30 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Menjenguk Bocah Penderita Hydrosefalus di Langkat, Demi Kesembuhan, Nur Syifa Tiga Kali Ganti Nama

Teddy Akbari/SUMUT POS
PANGKU: Suherni memangku putra bungsunya Nur Syifa saat ditemui di kediamannya, di Sei Bingai, Langkat

LANGKAT, SUMUTPOS.CO – 21 November 2015 lalu, Suherni (33) melahirkan putra keduanya. Bayi mungil yang dilahirkan istri Tumirin (39) dengan cara normal. Namun saat usianya beranjak ke-36 hari, bagian kepala mengalami pembesaran karena kelebihan cairan.

Bungsu dari dua bersaudara ini semula diberi nama Aska Syamil. Seperti umumnya setiap bayi. Ketika berada di dunia, hanya bisa menangis. Bahkan selama dalam kandungan 9 bulan, sang ibu tidak ada mengeluhkan hal apapun.

Bahkan, sang ibu juga bekerja seperti biasa. “Tidak ada keluhan yang bagaimana-bagaimana saya. Biasa saja. Hamil tua juga enggak ada rasa sakit,” ujar Suherni menceritakan kepada wartawan di kediamannya, Jalan Pasar Pinter, Gang Pioner, Dusun V, Desa Purwobinangun, Sei Bingai, Langkat, Senin (25/3) petang.

Selama 9 bulan dalam kandungan, Suherni tidak membawanya ke USG untuk melihat perkembangannya. Sebab, sambung Suherni, saat mengandung anak pertama pun tidak melakukan hal serupa.

“Karena nampak sehat. Apa yang dikeluhkan. Lahirnya juga normal di rumah. Sama seperti dengan abangnya (anak pertama),” ujar dia.

Saat mata Aska melihat dunia, hanya bisa menangis. Bahkan, menangis terus menerus. Suherni pun, membawa buah hatinya untuk berobat kampung.

“Setelah berobat kampung pada 36 hari setelah itu (lahiran), sudah tidak nangis lagi. Namun dari situ mulanya, urat kepala terlihat,” kata Suherni.

Karena hal tersebut, kata Suherni, mendapat saran dari seorang kakek-kakek yang mengobati buah hatinya. Saran dimaksud, yakni merubah nama buah hatinya.

Suherni hanya bisa manggut. Dia menuruti hingga akhirnya Aska Samil ditabalkan namanya menjadi Nasib. Alasan menuruti agar berubah nasib buah hatinya.

Namun apa daya. Buah hatinya malah kian nelangsa. Pada usia 3 bulan, buah hatinya sempat dibawa ke RS Raskita di Tanahseribu, Binjai Selatan. Oleh rumah sakit swasta ini, dirujuk ke RSUD Djoelham Binjai.

“Waktu di Djoelham dilihat oleh dokter anak, ada cairan di kepalanya. Dokter itu merujuknya ke Adam Malik. Ada 4 kali dibawa ke RS Adam Malik. Dokter saraf bilang enggak bisa dioperasi. Tulang otaknya enggak terbentuk,” kata Suherni.

Karena tumpukan cairan, kepalanya membesar yang disebut Hydrosefalus. Kedatangan Sumut Pos disambut hangat. Waktu tempuh yang dilahap dari Binjai menuju rumah Suherni hanya sekitar 20 menit.

Nasib yang kini ditabalkan namanya menjadi Nur Syifa, saat itu tengah terbaring lemah. Syifa sedang diayun oleh neneknya. Kondisi kepalanya lebih besar dari tubuh yang menopangnya. Dia juga tidak rewel seperti balita biasanya. Namun, Syifa kini tidak tumbuh seperti balita lainnya.

Kakinya kecil. Begitu juga dengan tangan. Sudah 3 tahun kondisi Syifa begini tanpa mendapat perhatian dari Pemerintah Kecamatan Sei Bingai, maupun Pemerintah Kabupaten Langkat.

Meski demikian, Suherni dan Tumirin tetap bertekad dapat mengembalikan Syifa seperti balita seperti biasa. Sejumlah rumah sakit yang ada di Kota Rambutan sudah disinggahinya. Namun tak menunjukkan hasil.

Buntutnya, Suherni membawa Syifa dengan pengobatan medis kampung. “Obat kampung yang campuran dari tumbuh-tumbuhan. Mudah-mudahan jodoh lah sama obat ini. Ada juga dikasih obat ?herbal yang diminum, tapi belum saya kasih,” ujar dia.

“Kami memang berobat jalan sendiri. Inisiatif sendiri saja. Dari bidang juga enggak ada bawa kemana-mana,” ujar Suherni.

Saat usia 3 bulan pun demikian. Dokter RS Adam Malik tak menyarankan untuk dioperasi. Malah, kata Suherni, Syifa diminta untuk dibawa pulang saja. “Sudah kasep kata dokter,” kenang Suherni sembari mengusap air matanya yang jatuh.

Obrolan mengalir. Sekali-sekali, Suherni mengajak Syifa mengobrol. Tapi tatapan mata Syifa seperti kosong. Suherni menyemangati Syifa agar dapat normal seperti balita biasanya. “Dokter malah bilang enggak ada yang bagus. Ngomongnya pahit. Di Bidadari (Rumah Sakit), paling pahit. Gizi buruh lagi ditambah,” ujar dia. Syifa pun tak menjalani operasi karena tubuhnya tak fit. Kulit kepalanya merah. Kata Suherni, itu adalah luka. “Kulit harus sehat kalau mau dioperasi,” ujar dia.

Tak lama, ayah Syifa datang duduk yang turut ikut mengobrol. Tumirin baru gabung setelah bekerja sebagai buruh petani. Dia berambisi agar Syifa dapat sembuh.

“Insyaallah anak kami sembuh. Mohon doanya. Kalau sembuh nanti kami mau buat nasi urap dan kenduri. Among-among,” tandas Suherni. (*)

Teddy Akbari/SUMUT POS
PANGKU: Suherni memangku putra bungsunya Nur Syifa saat ditemui di kediamannya, di Sei Bingai, Langkat

LANGKAT, SUMUTPOS.CO – 21 November 2015 lalu, Suherni (33) melahirkan putra keduanya. Bayi mungil yang dilahirkan istri Tumirin (39) dengan cara normal. Namun saat usianya beranjak ke-36 hari, bagian kepala mengalami pembesaran karena kelebihan cairan.

Bungsu dari dua bersaudara ini semula diberi nama Aska Syamil. Seperti umumnya setiap bayi. Ketika berada di dunia, hanya bisa menangis. Bahkan selama dalam kandungan 9 bulan, sang ibu tidak ada mengeluhkan hal apapun.

Bahkan, sang ibu juga bekerja seperti biasa. “Tidak ada keluhan yang bagaimana-bagaimana saya. Biasa saja. Hamil tua juga enggak ada rasa sakit,” ujar Suherni menceritakan kepada wartawan di kediamannya, Jalan Pasar Pinter, Gang Pioner, Dusun V, Desa Purwobinangun, Sei Bingai, Langkat, Senin (25/3) petang.

Selama 9 bulan dalam kandungan, Suherni tidak membawanya ke USG untuk melihat perkembangannya. Sebab, sambung Suherni, saat mengandung anak pertama pun tidak melakukan hal serupa.

“Karena nampak sehat. Apa yang dikeluhkan. Lahirnya juga normal di rumah. Sama seperti dengan abangnya (anak pertama),” ujar dia.

Saat mata Aska melihat dunia, hanya bisa menangis. Bahkan, menangis terus menerus. Suherni pun, membawa buah hatinya untuk berobat kampung.

“Setelah berobat kampung pada 36 hari setelah itu (lahiran), sudah tidak nangis lagi. Namun dari situ mulanya, urat kepala terlihat,” kata Suherni.

Karena hal tersebut, kata Suherni, mendapat saran dari seorang kakek-kakek yang mengobati buah hatinya. Saran dimaksud, yakni merubah nama buah hatinya.

Suherni hanya bisa manggut. Dia menuruti hingga akhirnya Aska Samil ditabalkan namanya menjadi Nasib. Alasan menuruti agar berubah nasib buah hatinya.

Namun apa daya. Buah hatinya malah kian nelangsa. Pada usia 3 bulan, buah hatinya sempat dibawa ke RS Raskita di Tanahseribu, Binjai Selatan. Oleh rumah sakit swasta ini, dirujuk ke RSUD Djoelham Binjai.

“Waktu di Djoelham dilihat oleh dokter anak, ada cairan di kepalanya. Dokter itu merujuknya ke Adam Malik. Ada 4 kali dibawa ke RS Adam Malik. Dokter saraf bilang enggak bisa dioperasi. Tulang otaknya enggak terbentuk,” kata Suherni.

Karena tumpukan cairan, kepalanya membesar yang disebut Hydrosefalus. Kedatangan Sumut Pos disambut hangat. Waktu tempuh yang dilahap dari Binjai menuju rumah Suherni hanya sekitar 20 menit.

Nasib yang kini ditabalkan namanya menjadi Nur Syifa, saat itu tengah terbaring lemah. Syifa sedang diayun oleh neneknya. Kondisi kepalanya lebih besar dari tubuh yang menopangnya. Dia juga tidak rewel seperti balita biasanya. Namun, Syifa kini tidak tumbuh seperti balita lainnya.

Kakinya kecil. Begitu juga dengan tangan. Sudah 3 tahun kondisi Syifa begini tanpa mendapat perhatian dari Pemerintah Kecamatan Sei Bingai, maupun Pemerintah Kabupaten Langkat.

Meski demikian, Suherni dan Tumirin tetap bertekad dapat mengembalikan Syifa seperti balita seperti biasa. Sejumlah rumah sakit yang ada di Kota Rambutan sudah disinggahinya. Namun tak menunjukkan hasil.

Buntutnya, Suherni membawa Syifa dengan pengobatan medis kampung. “Obat kampung yang campuran dari tumbuh-tumbuhan. Mudah-mudahan jodoh lah sama obat ini. Ada juga dikasih obat ?herbal yang diminum, tapi belum saya kasih,” ujar dia.

“Kami memang berobat jalan sendiri. Inisiatif sendiri saja. Dari bidang juga enggak ada bawa kemana-mana,” ujar Suherni.

Saat usia 3 bulan pun demikian. Dokter RS Adam Malik tak menyarankan untuk dioperasi. Malah, kata Suherni, Syifa diminta untuk dibawa pulang saja. “Sudah kasep kata dokter,” kenang Suherni sembari mengusap air matanya yang jatuh.

Obrolan mengalir. Sekali-sekali, Suherni mengajak Syifa mengobrol. Tapi tatapan mata Syifa seperti kosong. Suherni menyemangati Syifa agar dapat normal seperti balita biasanya. “Dokter malah bilang enggak ada yang bagus. Ngomongnya pahit. Di Bidadari (Rumah Sakit), paling pahit. Gizi buruh lagi ditambah,” ujar dia. Syifa pun tak menjalani operasi karena tubuhnya tak fit. Kulit kepalanya merah. Kata Suherni, itu adalah luka. “Kulit harus sehat kalau mau dioperasi,” ujar dia.

Tak lama, ayah Syifa datang duduk yang turut ikut mengobrol. Tumirin baru gabung setelah bekerja sebagai buruh petani. Dia berambisi agar Syifa dapat sembuh.

“Insyaallah anak kami sembuh. Mohon doanya. Kalau sembuh nanti kami mau buat nasi urap dan kenduri. Among-among,” tandas Suherni. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/