SUMUTPOS.CO – Lahan berstatus hak guna usaha (HGU) PTPN II Desa Sampali yang diduga dijual, kini telah dikembalikan. Namun, penyidik Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) masih bisa mengusut dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) kasus tersebut.
“KITA mengapresiasi kinerja Kejatisu dalam menyelematkan aset negara dari proses transaksional lahan seluas 3,3 hektare milik PTPN II yang dilakukan beberapa pimpinan PT PSP,” ujar Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (Marak), Agus Yohanes kepada wartawan, Rabu (19/9).
Namun Agus berharap, keberhasilan oleh institusi itu diharapkan tidak menghentikan kasus TPPU nya.
“Kejaksaan sudah melaksanakan PP Nomor 10 Tahun 2016, tentang pencegahan dan penindakan terhadap orang-orang yang mengambil keuntungan atas aset-aset negara. Aset yang menjadi objek permasalahan penanganan kasus ini sudah dikembalikan oleh si pembeli berinisial AJ,” jelas Agus.
Agus mengatakan, penerima aliran dana dari penjualan lahan negara itu tetap bisa diproses meski objek perkara sudah dikembalikan ke negara.
Sebab, para penerima aliran dana itu mendapatkan keuntungan dari penjualan lahan aset PTPN II tersebut.
Lahan itu dijual dengan alas hak surat keterangan dari kecamatan, bukan dalam wilayah kepemilikan PTPN II.
“ND, ASH, HH, SH, M, SU dan SP, merupakan pihak yang patut diproses dalam kasus dugaan pencucian uang tersebut. Soalnya, mereka yang menerima keuntungan dari penjualan lahan negara,” tegas Agus.
“AJ sebagai pembeli yang juga menjadi salah satu pimpinan di perusahaan tersebut, justru menjadi korban. Dia dengan sukarela mengembalikan lahan itu,” sambungnya.
Menurut Agus, AJ seharusnya dapat penghargaan. Sebab telah mengembalikan lahan yang awalnya sama sekali dia tidak mengetahui bahwa itu lahan HGU.
Berbeda dengan HH dan SH. Keduanya seharusnya dijadwalkan menjalani pemeriksaan, Senin (17/9) kemarin. Namun, petinggi salah satu bank ternama itu tidak datang.
“Tidak hadirnya HH dan SH untuk memenuhi panggilan dalam rangka pemeriksaan oleh pihak kejaksaan, yang patut untuk dipertanyakan. Jika mereka tidak memberikan alasan kepada penyidik maka bisa dikategorikan tidak kooperatif,” kata Agus.
“Kita mengharapkan, kejaksaan kembali melayangkan surat panggilan untuk yang kedua kali. Upaya paksa dapat dilakukan jika tidak juga datang,” lanjutnya.
Diketahui, beberapa petinggi PT PSP diperiksa penyidik Kejatisu. Kasus ini berawal dari jual-beli lahan seluas 3,3 hektare di Desa Sampali, tidak jauh dari Rumah Sakit Haji Medan.
Penjualan lahan dengan nilai Rp40 Miliar di tahun 2016 itu, hanya mengandalkan surat tanah dari kecamatan. Lahan itu ternyata milik PTPN II yang masa HGU nya berakhir di tahun 2023.
Sebelum menjual aset negara, PT PSP sendiri mengaku melakukan pembelian lahan tersebut dari empat orang warga yang mengklaim sebagai pemilik lahan sekira tahun 2011 – 2012 lalu.
Proses transaksi senilai Rp900 juta yang berbau rekayasa ini menggunakan jasa pihak tertentu. Terpisah, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejatisu, Sumanggar Siagian mengaku belum monitor perkembangan dari penanganan kasus tersebut. Kejatisu tetap serius dan komitmen dalam penegakan hukum.
“Apalagi menangani kasus penjualan aset negara oleh mafia tanah di Sumut,” ujarnya.(azw/ala)