MEDAN, SUMUTPOS.CO – Tangis Eny Lilawati pecah saat dirinya mengadukan masalahnya ke Kapolda Sumut, Irjen Agus Andrianto. Pasalnya, laporan Eni soal penguasaan tanah warisan orangtuanya di Jalan Mongonsidi 3 No 28, Kelurahan Angrung, Kecamatan Medan Polonia tak diproses secara profesional.
PASALNYA, laporan Eny di tahun 2016 atas dugaan pemalsuan akta otentik dan penguasaan lahan warisan orangtuanya yang dilakukan oleh Rokkifeller Manurung diberhentikan oleh penyidik. Alasannya juga tidak pas.
Ditemani Hesti Helena Sitorus, tetangga dari lahan milik ayahnya, ia mengadukan nasibnya soal penguasaan lahan itu ke orang nomor satu di Mapolda Sumut ini.
“Tolong saya pak, ini lahan saya diserobot. Ini semua bukti-buktinya jelas. Saya cuma mau tanah saya kembali. Sejak dari 2016 lalu laporannya. Tapi dihentikan. Tolonglah, pak,” tangis Hesti ketika bertemu Kapolda Sumut di depan Aula Tribrata usai acara Sertijab Karorena Polda Sumut, Senin (7/1) sore.
Alhasil, Agus kemudian menyerahkan masalah itu kepada Direskrimum Polda Sumut Kombes Andi Rian untuk ditindaklanjuti.
“Coba kepada Direskrimum, Andi Rian. Biar dicek. Sudah dilaporkan, ya?” tanya Agus. “Biar nanti dicek lagi ya,” tandasnya.
Kepada wartawan, Eny mengaku kini lahannya itu dikuasai Rokkifeller Manurung. Lahan itu luasnya 13×20 meter. Rokki menguasai lahan itu berdasarkan Surat Keterangan Kepala Kampung Angrung Kecamatan Medan Baru tahun 1972. Dalam surat kuasa yang diduga rekayasa, lahan itu milik Muda Simandjuntak berdasarkan surat kuasa dari Maruhum Mangasa Tampubolon.
Kejanggalannya, kata Eny, Muda Simandjuntak kemudian memberikan kuasa kepada kepada Guntur Manurung ayah Rokkifeller Manurung dengan uang ganti rugi Rp250 ribu. Penyerahan uang ganti rugi itu terlampir dalam Surat Perjanjian Penyerahan Hak di tahun yang sama.
“Kejanggalannya, pertama, setelah dicek di Kantor Kelurahan Anggrung, arsip Surat Keterangan Kepala Kampung Angrung Kecamatan Medan Baru yang menyatakan tanah itu milik Maruhum Mangasa Tampubolon tidak ada,” tutur Eny.
“Kemudian, nama Muda Simandjuntak yang menyerahkan kuasa atas lahan Maruhum Mangasa Tampubolon ke Guntur fiktif, alias hantu. Kami sudah cek ke Kantor Kelurahan Petisah Hulu nama Muda Simandjuntak tidak ada, alamat di Jalan Terong 131 itu bisa palsu,” sambungnya sembari memperlihatkan bukti-bukti surat tersebut.
Kejanggalan lainnya, kata Eny, dalam surat Perjanjian Penyerahan Hak yang dijadikan dasar Rokkifeller Manurung menguasai lahan itu, tidak ada juga diterangkan di mana alamat lahan. Hanya batas-batasnya saja.
Kemudian, surat kuasa dari Maruhum Mangasa Tampubolon kepada Muda Simandjuntak sebagai dasar penerbitan surat keterangan Kepala Kampung Angrung Kecamatan Medan Baru Tahun 1972 itu juga aneh. Dalam surat kuasa itu, Maruhum menyebut lahan yang Jalan Mongonsidi 3 No 28 itu berukuran 15×23 meter.
“Kan aneh sudah ini. Masa di satu objek ukuran lahannya beda-beda. Ada yang 13×20 meter ada yang 15×23 meter. Kan sudah jelas surat-surat yang dijadikan Rokkifeller sebagai dasar dia menguasai lahan atas warisan ayahnya Guntur Manurung banyak rekayasa, banyak kejanggalannya. Tapi kenapa penyidik Hardatahbang Polda Sumut malah tetap membelanya,” kata Eny.
Eny kemudian mengisahkan sejarah tanah milik ayahnya itu disewa oleh ayah Rokkifeller, Guntur Manurung. Saat itu, lahan tersebut hanya ada bangunan rumah lama yang sudah reot.
“Oleh ayah Rockifeller, dibangun lah rumah itu. Karena dibangun itu, kemudian antara ayah saya Sjahman Saragih dan Rockifeller Manurung waktu itu tahun 1994 berjanji akan membayari tanah itu. Tapi sampai sekarang tidak juga terlaksana,” katanya.
Sementara, Hesti yang mendampingi Eny mengaku kecewa dengam Direskrimum Polda Sumut Kombes Pol Andi Rian. Menurutnya, mereka terlalu membela Rokkifeller yang nyata-nyata memalsukan data tersebut.
“Tadi kami datang lagi ke Polda tapi tidak berhasil ketemu dengan pak Andi. Kami diarahkannya ke Edison, Kasubdit Hardatahbang. Begitu juga kami dibola-bola soal kenapa laporan ibuk Eni dihentikan,” kata Hesti.
“Padahal sudah jelas semua data yang dipegang Rokkifeller janggal dan bisa kami buktikan. Alasan penyidik itu bukan urusan polisi, harusnya tidak boleh begitulah,” kata Rabu (9/1) sore.
Hesti merasa bertanggungjawab membantu Eny. Karena menurutnya, dia merupakan orang lama di daerah itu yang bertetangga langsung dengan lahan tersebut.
“Kami minta keadilan lah. Masa enak saja kasusnya di SP3 kan. Padahal data-datanya jelas. Ini malam kami mau ketemu lagi sama Kapolda ke rumah dinasnya,” pungkas Hesti. (dvs/ala)