26 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Hapus Buku Lahan Eks HGU PTPN II Picu Konflik, Kelompok Tani: Harus Dikaji Ulang dan Direvisi

ist
SERAHKAN:Kelompok Tani Sada Nioga Desa Lau Bekeri, Kutalimbaru, Deliserdang menyerahkan dokumen kepada Ketua JPKP Sumut, Trieyanto Sitepu sebagai pendamping penyelesaian lahan eks HGU PTPN 2.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kebijakan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumut terkait proses penghapusbukuan 2.216 hektare aset eks Hak Guna Usaha (HGU) PTPN II khususnya di Deli Serdang, Binjai, dan Langkat dinilai memicu konflik masyarakat. Untuk itu, kebijakan tersebut harus segera dikaji ulang dan direvisi.

Wakil Ketua Kelompok Tani Sada Nioga Desa Lau Bekeri, Kutalimbaru, Deli Serdang, Marlan Sinulingga menyatakan, kebijakan penghapusbukuan tersebut jelas sangat tidak terima. “Kami sangat tidak setuju, dari mana pula uang kami membayarnya. Kalau dibayar ke PTPN II, apa hak mereka sementara kami sudah menguasai sejak zaman Belanda. Lahan itu merupakan peninggalan nenek moyang kami, tapi kok disuruh pula membayar,” kata Marlan bersama Yusuf Sembiring (Sekretaris Kelompok Tani Sada Nioga) dan Jaringan Pendamping Kebijakan Pembangunan (JPKP) Sumut, di Kantor Sekretariat DPW JPKP Sumut Komplek Griya Sakinah, Percut Seituan, kemarin.

Diutarakan Marlan, sesuai SK Gubernur Sumut Nomor 168 Tahun 1980, lahan yang diduduki kelompoknya seluas 112 hektare telah diberikan kepada masyarakat, bukan kepada yang lain. “Apakah hukum itu berlaku surut, artinya ketika dikeluarkan SK Gubernur Sumut, lantas keluar kebijakan baru dari BPN Sumut maka tidak berlaku lagi? Jadi kalau masyarakat tidak mampu membayar bagaimana, apa diusir? Mestinya, ada solusi yang pro kepada rakyat. Kalau kebijakan BPN Sumut tetap dipertahankan, maka menimbulkan konflik berkepanjangan yang tidak akan selesai. Terus terjadi bentrok fisik yang mengakibatkan korban luka dan korban jiwa,” ungkapnya sembari mengatakan, di mana keberpihakan pemerintah kepada rakyat.

Dia menegaskan, apabila sudah hapus buku jangan pula dibebankan membayar lagi. Tapi, ini tidak karena kebijakan BPN Sumut untuk hapus buku tetap membayar.

Diceritakan Marlan, awalnya lahan yang mereka kuasai berjumlah sekitar 1.100 hektare. Kemudian, berkurang dan terus menyusut dari 900 hektare, 822 hektare hingga 112 hektare. “Masyarakat sudah menguasai dari zaman Belanda. Setelah Belanda angkat kaki dari tanah air, Presiden RI Soekarno menginstruksikan bahwa perkebunan yang dikuasai Belanda harus diduduki. Artinya, kuasai lahan dan kerjakan sesuai dengan kemampuan masing-masing, salah satunya lahan di Desa Lau Bekeri sejak tahun 1945,” paparnya.

Setelah berganti tahun, sambung Marlan, pemerintah di Sumut ingin mengembangkan provinsi ini dan dibentuklah PT Serat yang bergerak di bidang perkebunan. Ketika terbentuk PT Serat, ternyata persoalan di lapangan belum selesai. Masyarakat mau diusir dari lahan yang dikuasainya tanpa ganti rugi, tentu tidak mungkin. Akhirnya, terjadi bentrok fisik sehingga PT Serat gagal dalam mengelola.

Oleh karenanya, dialihfungsikan dan dibentuk PTPN IX (sekarang PTPN II). Namun, masyarakat tetap menguasai lahan dan tidak bisa diusir. Setelah 1965 dan pecahnya momen G30 S PKI, direbut paksalah tanah yang dikuasai warga seluas 822 hektare. “Siapa yang bertahan dituduh PKI pada saat itu di Desa Lau Bekeri. Dulunya, ada 7 desa namun digabungkan menjadi 1 desa. Akan tetapi, masyarakat tetap menuntut namun tak berhasil,” terangnya.

Ia melanjutkan, pada 1979, PTPN IX mengusulkan HGU diperpanjang. Namun, berdasarkan petunjuk Gubernur Sumut saat itu, Edward Waldemar Pahala Tambunan, untuk dibatalkan. Artinya, HGU tersebut tidak jadi diperpanjang dan keluarlah SK Gubernur Sumut Nomor 168 Tahun 1980. SK tersebut diperuntukkan untuk Desa Lau Bekeri dan Desa Sampecita Kecamatan Kutalimbaru dengan jumlah 12 desa. Tapi, sampai sekarang haknya tidak pernah didapat atau tidak jelas.

“Sudah dipertanyakan ke BPN Deli Serdang, Sumut dan pusat, tetapi tidak ada tanggapan atau solusi yang jelas hingga saat ini. Makanya, kami mengusulkan kepada Presiden RI Jokowi melalui Kepala Staf Kepresidenan agar diperhatikan untuk diberikan hak legalitasnya atas pengusaan lahan,” sebutnya.

Disinggung apakah lahan yang dikuasai berada dalam 2.216 hektare, Marlan tidak mengetahui pasti. Sebab, sampai sekarang pemerintah baik pusat maupun daerah belum menjelaskan apa memang termasuk atau tidak. Padahal, sejak tahun 1979-1980 sudah dihapusbuku tetapi tak kembali pada masyarakat lahan seluas 822 hektare. Hanya tersisa, 112 hektare.

“Warga Desa Lau Bekeri yang pribumi dan mengelola sejak zaman Belanda tidak kebagian seluruhnya. Jadi, yang kebagian adalah PT Panca Jaya (pengembang perumahan) dan warga hanya kebagian sisanya 112 hektare. Namun, ketika kami klaim ternyata sampai sekarang legalitasnya tidak ada. Sudah diurus tetapi tidak bisa dikeluarkan suratnya, namun kami yang menguasai secara fisiknya,” jelasnya.

Parahnya, Pemprovsu mengklaim lahan 112 hektare yang dikuasai warga milik mereka. Ketika itu, gubernurnya Raja Inal Siregar. Lalu, dibentuknya Yayasan Karya Darma dan kemudian dialihkan kepada PT Panca Jaya yang dibangun perumahan pada 1995-1996.

“Walau kita yang menguasai tetapi mereka tetap mengklaim miliknya, sehingga sering terjadi bentrok fisik hingga mengakibatkan korban luka bahkan korban jiwa melayang. Kami mempertanyakan, siapa yang bisa menyelesaikan persoalan ini? Makanya, kami mohon kepada Presiden RI melalui Kelapa Staf Kepresidenan yang berharap hak kami diberikan,” tukasnya.

Sementara, Ketua JPKP Sumut, Trieyanto Sitepu mengkritik kebijakan penghapusan buku lahan eks HGU PTPN 2 tersebut. Berdasarkan Undang Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 33 ayat 3, disebutkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan UU Nomor 5/1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agrariapasal 2 menyatakan, atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Dari kedua aturan tersebut, dapat diartikan tidak ada istilah tanah milik negara. Namun, yang ada adalah tanah dikuasai oleh negara.

“Dikuasai dengan dimiliki itu berbeda. Jadi, kami menilai dari dua aturan tersebut bahwa tanah eks HGU adalah tanah milik negara bukan Menteri BUMN,” kata Trieyanto.

Lebih lanjut dia mengatakan, berdasarkan UU Nomor 1/2004 Tentang Perbendaharaan Negara pasal 49 ayat 2 yaitu barang milik negara harus dilengkapi dengan status kepemilikan. Kemudian, pasal 57 ayat 1 dan 2, serta Peraturan Pemerintah Nomor 40/1996 Tentang HGU, bahwa pemegang HGU berkewajiban untuk menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan HGU kepada negara sudah HGU hapus. Dan, menyerahkan sertifikat HGU yang sudah dihapus tersebut kepada kepala Kantor Pertanahan. Dari sini artinya, ketika PTPN II telah habis masa HGU-nya maka secara serta merta harus dikembalikan kepada negara sertifikatnya.

“Jadi, kalau dianggap sebagai aset negara maka tidak mungkin lagi tanah yang HGU-nya sudah dikembalikan kepada negara masih dianggap sebagai aset. Hal ini juga melihat dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Kalau aset itu sudah ada status kepemilikan,” sebut Trieyanto.

Ia mengkritik mengapa dalam diktum ketiga dan keempat kebijakan Kepala BPN Nomor 42, 43, 44 Tahun 2002 serta SK Kepala BPN Nomor 10 Tahun 2004 yang menyatakan, menyerahkan pengaturan penguasaan, pemilikan, pemanfaatan penggunaan tanah HGU kepada gubernur dan selanjutnya diproses sesuai ketentuan berlaku untuk memperoleh izin pelepasan Menteri BUMN.

“Kalau dikatakan izin pelepasan aset dari Menteri BUMN, maka berarti terkesan mengenyampingkan pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Bagaimana mungkin, misalnya saya menyerahkan HGU kepada si A selama 25 tahun. Lalu, sesudah berakhir maka dimintakan izin pelepasan aset kepada Menteri BUMN,” jabarnya.

Oleh karena itu, tegas Trieyanto, setelah proses Pemilu 2019 pada 17 April mendatang selesai, maka akan menyatakan sikap kepada Presiden RI untuk melakukan peninjauan kembali atas diktum ketiga dan keempat SK Kepala BPN Nomor 42, 43, 44 Tahun 2002 serta, SK Kepala BPN Nomor 10 Tahun 2004. Hal ini terkait adanya izin pelepasan aset dari Menteri BUMN atas tanah yang dikuasai negara.

“Berdasarkan UU Nomor 14/2014 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), kita mau tahu mana saja batasan wilayah aset PTPN II. Kita tidak tahu aset-aset milik perusahaan negara tersebut. Kita minta ini transparan atau disampaikan secara jelas. Kalau berdasarkan data nominatif, maka patut dipertanyakan nominatif atau masyarakat yang mana. Selain itu, lahan eks HGU seluas 2.216 hektare yang disampaikan kepala BPN Sumut telah mendapat persetujuan penghapusbukuan dari Menteri BUMN selaku pemegang saham. Begitu juga lahan eks HGU seluas 3.300 hektare akan ditata kembali,” cetusnya.

Dia menambahkan, negara harus adil dan pro kepada rakyat dalam persoalan lahan eks HGU PTPN II. “Kita khawatir akan timbul konflik berkepanjangan apabila kebijakan Kepala BPN Sumut tetap diberlakukan. Buktinya, sudah ada korban jiwa akibat konflik lahan tersebut, dan jangan sampai terjadi lagi kondisi seperti ini,” tandasnya. (azw)

ist
SERAHKAN:Kelompok Tani Sada Nioga Desa Lau Bekeri, Kutalimbaru, Deliserdang menyerahkan dokumen kepada Ketua JPKP Sumut, Trieyanto Sitepu sebagai pendamping penyelesaian lahan eks HGU PTPN 2.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kebijakan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumut terkait proses penghapusbukuan 2.216 hektare aset eks Hak Guna Usaha (HGU) PTPN II khususnya di Deli Serdang, Binjai, dan Langkat dinilai memicu konflik masyarakat. Untuk itu, kebijakan tersebut harus segera dikaji ulang dan direvisi.

Wakil Ketua Kelompok Tani Sada Nioga Desa Lau Bekeri, Kutalimbaru, Deli Serdang, Marlan Sinulingga menyatakan, kebijakan penghapusbukuan tersebut jelas sangat tidak terima. “Kami sangat tidak setuju, dari mana pula uang kami membayarnya. Kalau dibayar ke PTPN II, apa hak mereka sementara kami sudah menguasai sejak zaman Belanda. Lahan itu merupakan peninggalan nenek moyang kami, tapi kok disuruh pula membayar,” kata Marlan bersama Yusuf Sembiring (Sekretaris Kelompok Tani Sada Nioga) dan Jaringan Pendamping Kebijakan Pembangunan (JPKP) Sumut, di Kantor Sekretariat DPW JPKP Sumut Komplek Griya Sakinah, Percut Seituan, kemarin.

Diutarakan Marlan, sesuai SK Gubernur Sumut Nomor 168 Tahun 1980, lahan yang diduduki kelompoknya seluas 112 hektare telah diberikan kepada masyarakat, bukan kepada yang lain. “Apakah hukum itu berlaku surut, artinya ketika dikeluarkan SK Gubernur Sumut, lantas keluar kebijakan baru dari BPN Sumut maka tidak berlaku lagi? Jadi kalau masyarakat tidak mampu membayar bagaimana, apa diusir? Mestinya, ada solusi yang pro kepada rakyat. Kalau kebijakan BPN Sumut tetap dipertahankan, maka menimbulkan konflik berkepanjangan yang tidak akan selesai. Terus terjadi bentrok fisik yang mengakibatkan korban luka dan korban jiwa,” ungkapnya sembari mengatakan, di mana keberpihakan pemerintah kepada rakyat.

Dia menegaskan, apabila sudah hapus buku jangan pula dibebankan membayar lagi. Tapi, ini tidak karena kebijakan BPN Sumut untuk hapus buku tetap membayar.

Diceritakan Marlan, awalnya lahan yang mereka kuasai berjumlah sekitar 1.100 hektare. Kemudian, berkurang dan terus menyusut dari 900 hektare, 822 hektare hingga 112 hektare. “Masyarakat sudah menguasai dari zaman Belanda. Setelah Belanda angkat kaki dari tanah air, Presiden RI Soekarno menginstruksikan bahwa perkebunan yang dikuasai Belanda harus diduduki. Artinya, kuasai lahan dan kerjakan sesuai dengan kemampuan masing-masing, salah satunya lahan di Desa Lau Bekeri sejak tahun 1945,” paparnya.

Setelah berganti tahun, sambung Marlan, pemerintah di Sumut ingin mengembangkan provinsi ini dan dibentuklah PT Serat yang bergerak di bidang perkebunan. Ketika terbentuk PT Serat, ternyata persoalan di lapangan belum selesai. Masyarakat mau diusir dari lahan yang dikuasainya tanpa ganti rugi, tentu tidak mungkin. Akhirnya, terjadi bentrok fisik sehingga PT Serat gagal dalam mengelola.

Oleh karenanya, dialihfungsikan dan dibentuk PTPN IX (sekarang PTPN II). Namun, masyarakat tetap menguasai lahan dan tidak bisa diusir. Setelah 1965 dan pecahnya momen G30 S PKI, direbut paksalah tanah yang dikuasai warga seluas 822 hektare. “Siapa yang bertahan dituduh PKI pada saat itu di Desa Lau Bekeri. Dulunya, ada 7 desa namun digabungkan menjadi 1 desa. Akan tetapi, masyarakat tetap menuntut namun tak berhasil,” terangnya.

Ia melanjutkan, pada 1979, PTPN IX mengusulkan HGU diperpanjang. Namun, berdasarkan petunjuk Gubernur Sumut saat itu, Edward Waldemar Pahala Tambunan, untuk dibatalkan. Artinya, HGU tersebut tidak jadi diperpanjang dan keluarlah SK Gubernur Sumut Nomor 168 Tahun 1980. SK tersebut diperuntukkan untuk Desa Lau Bekeri dan Desa Sampecita Kecamatan Kutalimbaru dengan jumlah 12 desa. Tapi, sampai sekarang haknya tidak pernah didapat atau tidak jelas.

“Sudah dipertanyakan ke BPN Deli Serdang, Sumut dan pusat, tetapi tidak ada tanggapan atau solusi yang jelas hingga saat ini. Makanya, kami mengusulkan kepada Presiden RI Jokowi melalui Kepala Staf Kepresidenan agar diperhatikan untuk diberikan hak legalitasnya atas pengusaan lahan,” sebutnya.

Disinggung apakah lahan yang dikuasai berada dalam 2.216 hektare, Marlan tidak mengetahui pasti. Sebab, sampai sekarang pemerintah baik pusat maupun daerah belum menjelaskan apa memang termasuk atau tidak. Padahal, sejak tahun 1979-1980 sudah dihapusbuku tetapi tak kembali pada masyarakat lahan seluas 822 hektare. Hanya tersisa, 112 hektare.

“Warga Desa Lau Bekeri yang pribumi dan mengelola sejak zaman Belanda tidak kebagian seluruhnya. Jadi, yang kebagian adalah PT Panca Jaya (pengembang perumahan) dan warga hanya kebagian sisanya 112 hektare. Namun, ketika kami klaim ternyata sampai sekarang legalitasnya tidak ada. Sudah diurus tetapi tidak bisa dikeluarkan suratnya, namun kami yang menguasai secara fisiknya,” jelasnya.

Parahnya, Pemprovsu mengklaim lahan 112 hektare yang dikuasai warga milik mereka. Ketika itu, gubernurnya Raja Inal Siregar. Lalu, dibentuknya Yayasan Karya Darma dan kemudian dialihkan kepada PT Panca Jaya yang dibangun perumahan pada 1995-1996.

“Walau kita yang menguasai tetapi mereka tetap mengklaim miliknya, sehingga sering terjadi bentrok fisik hingga mengakibatkan korban luka bahkan korban jiwa melayang. Kami mempertanyakan, siapa yang bisa menyelesaikan persoalan ini? Makanya, kami mohon kepada Presiden RI melalui Kelapa Staf Kepresidenan yang berharap hak kami diberikan,” tukasnya.

Sementara, Ketua JPKP Sumut, Trieyanto Sitepu mengkritik kebijakan penghapusan buku lahan eks HGU PTPN 2 tersebut. Berdasarkan Undang Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 33 ayat 3, disebutkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan UU Nomor 5/1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agrariapasal 2 menyatakan, atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Dari kedua aturan tersebut, dapat diartikan tidak ada istilah tanah milik negara. Namun, yang ada adalah tanah dikuasai oleh negara.

“Dikuasai dengan dimiliki itu berbeda. Jadi, kami menilai dari dua aturan tersebut bahwa tanah eks HGU adalah tanah milik negara bukan Menteri BUMN,” kata Trieyanto.

Lebih lanjut dia mengatakan, berdasarkan UU Nomor 1/2004 Tentang Perbendaharaan Negara pasal 49 ayat 2 yaitu barang milik negara harus dilengkapi dengan status kepemilikan. Kemudian, pasal 57 ayat 1 dan 2, serta Peraturan Pemerintah Nomor 40/1996 Tentang HGU, bahwa pemegang HGU berkewajiban untuk menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan HGU kepada negara sudah HGU hapus. Dan, menyerahkan sertifikat HGU yang sudah dihapus tersebut kepada kepala Kantor Pertanahan. Dari sini artinya, ketika PTPN II telah habis masa HGU-nya maka secara serta merta harus dikembalikan kepada negara sertifikatnya.

“Jadi, kalau dianggap sebagai aset negara maka tidak mungkin lagi tanah yang HGU-nya sudah dikembalikan kepada negara masih dianggap sebagai aset. Hal ini juga melihat dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Kalau aset itu sudah ada status kepemilikan,” sebut Trieyanto.

Ia mengkritik mengapa dalam diktum ketiga dan keempat kebijakan Kepala BPN Nomor 42, 43, 44 Tahun 2002 serta SK Kepala BPN Nomor 10 Tahun 2004 yang menyatakan, menyerahkan pengaturan penguasaan, pemilikan, pemanfaatan penggunaan tanah HGU kepada gubernur dan selanjutnya diproses sesuai ketentuan berlaku untuk memperoleh izin pelepasan Menteri BUMN.

“Kalau dikatakan izin pelepasan aset dari Menteri BUMN, maka berarti terkesan mengenyampingkan pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Bagaimana mungkin, misalnya saya menyerahkan HGU kepada si A selama 25 tahun. Lalu, sesudah berakhir maka dimintakan izin pelepasan aset kepada Menteri BUMN,” jabarnya.

Oleh karena itu, tegas Trieyanto, setelah proses Pemilu 2019 pada 17 April mendatang selesai, maka akan menyatakan sikap kepada Presiden RI untuk melakukan peninjauan kembali atas diktum ketiga dan keempat SK Kepala BPN Nomor 42, 43, 44 Tahun 2002 serta, SK Kepala BPN Nomor 10 Tahun 2004. Hal ini terkait adanya izin pelepasan aset dari Menteri BUMN atas tanah yang dikuasai negara.

“Berdasarkan UU Nomor 14/2014 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), kita mau tahu mana saja batasan wilayah aset PTPN II. Kita tidak tahu aset-aset milik perusahaan negara tersebut. Kita minta ini transparan atau disampaikan secara jelas. Kalau berdasarkan data nominatif, maka patut dipertanyakan nominatif atau masyarakat yang mana. Selain itu, lahan eks HGU seluas 2.216 hektare yang disampaikan kepala BPN Sumut telah mendapat persetujuan penghapusbukuan dari Menteri BUMN selaku pemegang saham. Begitu juga lahan eks HGU seluas 3.300 hektare akan ditata kembali,” cetusnya.

Dia menambahkan, negara harus adil dan pro kepada rakyat dalam persoalan lahan eks HGU PTPN II. “Kita khawatir akan timbul konflik berkepanjangan apabila kebijakan Kepala BPN Sumut tetap diberlakukan. Buktinya, sudah ada korban jiwa akibat konflik lahan tersebut, dan jangan sampai terjadi lagi kondisi seperti ini,” tandasnya. (azw)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/