Catatan: Sutomo Samsu
Meski para pejabat di Jakarta yang punya otoritas mengurusi penerbangan sudah menyatakan penerbangan sipil Bandara Polonia nantinya akan dialihkan ke Bandara Kualanamu, namun dari aspek yuridis tetap memunculkan celah untuk dipolemikkan. Tentu ini terkait dengan terbitnya Perpres Nomor 62 Tahun 2011 tertanggal 20 September 2011.
Bukan hanya lantaran bunyi Pasal 37 angka (2) Perpres tersebut. Namun ketentuan di pasal 17 dan pasal 18 Perpres tentang rencana tata ruang kawasan perkotaan (RTRK) Medan, Binjai, Deli Serdang dan Karo (Mebidangro) itu, juga mengandung pemahaman bahwa Polonia akan tetap dioperasikan meski nantinya Kualanamu sudah beroperasi.
Pasal 17 dan pasal 18 menempatkan bentuk kegiatan di Kota Medan dan Lubukpakam dalam posisi selevel dalam hal pelayanan transportasi udara.
Pasal 17 angka (2) Perpres mengatur mengenai pusat kegiatan di kawasan perkotaan di Kota Medan. Pada pasal 17 angka (2) huruf) (l) dinyatakan, “pusat pelayanan transportasi udara internasional dan nasional.”
Sedang pasal 18 angka (2) huruf (g) yang mengatur kegiatan di Kawasan Perkotaan Lubukpakam di Kabupaten Deliserdang, pada poin (8), dinyatakan, “pusat pelayanan transportasi udara internasional dan nasional.”
Tidakkah persandingan pasal 17 dan 18 itu berarti bahwa Polonia nantinya tetap menjadi bandara internasional selevel dengan Kualanamu?
Direktur Bandara Kemenhub, Bambang Cahyono, kepada koran ini di Jakarta, 30 November 2011 lalu, telah memastikan seluruh penerbangan sipil yang selama ini beroperasi di Bandara Polonia nantinya akan dipindahkan ke Bandara Kualanamu. Untuk TNI AU yang selama ini juga menggunakan Polonia sebagai pangkalan, boleh memilih apakah tetap di Polonia atau ikut pindah ke Kualanamu.
“Nantinya yang masih ada di Polonia itu cuman TNI AU, sebagai pangkalannya di situ. Tapi terserah TNI AU, mau ikut pindah atau tetap di situ,” kata Bambang.
Mengenai nasib Bandara Polonia saat Kualanamu beroperasi, Menhub mengungkapkan bahwa bandara Polonia akan ditutup begitu bandara baru itu beroperasi. Namun, kebijakan tersebut tidak akan dilakukan secara otomatis dengan selesainya pembangunan Kualanamu.Menteri Perhubungan EE Mangindaan juga memberikan penyataan senada, seperti diberitakan JPNN.com (grup Sumut Pos), Minggu (4/12). “Penutupan Polonia hanya akan dilakukan jika pembangunan Kualanamu telah selesai secara keseluruhan dan benar-benar layak diaktifkan,” tegas Mangindaan.
Yang menjadi pertanyaan, kuat manakah antara pernyataan Menhub dan direkturnya itu dengan aturan (Perpres)? Jika pernyataan keduanya jadi pegangan dan megaproyek Central Business District (CBD) di kawasan Polonia tetap dilanjutkan, bukan tidak mungkin kerugian investor makin besar jika dikemudian hari ternyata ada pihak yang membenturkan Perpres dengan proyek tersebut.
Seperti diberitakan sebelumnya, pasal yang juga rawan mengusik proyek CBD adalah pasal Pasal 37 angka 2 huruf (a) yang bunyinya, “bandar udara umum yaitu Bandar Udara Internasional Kualanamu di Kecamatan Pantai Labu dan Kecamatan Beringin Kabupaten Deliserdang dan Bandar Udara Internasional Polonia di Kecamatan Medan Polonia Kota Medan, yang berfungsi sebagai bandar udara pengumpul dengan skala pelayanan primer untuk pelayanan pesawat udara dengan rute penerbangan dalam negeri dan luar negeri, serta berfungsi sebagai pangkalan angkatan udara (LANUD).”
Anggota Komisi V DPR Ali Wongso Sinaga juga mengingatkan, kalau toh seluruh penerbangan sipil dalam dan luar negeri nantinya dialihkan ke Bandara Kualanamu dan Bandara Polonia hanya menjadi LANUD, tetap saja proyek CBD terancam. Alasannya, penerbangan TNI AU tetaplah mensyaratkan wilayah sekitar bandara harus menjamin keselamatan penerbangan.
“Masalah bangunan di sekitar bandara tetap harus diatasi agar menjamin keselamatan penerbangan. Kalau TNI AU tetap menggunakan Polonia, yang berarti ada pesawat keluar masuk, ya bangunan di sekitarnya tak boleh sembarangan,” ujar Ali Wongso Sinaga, 2 Desember 2011 lalu.
Perpres secara tegas juga menyatakan bahwa Peraturan Daerah (Perda) yang sudah ada harus menyesuaikan dengan ketentuan Perpres 62. Ketentuan ini diatur di Ketentuan Peralihan, yakni pasal 145 huruf (b) yang bunyinya, “peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah provinsi, peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota, dan peraturan daerah tentang rencana rinci tata ruang beserta peraturan zonasi yang bertentangan dengan Peraturan Presiden ini harus disesuaikan paling lambat dalam waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak Peraturan Presiden ini ditetapkan.”
Selanjutnya, Pasal 146 huruf (b) bunyinya, “izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan tetapi tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Presiden ini: 1. untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin terkait disesuaikan dengan fungsi kawasan dalam rencana tata ruang yang ditetapkan oleh pemerintah daerah berdasarkan Peraturan Presiden ini.”
Selanjutnya, pasal 146 huruf (b) angka (2), “Untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya, pemanfaatan ruang dilakukan sampai izin terkait habis masa berlakunya dan dilakukan penyesuaian dengan menerapkan rekayasa teknis sesuai dengan fungsi kawasan dalam rencana tata ruang dan peraturan zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah berdasarkan Peraturan Presiden ini”.
Di pasal yang sama huruf (b) angka (3), “untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya, dan tidak memungkinkan untuk menerapkan rekayasa teknis sesuai dengan fungsi kawasan dalam rencana tata ruang dan peraturan zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah berdasarkan Peraturan Presiden ini, atas izin yang telah diterbitkan dapat dibatalkan dan terhadap kerugian yang timbul sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat diberikan penggantian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” (*)