26 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

DKP Sumut Minta KJA Dikosongkan

MEDAN- Paskamatinya ratusan ton ikan di Kelurahan Pintu Sona, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sumatera Utara meminta lokasi Keramba Jaring Apung (KJA) di Kecamatan Pangururan tersebut segera dikosongkan. Pengosongan ini, menurut Kepala DKP Sumut Mulyadi Simatupang, karena lokasi KJA yang digunakan nelayan tidak strategis.

Mulyadi mengatakan, lokasi KJA di Kecamatan Pangururan itu sering terjadi pendangkalan dan arah angin yang begitu kuat. “Kemarin setelah kita turun ke lapangan, melakukan observasi dan mengambil sampel, diketahui kawasan itu sering terjadi angin kencang. PH dan ukuran KJA di sana banyak yang tidak sesuai dengan aturan sehingga membuat oksigen larut sangat rendah,” ujarnya.

Berdasar hasil observasi yang dilakukan PH air di kecamatan itu hanya 2,3 mm/liter. Idealnya untuk KJA 5 mm/liter. Begitupun dengan kedalaman KJA yang tidak sampai 10 meter. Padahal, berdasar Perpres Nomor 81 tahun 2014 tentang RTRW Danau Toba, kedalaman KJA minimal 30 meter. “Jarak pantai ke KJA juga cuma lima meter. Harusnya berdasarkan peraturan 100 meter jarak dari pantai ke KJA. Ini salah satu mengapa ikan-ikan disana banyak yang mati,” ungkapnya.

Cara budidaya ikan yang tidak baik, katanya, disertai dengan faktor cuaca dan angin, membawa bahan-bahan organik seperti amoniak yang ukurannya sudah melebihi ambang batas.

Akibatnya, dari faktor-faktor tersebut menimbulkan racun dan pengurangan oksigen.”Satu KJA itu idealnya 5.000 ekor ikan. Yang kita lihat disana berdasar laporan nelayan KJA, satu petak ada 15.000 ekor ikan. Faktor-faktor ini belum diketahui oleh nelayan di sana,” ujarnya.

Atas kejadian itu, sambung Mulyadi, para nelayan yang berjumlah 18 kepala keluarga (KK) meminta untuk dibina. Mereka, katanya, meminta agar diberikan pengetahuan bagaimana membuat KJA dan membudidayakan ikan di air Danau Toba. Di samping melakukan pembinaan, DKP Sumut juga akan melakukan pengawasan ekstra agar kejadian serupa bisa lebih diantisipasi ke depan.

“Setelah ini, kita akan berkoordinasi dengan Dinas Perikanan dan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Samosir untuk melakukan pembinaan. Pada saat melakukan obeservasi, juga dihadiri oleh petugas dari Kementerian Kelautan dan Perikanan,” ujarnya.

Ia mengatakan, sampel yang diambil kemarin diuji di Laboratorium Pengendalian Mutu Hasil Perikanan di KIM Belawan. Katanya, dalam melakukan pengujian itu dianalisa unsur kimia meliputi NH3 (Nitrat), Fospor, Sulfur, CO2, dan lainnya.

“Soal pengosongan, kita akan sosialisasikan setelah melakukan pembinaan tersebut. Ini harus dikosongkan selama dua bulan. Kita akan lakukan secara perlahan-lahan dulu dengan melakukan upaya pendekatan ke masyarakat,” pungkasnya.

Sementara, Wakil Ketua Komisi B DPRD Sumut Aripay Tambunan mengatakan dugaan kekurangan oksigen sebagai penyebab matinya jutaan ikan KJA di Danau Toba dapat diterima. Hal tersebut karena beberapa alasan seperti kedalaman dan jumlah keramba di satu lokasi/zona. “Ya bisa saja kemungkinan itu, karena kekurangan oksigen. Makanya kedalaman air tempat penempatan KJA itu penting dilihat. Setidaknya di atas 30 meter. Biasanya milik masyarakat itu di bawah 30 meter,” ujar Aripay, Selasa (28/8).

Dalam pertemuan DPRD Sumut khususnya Komisi B, dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, lanjut Aripay, telah disebutkan bahwa batas toleransi jumlah produksi ikan KJA di Danau Toba untuk seluruhnya hanya berkisar 45 ton per tahun. Namun khusus yang mengalami kematian lebih banyak keramba milik masyarakat. “Dugaan kita memang karena kedalaman air di atas KJA itu kurang dalam, kurang dari 30 meter. Kalau untuk jumlah produksinya, bisa dilihat dari hitungan panen,” sebutnya.

Bahkan kata Politisi PAN ini, perusahaan penghasil ikan KJA di Danau Toba bisa menghasilkan hingga 70 ton ikan air tawar. Angka tersebut dinilai sudah terlalu besar, sehingga sedikit demi sedikit dikurangi jumlahnya. Termasuk milik masyarakat yang tersebar di beberapa lokasi.

“Kalau untuk persoalan KJA milik masyarakat, tentu harus ada zonasi, dan yang sekarang itu harus pindah. Kalau yang sekarang, wajar saja apabila terjadi upwelling (perubahan suhu air) maka akan terjadi ikan mati. Sebab, jumlah ikan yang padat, oksigen berkurang, amonia naik dan menyebabkan kematian pada ikan,” sebutnya.

Seperti diketahui, DKP Sumut mencatat 180-200 ton ikan di Kecamatan Pangururan Danau Toba mati mendadak. Kematian ratusan ton ikan tersebut merugikan para nelayan KJA hingga Rp 6 miliar. (bal/prn)

MEDAN- Paskamatinya ratusan ton ikan di Kelurahan Pintu Sona, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sumatera Utara meminta lokasi Keramba Jaring Apung (KJA) di Kecamatan Pangururan tersebut segera dikosongkan. Pengosongan ini, menurut Kepala DKP Sumut Mulyadi Simatupang, karena lokasi KJA yang digunakan nelayan tidak strategis.

Mulyadi mengatakan, lokasi KJA di Kecamatan Pangururan itu sering terjadi pendangkalan dan arah angin yang begitu kuat. “Kemarin setelah kita turun ke lapangan, melakukan observasi dan mengambil sampel, diketahui kawasan itu sering terjadi angin kencang. PH dan ukuran KJA di sana banyak yang tidak sesuai dengan aturan sehingga membuat oksigen larut sangat rendah,” ujarnya.

Berdasar hasil observasi yang dilakukan PH air di kecamatan itu hanya 2,3 mm/liter. Idealnya untuk KJA 5 mm/liter. Begitupun dengan kedalaman KJA yang tidak sampai 10 meter. Padahal, berdasar Perpres Nomor 81 tahun 2014 tentang RTRW Danau Toba, kedalaman KJA minimal 30 meter. “Jarak pantai ke KJA juga cuma lima meter. Harusnya berdasarkan peraturan 100 meter jarak dari pantai ke KJA. Ini salah satu mengapa ikan-ikan disana banyak yang mati,” ungkapnya.

Cara budidaya ikan yang tidak baik, katanya, disertai dengan faktor cuaca dan angin, membawa bahan-bahan organik seperti amoniak yang ukurannya sudah melebihi ambang batas.

Akibatnya, dari faktor-faktor tersebut menimbulkan racun dan pengurangan oksigen.”Satu KJA itu idealnya 5.000 ekor ikan. Yang kita lihat disana berdasar laporan nelayan KJA, satu petak ada 15.000 ekor ikan. Faktor-faktor ini belum diketahui oleh nelayan di sana,” ujarnya.

Atas kejadian itu, sambung Mulyadi, para nelayan yang berjumlah 18 kepala keluarga (KK) meminta untuk dibina. Mereka, katanya, meminta agar diberikan pengetahuan bagaimana membuat KJA dan membudidayakan ikan di air Danau Toba. Di samping melakukan pembinaan, DKP Sumut juga akan melakukan pengawasan ekstra agar kejadian serupa bisa lebih diantisipasi ke depan.

“Setelah ini, kita akan berkoordinasi dengan Dinas Perikanan dan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Samosir untuk melakukan pembinaan. Pada saat melakukan obeservasi, juga dihadiri oleh petugas dari Kementerian Kelautan dan Perikanan,” ujarnya.

Ia mengatakan, sampel yang diambil kemarin diuji di Laboratorium Pengendalian Mutu Hasil Perikanan di KIM Belawan. Katanya, dalam melakukan pengujian itu dianalisa unsur kimia meliputi NH3 (Nitrat), Fospor, Sulfur, CO2, dan lainnya.

“Soal pengosongan, kita akan sosialisasikan setelah melakukan pembinaan tersebut. Ini harus dikosongkan selama dua bulan. Kita akan lakukan secara perlahan-lahan dulu dengan melakukan upaya pendekatan ke masyarakat,” pungkasnya.

Sementara, Wakil Ketua Komisi B DPRD Sumut Aripay Tambunan mengatakan dugaan kekurangan oksigen sebagai penyebab matinya jutaan ikan KJA di Danau Toba dapat diterima. Hal tersebut karena beberapa alasan seperti kedalaman dan jumlah keramba di satu lokasi/zona. “Ya bisa saja kemungkinan itu, karena kekurangan oksigen. Makanya kedalaman air tempat penempatan KJA itu penting dilihat. Setidaknya di atas 30 meter. Biasanya milik masyarakat itu di bawah 30 meter,” ujar Aripay, Selasa (28/8).

Dalam pertemuan DPRD Sumut khususnya Komisi B, dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, lanjut Aripay, telah disebutkan bahwa batas toleransi jumlah produksi ikan KJA di Danau Toba untuk seluruhnya hanya berkisar 45 ton per tahun. Namun khusus yang mengalami kematian lebih banyak keramba milik masyarakat. “Dugaan kita memang karena kedalaman air di atas KJA itu kurang dalam, kurang dari 30 meter. Kalau untuk jumlah produksinya, bisa dilihat dari hitungan panen,” sebutnya.

Bahkan kata Politisi PAN ini, perusahaan penghasil ikan KJA di Danau Toba bisa menghasilkan hingga 70 ton ikan air tawar. Angka tersebut dinilai sudah terlalu besar, sehingga sedikit demi sedikit dikurangi jumlahnya. Termasuk milik masyarakat yang tersebar di beberapa lokasi.

“Kalau untuk persoalan KJA milik masyarakat, tentu harus ada zonasi, dan yang sekarang itu harus pindah. Kalau yang sekarang, wajar saja apabila terjadi upwelling (perubahan suhu air) maka akan terjadi ikan mati. Sebab, jumlah ikan yang padat, oksigen berkurang, amonia naik dan menyebabkan kematian pada ikan,” sebutnya.

Seperti diketahui, DKP Sumut mencatat 180-200 ton ikan di Kecamatan Pangururan Danau Toba mati mendadak. Kematian ratusan ton ikan tersebut merugikan para nelayan KJA hingga Rp 6 miliar. (bal/prn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/