JAKARTA-Para pengurus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merasa nyaman selama menjadi bagian dari koalisi partai penyokong pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hanya saja, para kader PKS juga tak mau terkekang sebagai partai pendukung pemerintah. Kepala Humas DPP PKS, Mardani Ali Sera mengungkapkan, para kader tetap ingin leluasa menyuarakan pendapat politiknya.
“Forum Rapim PKS mendengarkan suara dari daerah. Intinya, mereka merasa nyaman berkoalisi dengan pemerintah, tapi ingin ada kebebasan berekspresi,” ujar Mardani Ali Sera saat diskusi bertema ‘Darmaturgi Reshuffle’ di Cikini, Jakarta, Sabtu (15/10).Mardani mengakui, sebagian kader PKS terutama yang duduk di DPR, sering bersuara keras mengkritik kebijakan pemerintah. Namun, katanya, itu bagian dari dinamika parlemen. “Karena kami memberikan kebebasan teman-teman PKS (untuk bersuara), asal diyakini itu benar,” ujarnya.
Diakui juga, ada suara-suara di internal PKS yang menghendaki keluar saja dari koalisi. Suara ini didasarkan pada keyakinan bahwa kebesaran PKS tidak ditentukan oleh pihak lain. “Kita juga punya agenda-agenda lain. PKS punya target tiga besar. Berkompetisi tetap harus bekerja sama, bekerja sama tetap haru kompetisi,” ujarnya.
Di forum Rapim, kata Mardani, empat menteri asal PKS memberikan testimoni di depan peserta Rapim. Mereka masing-masing menceritakan bahwa merasa nyaman bekerja di kabinet. Jika ada tokoh PKS yang bersuara keras ke pemerintah, misal Anis Matta atau Fahri Hamzah, kata Mardani, itu semata-mata hanya untuk menarik perhatian publik. “Karena teman-teman di parlemen punya tugas sendiri, jangan sampai legislatif berada di bawah eksekutif,” dalihnya.
Pernyataan Mardani dibantah pakar komunikasi politik, Tjipta Lesmana. Menurutnya, jelas PKS sudah merasa tak nyaman berada dalam koalisi. PKS, menurut Tjipta, sudah gerah berada dalam koalisin
“PKS itu gerah. Ancaman PKS bila satu menteri dicopot yang lain ikut mundur, itu pasti tak nyaman. Dan selama ini PKS hantam terus (ke pemerintah),” ujar Tjipta.
Menurut Tjipta, beberapa waktu belakangan, PKS selalu menerapkan model komunikasi yang menakut-nakuti. “Pernyataan-pernyataan dari tokoh politik PKS, itu adalah tekanan PKS ke Presiden SBY,” ujar Tjipta.
Di tempat yang sama, Sekretaris Divisi Komunikasi Publik Partai Demokrat, Hinca Panjaitan mengakui, pembicaraan mengenai reshuffle di Cikeas alot sehingga ada kemungkinan pengumuman reshuffle molor lagi. Ibarat permainan sepak bola, saat ini pembahasan reshuffle sudah masuk babak kedua. Untuk mendapatkan hasil yang matang, bisa saja waktunya menjadi molor. “Ada tidaknya perpanjangan waktu, beliau (SBY) yang tahu,” ujar Hinca.
Hinca membantah jika penambahan tiga wakil menteri, menjadikan kabinet semakin gemuk. Menurutnya, kebutuhan personil di kabinet, sangat tergantung dari presiden sendiri. “Presiden yang tahu, seberapa berat tugas di rumah dan berapa pembantu yang diperlukan,” ujar Hinca.
Sementara, pakar psikologi politik dari Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk, menilai, Cikeas telah dijadikan panggung bagi presiden SBY untuk mencari perhatian dan legitimasi publik. Mestinya, sebagai pemegang hak prerogatif, presiden diam-diam saja menggodok nama-nama yang akan duduk di kabinet. “Seperti Pak Harto dulu, tak ada Indonesia Idol. Diam-diam saja, jadi panggung tak terlalu riuh,” ujarnya.
Hinca menangkis omongan Hamdi Muluk. Justru, kata Hinca, SBY tak mau mentang-mentang punya hak prerogratif, lantas main tunjuk sesukanya. “Kalau orang Medan bilang, ‘sukak-sukakku lah’. Tapi Presiden SBY tak mau seperti itu meski punya hak prerogratif,” kata Hinca.
Di era demokrasi seperti sekarang ini, kata Hinca, jika para wartawan sudah menunggu di Cikeas tapi presiden tak keluar-keluar memberikan pernyataan, maka akan menuai kecaman publik. “Kalau tak keluar-keluar, apa kata orang?” ujar Hinca. (sam)