencegah ketika beberapa temannya ingin ikut menghantam muka orang aneh itu. Dia langsung terkenang. ”Sudah dua kali, mengapa setiap penggerebekan, lelaki aneh ini selalu ada? Orang gila ini selalu merunsingkan4 kepala. Apa artinya semua ini? Apakah ini hanya suatu kebetulan atau pengelabuan?” pikirnya ketika itu. Lalu, buyar begitu saja tatkala Kapten Marjul menyeru tentang sesuatu.
”Kawan, lihat bekas telapak kaki ini rasanya masih baru. Ini menuju ke suatu arah, tapi entah ke mana?” Kapten Marjul berjongkok ingin memastikan arah langkah kaki misterius itu. Nahar, Yusri, dan temannya yang lain mendekati posisi Marjul.
”Oke, sekarang kita harus lebih waspada. Di subuh yang masih gelap begini, di hutan perawan ini, semuanya bisa terjadi. Lihat pepohonan dan batu-batuan itu, wajah mereka muram saja,” mata Nahar terus melirik keadaan lingkungan sekitarnya. ”Kita harus segera menyusul bekas langkah ini.”
”Bagaimana si Gila ini?” suara Yusri agak tertahan oleh kesakitan.
”Kita biarkan saja. Aku yakin kita akan kembali berjumpa dengannya,” suara Nahar setengah berbisik.
Waktu menuju subuh terus merangkak mengiringi langkah-langkah Nahar bersama temannya yang sedang mengekori bekas-bekas telapak kaki itu. Biar-bias cahaya bintang dan bulan menembusi serta menerangi dari celah-celah dedaunan dan ranting.
”Coba toleh ke belakang. Si Gila itu lenyap,” Nahar dengan suara masih tertahan.
”Ya, sepertinya ada sesuatu yang tidak kena dengan orang itu. Aku pikir….Aduh!” tiba-tiba Yusri memekik karena bahu yang ditusuk peluru itu mencium dahan. Kalimat yang hendak diucapkannya pun terputus dan melayang bagai layang-layang yang putus tali. Namun, keluhan itu hanya berlangsung sekejap saja.
Hampir dua-ratus meter mereka bergerak mengikuti jejak kecurigaan. Mereka langsung terhenti. Jejak itu hilang, putus. Semuanya diterjang keheranan. Tetapi, sebagai pemimpin pasukan, Nahar tidak hilang akal.
”Kita berpencar dua-dua. Aku rasa ada sesuatu di sini,” Nahar membagi pasukannya menuju beberapa arah mata angin. Mereka langsung mengambil posisi masing-masing mengawasi lokasi sekitarnya.
Dari balik rimbunan belukar, tangan salah seorang polisi itu menyingkapnya. Nyaris saja polisi itu memekik histeris, tapi tertahan karena Marjul menyekap mulutnya secepat kilat. Kini, satu markas pelatihan tentara yang sangat besar terpampang di depan mata mereka. Sekitar lima-puluh orang sedang berlatih di halaman markas rahasia di hutan yang penuh bebatuan. Markas ini memang sangat strategis. Letaknya dikelilingi oleh bebukitan yang penuh bebatuan sehingga tampak seperti lembah, tapi bukan lembah. Di sebelah kanan, tampak air bersih mengalir begitu tenang mengikuti lekuk bebatuan. Mungkin saja air itu turun dari pegunungan di sebelah Barat. Tiba-tiba, dari balik pintu markas yang samar-samar, keluar seseorang yang memeranjatkan Nahar dan pasukannya.
”Bukankah dia… Ah, aku rasa tidak mungkin. Mungkin aku salah pandang,” tangan Yusri mengusap-usap matanya. ”Coba kalian lihat lelaki yang berpakaian hitam itu.”
”Inilah keanehan yang selama ini kurasakan. Mungkin kita bersama merasakannya. Dan inilah kebenarannya. Mereka semua adalah orang-orang yang tidak waras alias gila,” Nahar langsung memerintahkan agar mereka berunding dalam bentuk melingkar. Sambil menuliskan kode-kode dan arah di tanah, Nahar terus menjelaskan perintah dan petunjuk penyergapan.
”Kita harus mengepung tempat ini dengan rapi. Jangan sampai gagal lagi sebab ini adalah kesempatan kita untuk terakhir kali. Jika gagal, mereka akan menjadi bom waktu,” Nahar memerintahkan agar mereka bergerak. Satu jam lagi, waktu subuh masuk.
Pasukan yang dipimpin Nahar bergegas. Dengan mengerahkan berbagai kemampuan, kemahiran, dan taktik yang selama ini mereka kuasai di pusat pendidikan kepolisian, lokasi sasaran sudah terkepung. Ketika mereka hendak menyerang secara serentak ke markas rahasia itu, para pasukan yang sedang berlatih tadi dan lelaki berpakaian serba hitam itu sudah menghilang. Melalui alat komunikasi modern yang melingkar kepala dan menyambung ke posisi mulut dan kuping masing-masing, Nahar memberikan aba-aba untuk ekstra hati-hati.
”Musuh sudah mengetahui gerakan kita. Untuk mengacaukan kesiagaan mereka, semua bom yang terpasang harus diledakkan dalam hitungan ke lima,” Nahar langsung menghitung secara mundur. Marjul yang memegang kendali pemicu ledakan bom sudah bersiap-siaga. Sekejap saja, bom-bom itu menghancurkan beberapa pos secara bergantian. Bersamaan itu pula, Nahar dan teman-temannya menyerbu secara terpisah beberapa lokasi yang strategis sehingga cukup membuat penghuni markas itu kacau-balau dan keluar ingin membalas.
Hujan peluru pun turun sekitar 40 menit. Satu per satu pasukan markas rahasia di hutan bebatuan itu tersungkur dihenyak hujan peluru dari moncong senjata pasukan polisi. Nahar dan kawan-kawannya terus menerobos. Mereka mencari lelaki berpakaian serba hitam itu. Dalam perhitungan Nahar dan teman-temannya, hanya tinggal lelaki itu saja yang masih lolos dari hujan peluru.
Mereka terus menerobos setiap ruangan, tapi masih sia-sia. Tibalah pada satu ruangan yang cukup kokoh dan mencurigakan, secara hati-hati, Nahar dan pasukannya menggebrak. Ketika pintu terbuka dengan paksa setelah dijingkang kaki Nahar, Abang Sanah itu tercegat. Teman-temannya pun tercegat. Diam. Hening. Lelaki berpakaian serba hitam itu terbahak-bahak sambil mengacungkan moncong pistol ke kepala seseorang.
”Tentu kau tidak menginginkan Abangmu mampus, Kapten,” lelaki itu terus tertawa megah. ”Kalian memang bodoh. Dua kali aku berhasil mengicuh kalian. Kalian tentu belum lupa,” tertawa lagi.
”Mana mungkin kami lupa dengan orang gila sepertimu. Apalagi setelah tinjuku melayang beberapa jam lalu dan membuat mukamu mengeluarkan merahnya pengkhianatan, panasnya neraka,” dada Nahar bagai air yang sedang dijerang 100 derajat celcius. ”Kalau jantan, ayo tantang aku, jangan banci dengan berselindung di balik senjata di leher Abangku.” Lelaki gila itu terpancing dan memenuhi tantangan Nahar.
Pertarungan otot pun berlangsung begitu seru. Nahar sama sekali tidak menyangka kalau lelaki yang selama ini menyamar sebagai orang gila itu menguasai ilmu bela diri yang tinggi. Beberapa kali, serangan Nahar hanya sia-sia. Beberapa kali, tangan dan kakinya hanya memukul angin. Selama lima belas menit pertarungan tenaga itu berlangsung, tubuh Nahar beberapa kali terpental dibantai musuhnya. Pakaian Nahar mulai rabak. Teman-teman Nahar ingin membantu, tetapi Nahar melarangnya.
”Ini pertarungan keadilan,” tegasnya. ”Aku yakin bisa mengatasi si gila itu.”
Meskipun di tubuh Nahar sudah lebam dan luka, semangat juangnya masih bagaikan api. Dia terus menyerang. Beberapa tendangan dan pukulannya mencium wajah si gila brewok sehingga di bawah bibirnya mengalir darah pecundang. Nahar terus mendesak dengan terjangan dan pukulan tangan. Ternyata, ilmu tarung drajat yang dipadunya dengan karate begitu sempurna. Lelaki itu tersudut. Akhirnya, terkulai. Ketika Nahar hendak menghenyak dengan tinjunya, Wahab mencegah.
”Jangan, berbahaya. Coba kaubuka baju dan lihat bekas di bagian kiri perutnya,” Wahab berjalan mendekati. Nahar melihat bekas jahitan di perut lelaki itu.
”Itu bekas operasi, ” jelas Wahab.
”Untuk apa?” Nahar penasaran.
”Aku dipaksakan memasukkan bom waktu berbentuk chip di hatinya. Jika dia dibunuh, maka akan meledak.”
”Jadi, bom itu ada di hatinya?”
”Ya. Dan aku tidak tahu bagaimana cara mengakhirinya. Hanya Tuhan, ya, hanya menunggu panggilan Tuhan.” Lelaki itu diamankan. Tangannya digari sedemikian rupa agar tidak bisa meloloskan diri atau berbuat macam-macam lagi.
Sejurus kemudian, azan Subuh menggema.***
Catatan:
1 Sisa,
2 Berhamburan,
3 Membakar
4 Memeningkan; membuat kepala jadi pusing