MEDAN, SUMUTPOS.CO – Umat Hindu di Indonesia melaksanakan peristiwa paling sakral agama mereka yakni Kuningan dan Syiwaratri yang jatuh di hari bersamaan sejak Sabtu (5/1) kemarin. Pertemuan dua hari raya ini merupakan salah satu momen langka yang terjadi 30 hingga 50 tahun sekali baru terjadi.
Di Medan, pelaksanaan ibadah ini diselenggarakan di Pura Agung Raksa Buana. Setidaknya 100 orang lebih umat Hindu Darma di Medan, di antaranya Karo SDM Polda Sumut, Kombes Pol Drs I Ketut Suardana, Kapolres Nias Selatan AKBP In Gede Nakhti n
dan Kasat Reskrim Polrestabes Medan AKBP Putu Yudha Prawira serta sejumlah tokoh agama umat Hindu.
Ketua Suka Duka Dirgayusa Medan, Dr I Wayan Dirgayasa Tangkas M,Hum menjelaskan, pertemuan dua hari raya besar Hindu ini merupakan hal yang langka.
“Jadi Hari Raya Syiwaratri itu pertemuannya dengan Kuningan sekitar 30-50 tahun sekali. Jadi momen bertemunya kedua hari raya ini secara sekaligus bagi kami umat Hindu sangatlah sakral dan suci dan spiritnya sangat tinggi,” kata I Wayan kepada Sumut Pos, Sabtu kemarin.
Diterangkannya, hari raya Kuningan dirayakan seminggu setelah Galungan, diyakini sebagai turunnya leluhur dan para dewa dari surga untuk memberikan anugerah kepada umat manusia. Sementara Siwaratri adalah momen pengendalian diri yang dilakukan dengan tiga Brata (sikap) yaitu Upawasa (puasa), Muna (tidak bicara), dan Jagra (tidak tidur).
Dalam pelaksananannya, dua hari raya itu dilaksanakan bersamaan namun berbeda jam. “Kuningan dilakukan pagi hari sampai jam 12.00 WIB, sedangkan Syiwaratri dari jam 06.00 WIB sampai pukul 18.00 WIB,” terangnya.
Wayan menuturkan, saat Kuningan umat Hindu melakukan persembahyangan di pura keluarga hingga tengah hari. Upacara ini bermakna untuk meminta berkat kepada dewata (dewa) supaya alam beserta segala isinya lebih baik dan sejahtera.
“Kalau lewat tengah hari diyakini para dewa dan leluhur sudah meninggalkan dunia ini pergi ke alamnya, alam niskala. Persembahyangan pagi sampai siang hari khususnya di rumah. Kalau sudah melaksanakan tengah hari, kemudian ada keperluan lain sudah tidak dilarang, tetap sah,” terangnya.
Sementara itu, upacara hari raya Syiwaratri merupakan momen untuk pengendalian diri. Masing-masing Brata memiliki makna agar manusia menjadi insan yang lebih baik.
“Pada saat Brata itu kalau yang melaksanakan Jagra dan Upawasa itu Brata Madya, tapi begadang (tidak tidur) selama 36 jam itu bukan berarti begadang-begadang saja. Seseorang itu harus dalam aplikasinya waspada terhadap kehidupan ini, melek godaan, melek tantangan, melek kemiskinan, melek kebodohan yang menghalangi kehidupan, ingat menjadi manusia mempunyai tujuan memperbaiki karma-karma untuk menjadi baik,” terangnya.
Upawasa selama 36 jam itu, maksudnya adalah supaya manusia bisa mengendalikan mulut, perut, agar tidak makan sembarangan.
“Jadi apa yang kita makan hari ini akan jatuh di kehidupan yang berikutnya, kami percaya reinkarnasi. Muna itu tidak bicara maksudnya jangan sampai orang mengumbar perkataan sembarangan. Berkata harus yang baik-baik saja, berkata yang bermanfaat bagi kehidupan, tidak menyakiti, tidak fitnah yang menyebabkan orang lain sakit hati,” kata Wayan.
Wayan menyebutkan selama hari Syiwaratri, umat Hindu menghaturkan pujian dan mengingat Tuhan dalam manifestasi Dewa Siwa. Dengan harapan ketika selalu mengingat Tuhan ada peleburan dosa.
“Dalam pelaksanaan ketiga Brata itu umat Hindu itu mengucapkan nama Tuhan dengan manifestasinya dalam Dewa Siwa, mengucapkan nama Om Namaha Shivaya, atau nama-nama yang berkaitan dengan Tuhan ‘Om’ selama 36 jam baik secara langsung maupun dalam hati. Dengan demikian akan mendapat pahala sesuai lontar Syiwaratri Kala atau Syiwabrana. Barangsiapa yang melaksanakan Siwaratri dengan baik dan mengucapkan nama Tuhan, dalam manifestasi Dewa Siwa maka dosanya akan dilebur,” tuturnya.
Dalam pengucapan nama Tuhan, kata I Wayan, seseorang juga melaksanakan yoga, baik yoga dalam bentuk duduk ataupun dalam aktivitas, itu yang memang harus dijalankan oleh umat hindu sehingga dalam 36 jam itu pelaksanaan Kuningan berjalan persembayangan dengan menghaturkan sajen.
Dia pun berpesan agar anak-anak muda tak melangsungkan jagra (begadang) di tempat-tempat keramaian. Melainkan di tempat-tempat suci agar mendapatkan pahala.
“Kepada anak-anak muda jangan melaksanakan Syiwaratri di tempat-tempat yang memungkinkan bahaya, misalnya begadang di pinggir pantai, tengah jalan, kemudian begadang jangan di mal nanti uangnya habis. Kalau begadang di sekolah, pura, rumah, di tempat suci lainnya pahalanya sangat besar, dan ada pembacaan kitab suci sehingga jalannya Syiwaratri dan Kuningan ini sangat bermakna membangun karakter dan kepribadian umat Hindu dari yang tidak bagus menjadi bagus, dari yang sudah baik menjadi lebih baik,” pungkas Wayan. (dvs/ila)