29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Sudah Melalui Kajian Komprehensif, PLTA Batangtoru Tahan Gempa

ist
MEMERIKSA: Pekerja PLTA Batangtoru saat memeriksa bangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batangtoru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara (Sumut), didesain tahan gempa.

SUMUTPOS.CO – Rancangan bangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batangtoru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara (Sumut), didesain tahan gempa.

Kajian menyeluruh yang merujuk pada ketentuan internasional untuk mitigasi risiko gempa sudah selesai dilakukan pengembang PLTA Batang toru sejak 2017.

Tenaga Ahli PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE), Didiek Djawadi, menyatakan, kajian kegempaan merupakan bagian terpenting bagi proyek PLTA. Proses survei yang dilakukan menyangkut berbagai detail, termasuk mempertimbangkan fakta ada sesar di kawasan Batangtoru.”Setiap detail terkait mitigasi risiko kegempaan sangat kita perhatikan,” kata Didiek di Medan, Minggu (13/1).

Aspek kegempaan ini, kata Didiek, sudah disampaikan terbuka dalam banyak kesempatan, baik even nasional, maupun di tingkat Sumut. Terakhir, pada saat diskusi “Dinamika Tektonik & Potensi Bahaya Gempa Segmen Toru, Khususnya PLTA Batangtoru” di Medan, yang dilaksanakan oleh Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung, bulan lalu. Diskusi itu dihadiri sejumlah pemangku kepentingan, akademisi, dan juga kelompok-kelompok masyarakat.

Didiek menjelaskan, proses survei yang dilakukan dalam serangkaian tahapan waktu tersebut, diselesaikan pada Maret 2017. Pada pokoknya, kajian yang dilakukan dan rekomendasi yang dihasilkan, merujuk pada berbagai ketentuan nasional dan internasional.

Didiek menekankan, adalah keliru jika menyangka pembangunan proyek sebesar PLTA tidak dilandasi kajian kegempaan. Justru aspek ini sangat serius ditangani, dan melibatkan ahli berkompeten untuk itu.

Kajian tidak hanya sebatas sesar aktif yang ada di Batangtoru, melainkan, meng kompilasi data kegempaan hingga radius 500 kilometer dari lokasi pembangunan PLTA. Baik data dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), United States Geological Survey (USGS) dan lembaga lainnya.

Kombinasi analisa kejadian gempa sebelumnya dan survei termutahir, itulah yang menjadi kesimpulan tim ahli. Rekomendasi yang disampaikan sangat mempertimbangkan kemampuan bangunan menerima efek dari potensi gempa itu sendiri.

“Itu yang harus kita analisis, bagaimana membuat suatu bangunan yang tidak runtuh oleh gempa. Sehingga baik dari struktur, beton, jenis tipenya itu semua harus terukur,” kata Didiek, yang juga anggota Pusat Studi Gempa Bumi Nasional (PuSGeN).

Wilayah yang berada di dekat sesar bumi aktif tetap bisa dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur. Namun diperlukan penguatan bangunan dengan perlakuan teknik sipil sebagai mitigasi terjadinya aktivitas geologi.

Sesuai standar

Secara terpisah, Ketua Umum Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sukmandaru Prihatmoko menyatakan, hampir seluruh wilayah Indonesia ada patahan (sesar) bumi aktif, kecuali di Kalimantan. Ini berarti pembangunan infrastruktur harus mendapat perlakuan khusus untuk meminimalisasi risiko jika terjadi aktivitas geologi seperti gempa. “Ada pekerjaan enginering yang lebih. Misalnya penguatan bangunan secara teknis sipil,” katanya.

Menurut Sukmandaru, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah merilis beberapa Standard Nasional Indonesia (SNI) dan kode bangunan yang harus diikuti sehingga memiliki ketahanan gempa sampai skala tertentu. “Memang ini akan berdampak pada biaya yang lebih tinggi, tapi mesti kita ikuti,” katanya.

Dia memberi contoh pada pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta di Kulonprogo yang kini sedang dibangun pemerintah. Bandara tersebut dekat dengan patahan yang berada di Laut Selatan Jawa sehingga berpotensi menghadapi gempa dan tsunami. Pembangunan tetap bisa dilaksanakan sepanjang menyiapkan mitigasi risiko jika gempa dan tsunami terjadi. “Jadi bangunannya harus ramah tsunami. Misalnya, orientasi bangunannya akan mengalirkan gelombang sehingga tetap aman,” katanya.

Dia menyatakan, bangsa Indonesia bisa belajar dari Jepang yang sudah sangat memperhitungkan potensi bencana geologis dalam kebijakannya. Berbekal perhitungan tersebut, Jepang tetap bisa membangun berbagai infrastruktur.

Ditanya soal berapa jarak aman wilayah yang bisa dibangun jika ada patahan yang mencuat ke permukaan (rupture), Sukamandaru menyatakan, pada garis patahan seperti yang ada di Palu-Koro, Sulawesi Tengah, jelas tidak bisa dimanfatkan untuk bangunan. Namun banyak pendapat pakar terkait jarak dari garis patahan yang masuk wilayah aman (buffer zone)

Dia mencontohkan, di San Adreas, salah satu kota paling rawan gempa di Amerika Serikat, bangun bahkan bisa dibangun dengan jarak 15 meter dari garis patahan. Namun dia mengingatkan, bangunan yang dibangun tetap harus memenuhi kualifikasi ketahanan gempa.

Sukamandaru juga mengingatkan, selain ketahan gempa, yang juga harus dipersiapakan dalam mitigasi bencana geologis adalah manusia yang hidup dan bekerja di wilayah tersebut. Untuk itu, pengetahuan mitigasi bencana harus terus menerus disampaikan. “Manusianya juga harus disadarkan kalau hidup dan bekerja di daerah rawan gempa dan tsunami. Jadi kalau ada gejala atau peringatan dari pemerintah, sudah siap,” katanya,

Pemasangan Tanda Bahaya

Terkait dengan mitigasi risiko bencana di jalur sesar yang telah diidentifikasi, sebelumnya Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo menyatakan, ada rencana pemerintah untuk memberikan peringatan ke publik. Bentuknya antara lain dengan memasang tanda-tanda bahaya.

“Tugas pemerintah untuk memberi peringatan agar tidak lagi disalahkan kalau terjadi bencana. Suka tidak suka, masyarakat harus tahu risikonya. Berikutnya ke depan harus ada penataan ruang berbasis risiko bencana ini,” kata Doni Monardo kepada wartawan di Sukabumi, Jawa Barat, Jumat (11/1).

Secara nasional, jumlah sesar baru yang ditemukan sebanyak 295 zona. Hasil penelitian Pusgen menunjukkan, di area satu kilometer jalur patahan aktif di Indonesia terdapat 2.892 bangunan sekolah, 40 rumah sakit, 126 puskesmas, dan jumlah penduduk di area itu mencapai 4.103.975 jiwa.

Selain itu, terdapat infrastruktur transportasi sebanyak 11 pelabuhan, 21 terminal, 2 stasiun, 237 ruas jalan provinsi sepanjang 652,3 km, 31 ruas jalur kereta api dengan panjang 83,3 km, dan 15 ruas jalan tol sepanjang 20,1 km. (rel/ila)

ist
MEMERIKSA: Pekerja PLTA Batangtoru saat memeriksa bangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batangtoru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara (Sumut), didesain tahan gempa.

SUMUTPOS.CO – Rancangan bangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batangtoru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara (Sumut), didesain tahan gempa.

Kajian menyeluruh yang merujuk pada ketentuan internasional untuk mitigasi risiko gempa sudah selesai dilakukan pengembang PLTA Batang toru sejak 2017.

Tenaga Ahli PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE), Didiek Djawadi, menyatakan, kajian kegempaan merupakan bagian terpenting bagi proyek PLTA. Proses survei yang dilakukan menyangkut berbagai detail, termasuk mempertimbangkan fakta ada sesar di kawasan Batangtoru.”Setiap detail terkait mitigasi risiko kegempaan sangat kita perhatikan,” kata Didiek di Medan, Minggu (13/1).

Aspek kegempaan ini, kata Didiek, sudah disampaikan terbuka dalam banyak kesempatan, baik even nasional, maupun di tingkat Sumut. Terakhir, pada saat diskusi “Dinamika Tektonik & Potensi Bahaya Gempa Segmen Toru, Khususnya PLTA Batangtoru” di Medan, yang dilaksanakan oleh Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung, bulan lalu. Diskusi itu dihadiri sejumlah pemangku kepentingan, akademisi, dan juga kelompok-kelompok masyarakat.

Didiek menjelaskan, proses survei yang dilakukan dalam serangkaian tahapan waktu tersebut, diselesaikan pada Maret 2017. Pada pokoknya, kajian yang dilakukan dan rekomendasi yang dihasilkan, merujuk pada berbagai ketentuan nasional dan internasional.

Didiek menekankan, adalah keliru jika menyangka pembangunan proyek sebesar PLTA tidak dilandasi kajian kegempaan. Justru aspek ini sangat serius ditangani, dan melibatkan ahli berkompeten untuk itu.

Kajian tidak hanya sebatas sesar aktif yang ada di Batangtoru, melainkan, meng kompilasi data kegempaan hingga radius 500 kilometer dari lokasi pembangunan PLTA. Baik data dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), United States Geological Survey (USGS) dan lembaga lainnya.

Kombinasi analisa kejadian gempa sebelumnya dan survei termutahir, itulah yang menjadi kesimpulan tim ahli. Rekomendasi yang disampaikan sangat mempertimbangkan kemampuan bangunan menerima efek dari potensi gempa itu sendiri.

“Itu yang harus kita analisis, bagaimana membuat suatu bangunan yang tidak runtuh oleh gempa. Sehingga baik dari struktur, beton, jenis tipenya itu semua harus terukur,” kata Didiek, yang juga anggota Pusat Studi Gempa Bumi Nasional (PuSGeN).

Wilayah yang berada di dekat sesar bumi aktif tetap bisa dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur. Namun diperlukan penguatan bangunan dengan perlakuan teknik sipil sebagai mitigasi terjadinya aktivitas geologi.

Sesuai standar

Secara terpisah, Ketua Umum Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sukmandaru Prihatmoko menyatakan, hampir seluruh wilayah Indonesia ada patahan (sesar) bumi aktif, kecuali di Kalimantan. Ini berarti pembangunan infrastruktur harus mendapat perlakuan khusus untuk meminimalisasi risiko jika terjadi aktivitas geologi seperti gempa. “Ada pekerjaan enginering yang lebih. Misalnya penguatan bangunan secara teknis sipil,” katanya.

Menurut Sukmandaru, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah merilis beberapa Standard Nasional Indonesia (SNI) dan kode bangunan yang harus diikuti sehingga memiliki ketahanan gempa sampai skala tertentu. “Memang ini akan berdampak pada biaya yang lebih tinggi, tapi mesti kita ikuti,” katanya.

Dia memberi contoh pada pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta di Kulonprogo yang kini sedang dibangun pemerintah. Bandara tersebut dekat dengan patahan yang berada di Laut Selatan Jawa sehingga berpotensi menghadapi gempa dan tsunami. Pembangunan tetap bisa dilaksanakan sepanjang menyiapkan mitigasi risiko jika gempa dan tsunami terjadi. “Jadi bangunannya harus ramah tsunami. Misalnya, orientasi bangunannya akan mengalirkan gelombang sehingga tetap aman,” katanya.

Dia menyatakan, bangsa Indonesia bisa belajar dari Jepang yang sudah sangat memperhitungkan potensi bencana geologis dalam kebijakannya. Berbekal perhitungan tersebut, Jepang tetap bisa membangun berbagai infrastruktur.

Ditanya soal berapa jarak aman wilayah yang bisa dibangun jika ada patahan yang mencuat ke permukaan (rupture), Sukamandaru menyatakan, pada garis patahan seperti yang ada di Palu-Koro, Sulawesi Tengah, jelas tidak bisa dimanfatkan untuk bangunan. Namun banyak pendapat pakar terkait jarak dari garis patahan yang masuk wilayah aman (buffer zone)

Dia mencontohkan, di San Adreas, salah satu kota paling rawan gempa di Amerika Serikat, bangun bahkan bisa dibangun dengan jarak 15 meter dari garis patahan. Namun dia mengingatkan, bangunan yang dibangun tetap harus memenuhi kualifikasi ketahanan gempa.

Sukamandaru juga mengingatkan, selain ketahan gempa, yang juga harus dipersiapakan dalam mitigasi bencana geologis adalah manusia yang hidup dan bekerja di wilayah tersebut. Untuk itu, pengetahuan mitigasi bencana harus terus menerus disampaikan. “Manusianya juga harus disadarkan kalau hidup dan bekerja di daerah rawan gempa dan tsunami. Jadi kalau ada gejala atau peringatan dari pemerintah, sudah siap,” katanya,

Pemasangan Tanda Bahaya

Terkait dengan mitigasi risiko bencana di jalur sesar yang telah diidentifikasi, sebelumnya Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo menyatakan, ada rencana pemerintah untuk memberikan peringatan ke publik. Bentuknya antara lain dengan memasang tanda-tanda bahaya.

“Tugas pemerintah untuk memberi peringatan agar tidak lagi disalahkan kalau terjadi bencana. Suka tidak suka, masyarakat harus tahu risikonya. Berikutnya ke depan harus ada penataan ruang berbasis risiko bencana ini,” kata Doni Monardo kepada wartawan di Sukabumi, Jawa Barat, Jumat (11/1).

Secara nasional, jumlah sesar baru yang ditemukan sebanyak 295 zona. Hasil penelitian Pusgen menunjukkan, di area satu kilometer jalur patahan aktif di Indonesia terdapat 2.892 bangunan sekolah, 40 rumah sakit, 126 puskesmas, dan jumlah penduduk di area itu mencapai 4.103.975 jiwa.

Selain itu, terdapat infrastruktur transportasi sebanyak 11 pelabuhan, 21 terminal, 2 stasiun, 237 ruas jalan provinsi sepanjang 652,3 km, 31 ruas jalur kereta api dengan panjang 83,3 km, dan 15 ruas jalan tol sepanjang 20,1 km. (rel/ila)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/