MEDAN, SUMUTPOS.CO – Munculnya banyak komentar tentang pemahaman berbeda terkait aturan tentang permasalahan yang dihadapi nelayan menimbulkan polemik.
Dengan demikian, Sekretaris Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Sumut, Ali Mukti Siregar mengajak seluruh elemen nelayan agar bisa duduk bersama berdialog membahas kontroversi masalah Permen Kp 71/2016 tentang alat tangkap.
“Kita tahu, aturan itu banyak menimbulkan persoalan. Tapi, perlu diketahui mengenai zona tangkap yang meliputi 3 bagian yang ada dalam aturan itu. Jadi, jangan menimbulkan pendapat yang membuat polemik. Kita harus bisa duduk bersama untuk membahas,” katanya, Selasa (18/2)n
Menurutn Ali Mukti, zona tangkap yang dimaksud adalah, zona I yaitu dari bibir pantai sampai 4 mil, I-A yaitu dari bibir pantai sampai 2 mil dan I-B dari 2 mil sampai 4 mil, kemudian zona II yaitu diatas 4 mil serta zona III yaitu diatas 12 mil.
Begitu juga mengenai ukuran kapal ikan dibagi dengan ukuran Gross ton (GT). Ukuran ini adalah besaran kapal bukan mesinnya yang diatut sebagai berikut, 1 GT sampai 10 GT bebas melakukan penangkapan ikan sesuai WPP NRI dan untuk selat Malaka dan laut andaman WPP NRI nya adalah 571.
Kemudian 11 GT sampai 30 GT hanya boleh melakukan penangkapan ikan di atas 4 mil, selanjutnya 31 GT ke atas hanya boleh diatas 12 mil.
“Selagi semua sudah memenuhi unsur syarat dalam melaut, seperti penerbitan surat izin penangkapan ikan (SIPI), maka persoalan kapal yang melaut tidak menjadi masalah,” katanya.
Sejak Menteri Kelautan dan Perikanan dijabat Edy Prabowo, kata Ali Mukti, ada keinginan untuk merubah Permen KP 71/2016, namun belum terealisasi.
“Kami dari HNSI Sumut juga masih menunggu aturan yang akan diterbitkan oleh menteri, kami mohon kepada rekan – rekan pemerhati nelayan agar dapat membuat suasana sejuk. Kasihan nelayan kita yang sudah susah payah mencari makan demi menghidupi keluarga dgn menghadapi hujan, panas dan ombak yang merupakan tantangan yg selalu dihadapi nelayan,” ucap Ali Mukti.
Selain itu, katanya, terkait BBM nelayan, sudah jelas diatur bahwa BBM bersubsidi hanya dibolehkan untuk kapal ikan di bawah 30 GT. Pemerintah telah mengizinkan operasi beberapa penyalur bbm bersubsidi untuk nelayan APMS, SPDN, SPBN yang sekarang di selaraskan menjadi SPBU.
DPD HNSI Sumut, lanjutnya, sedang mendata sentral nelayan yang belum memiliki atau sudah ada, tapi tidak aktif SPBU Nelayan agar BPH Migas atau Pertamina dapat mencarikan solusi.
“Sekali lagi mohon kepada para pemerhati nelayan untuk dapat menyejukkan suasana demi nelayan kita. Dalam waktu dekat ini kita akan membuat dialog dengan instansi yang ada dan para pihak yang berkepentingan agar perbedaan pendapat dapat diselesaikan,” pungkasnya. (fac/ila)