25 C
Medan
Tuesday, November 26, 2024
spot_img

Sidang Kasus Suap 14 Mantan DPRD Sumut, Hardi Mulyono: Saya Terima tapi Sudah Dikembalikan

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Hardi Mulyono selaku mantan anggota DPRD Sumut periode 2010-2014 mengaku telah mengembalikan uang ketok palu pengesahan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2013. Pernyataan itu disampaikan Hardi saat menjadi dalam kasus suap 14 mantan anggota DPRD Sumut periode 2009-2014, di Ruang Cakra 8 Pengadilan Tipikor Medan, Senin (8/2).

Ilustrasi

Diketahui, Hardi Mulyono merupakan salah satu anggota DPRD Sumut dari Fraksi Golkar waktu itu, yang menerima ‘uang ketok palu’ LPJP P-APBD dan tidak menjadi terdakwa, karena telah mengembalikan uang.

“Saya terima empat kali, tapi saya sudah kembalikan Rp170 juta. Terakhir saya kembalikan tahun 2020,” ujar Mulyono, menjawab penasihat hukum terdakwa.

“Apakah sudah semua (di kembalikan)?,” tanya Jonson Sibarani lagi. “Sebagian sudah pak,” jawabnya.

Terlebih, saat penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanyakan perihal pertemuan pengesahan ketok palu tahun 2013. Hardi Mulyono beralibi, mengaku mengetahui pengesahan itu dari rekan-rekannya sesama anggota DPRD Sumut.

“Waktu itu ada pembagian pihak eksekutif ke legislatif sesuai dengan jabatan. Ketua waktu itu Rp2 miliar, Wakil Ketua Rp1,5 miliar, anggota banggar Rp500 juta kalau tak salah saya, anggota Rp350 juta,” sebutnya.

Namun, saat disinggung jaksa KPK, siapa-siapa saja yang menerima, ia mengaku tak mengetahuinya. Hanya saja kata Hardi Mulyono, ia tahu dari M Alinafiah selaku bendahara dewan.

“Secara umum semuanya terima. Saya pernah terima Rp15 juta dari Alinafiah tahun 2014 di kantornya,” ujarnya.

Kemudian, lanjutnya, pada pengesahan APBD 2014, Hardi Mulyono menerima sebesar Rp50 juta lagi dari Alinafiah di ruang kerjanya. “Kami mendengar untuk pengesahan 2015 itu Rp200 juta. Saya tidak terima karena dikatakan Fuad Lubis, untuk Fraksi Golkar sudah diambil,” terangnya.

Dikatakannya, ia tidak menerima karena untuk tahun 2015, dirinya sudah tidak menjabat sebagai anggota DPRD Sumut. Iapun menyeret nama terdakwa Sudirman Halawa, sebagai salah yang menerima uang pengesahan tersebut.

“Darimana saudara tahu,” tanya jaksa KPK. “Apalagi kalau tidak uang ketok palu. Sudah bukan rahasia umum lagi itu,” jawab Hardi Mulyono.

Namun, ia menerima uang Rp50 juta dari Sudirman Halawa, setelah tidak lagi menjabat. Ia mengaku tak pernah melihat berupa bukti ataupun catatan, yang menerima uang ketok palu itu. Terlebih saat disinggung, apakah pemberian uang itu berdasarkan perintah Alinafiah. “Berdasarkan pengesahan itu, semua menerima. Tidak dikasih tau pun, saya sudah tau itu dari provinsi. Diakan sebagai penyalur,” ujarnya.

Hakim Ketua Immanuel Tarigan kemudian menyinggung peran dari Kamaluddin Harahap selaku Wakil Ketua DPRD Sumut waktu itu, yang disebut sebagai inisiator ketok palu.

“Yang saya tau inisiasi dari pimpinan, yang diwakili kelima pimpinan. Kalau mandat dari anggota tidak pernah, sudah berlaku umum jika ada pengesahan selalu ada uang ketok palu. Itu antara pimpinan dengan pihak pemprov,” bebernya.

Namun saat dikonfrontir keterangan Hardi Mulyono dengan para terdakwa, dibantah terdakwa Sudirman Halawa. “Saya bantah apa yang dibilang beliau, dalam BAP saya itu adalah semua dari Alinafiah yang Rp50 juta itu,” katanya.

“Bagaimana saksi, kata terdakwa Sudirman bahwa uang Rp50 juta dari Alinafiah?,” tanya hakim. “Dia (Sudirman Halawa) menemui saya di parkir Medan Plaza, bersama istrinya memberi saya 50 juta,” kata Hardi Mulyono.

Kemudian terdakwa Ramli, yang mengaku heran dari keterangan saksi, hanya berdasarkan keyakinan semua menerima uang ketok palu. “Apa tanggapan saudara saksi, mengatakan bahwa untuk kepentingan orang tertentu saudara diberi uang untuk memberikan pengakuan di KPK,” tanyanya. Namun sayangnya, pertanyaan terdakwa Ramli tersebut, tidak mau ditanggapi Hardi Mulyono.

Usai pemeriksaan saksi, majelis hakim kemudian melanjutkan pemeriksaan tiga terdakwa, diantaranya Robert Nainggolan, Layari Sinukaban dan Japorman Saragih. Mengutip surat dakwaan, 14 terdakwa mantan anggota DPRD Sumut meminta ‘uang ketok palu’ terkait pengesahan APBD Provinsi Sumut tahun anggaran 2009-2014 dan 2014-2019 dengan angka bervariasi mulai dari Rp400-Rp700 juta.

Ke-14 terdakwa yang diadili yakni, Nurhasanah, Jamaluddin Hasibuan , Ahmad Hosen Hutagalung, Sudirman Halawa, Ramli, Irwansyah Damanik, Megalia Agustina, Ida Budi Ningsih, Syamsul Hilal, Mulyani, Robert Nainggolan, Layari Sinukaban, Japorman Saragih dan Rahmad Pardamean Hasibuan

Para terdakwa merupakan anggota DPRD Sumut periode 2009 sampai 2014 mempunyai tugas dan wewenang antara lain, membentuk Peraturan Daerah (Perda) Provinsi bersama Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho saat itu.

Para terdakwa dikenai dugaan menerima suap atau hadiah terkait fungsi dan kewenangannya sebagai anggota DPRD Sumut, yakni Laporan Pertanggungjawaban Pemerintah (LPJP) Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Provinsi Sumut TA 2012. (man/azw)

, persetujuan terhadap Perubahan APBD (P-APBD) Provinsi Sumut TA 2013, persetujuan terhadap APBD Provinsi Sumut TA 2014, persetujuan terhadap P-APBD Provinsi Sumut TA 2014 dan APBD Provinsi Sumut TA 2015. (man/azw)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Hardi Mulyono selaku mantan anggota DPRD Sumut periode 2010-2014 mengaku telah mengembalikan uang ketok palu pengesahan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2013. Pernyataan itu disampaikan Hardi saat menjadi dalam kasus suap 14 mantan anggota DPRD Sumut periode 2009-2014, di Ruang Cakra 8 Pengadilan Tipikor Medan, Senin (8/2).

Ilustrasi

Diketahui, Hardi Mulyono merupakan salah satu anggota DPRD Sumut dari Fraksi Golkar waktu itu, yang menerima ‘uang ketok palu’ LPJP P-APBD dan tidak menjadi terdakwa, karena telah mengembalikan uang.

“Saya terima empat kali, tapi saya sudah kembalikan Rp170 juta. Terakhir saya kembalikan tahun 2020,” ujar Mulyono, menjawab penasihat hukum terdakwa.

“Apakah sudah semua (di kembalikan)?,” tanya Jonson Sibarani lagi. “Sebagian sudah pak,” jawabnya.

Terlebih, saat penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanyakan perihal pertemuan pengesahan ketok palu tahun 2013. Hardi Mulyono beralibi, mengaku mengetahui pengesahan itu dari rekan-rekannya sesama anggota DPRD Sumut.

“Waktu itu ada pembagian pihak eksekutif ke legislatif sesuai dengan jabatan. Ketua waktu itu Rp2 miliar, Wakil Ketua Rp1,5 miliar, anggota banggar Rp500 juta kalau tak salah saya, anggota Rp350 juta,” sebutnya.

Namun, saat disinggung jaksa KPK, siapa-siapa saja yang menerima, ia mengaku tak mengetahuinya. Hanya saja kata Hardi Mulyono, ia tahu dari M Alinafiah selaku bendahara dewan.

“Secara umum semuanya terima. Saya pernah terima Rp15 juta dari Alinafiah tahun 2014 di kantornya,” ujarnya.

Kemudian, lanjutnya, pada pengesahan APBD 2014, Hardi Mulyono menerima sebesar Rp50 juta lagi dari Alinafiah di ruang kerjanya. “Kami mendengar untuk pengesahan 2015 itu Rp200 juta. Saya tidak terima karena dikatakan Fuad Lubis, untuk Fraksi Golkar sudah diambil,” terangnya.

Dikatakannya, ia tidak menerima karena untuk tahun 2015, dirinya sudah tidak menjabat sebagai anggota DPRD Sumut. Iapun menyeret nama terdakwa Sudirman Halawa, sebagai salah yang menerima uang pengesahan tersebut.

“Darimana saudara tahu,” tanya jaksa KPK. “Apalagi kalau tidak uang ketok palu. Sudah bukan rahasia umum lagi itu,” jawab Hardi Mulyono.

Namun, ia menerima uang Rp50 juta dari Sudirman Halawa, setelah tidak lagi menjabat. Ia mengaku tak pernah melihat berupa bukti ataupun catatan, yang menerima uang ketok palu itu. Terlebih saat disinggung, apakah pemberian uang itu berdasarkan perintah Alinafiah. “Berdasarkan pengesahan itu, semua menerima. Tidak dikasih tau pun, saya sudah tau itu dari provinsi. Diakan sebagai penyalur,” ujarnya.

Hakim Ketua Immanuel Tarigan kemudian menyinggung peran dari Kamaluddin Harahap selaku Wakil Ketua DPRD Sumut waktu itu, yang disebut sebagai inisiator ketok palu.

“Yang saya tau inisiasi dari pimpinan, yang diwakili kelima pimpinan. Kalau mandat dari anggota tidak pernah, sudah berlaku umum jika ada pengesahan selalu ada uang ketok palu. Itu antara pimpinan dengan pihak pemprov,” bebernya.

Namun saat dikonfrontir keterangan Hardi Mulyono dengan para terdakwa, dibantah terdakwa Sudirman Halawa. “Saya bantah apa yang dibilang beliau, dalam BAP saya itu adalah semua dari Alinafiah yang Rp50 juta itu,” katanya.

“Bagaimana saksi, kata terdakwa Sudirman bahwa uang Rp50 juta dari Alinafiah?,” tanya hakim. “Dia (Sudirman Halawa) menemui saya di parkir Medan Plaza, bersama istrinya memberi saya 50 juta,” kata Hardi Mulyono.

Kemudian terdakwa Ramli, yang mengaku heran dari keterangan saksi, hanya berdasarkan keyakinan semua menerima uang ketok palu. “Apa tanggapan saudara saksi, mengatakan bahwa untuk kepentingan orang tertentu saudara diberi uang untuk memberikan pengakuan di KPK,” tanyanya. Namun sayangnya, pertanyaan terdakwa Ramli tersebut, tidak mau ditanggapi Hardi Mulyono.

Usai pemeriksaan saksi, majelis hakim kemudian melanjutkan pemeriksaan tiga terdakwa, diantaranya Robert Nainggolan, Layari Sinukaban dan Japorman Saragih. Mengutip surat dakwaan, 14 terdakwa mantan anggota DPRD Sumut meminta ‘uang ketok palu’ terkait pengesahan APBD Provinsi Sumut tahun anggaran 2009-2014 dan 2014-2019 dengan angka bervariasi mulai dari Rp400-Rp700 juta.

Ke-14 terdakwa yang diadili yakni, Nurhasanah, Jamaluddin Hasibuan , Ahmad Hosen Hutagalung, Sudirman Halawa, Ramli, Irwansyah Damanik, Megalia Agustina, Ida Budi Ningsih, Syamsul Hilal, Mulyani, Robert Nainggolan, Layari Sinukaban, Japorman Saragih dan Rahmad Pardamean Hasibuan

Para terdakwa merupakan anggota DPRD Sumut periode 2009 sampai 2014 mempunyai tugas dan wewenang antara lain, membentuk Peraturan Daerah (Perda) Provinsi bersama Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho saat itu.

Para terdakwa dikenai dugaan menerima suap atau hadiah terkait fungsi dan kewenangannya sebagai anggota DPRD Sumut, yakni Laporan Pertanggungjawaban Pemerintah (LPJP) Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Provinsi Sumut TA 2012. (man/azw)

, persetujuan terhadap Perubahan APBD (P-APBD) Provinsi Sumut TA 2013, persetujuan terhadap APBD Provinsi Sumut TA 2014, persetujuan terhadap P-APBD Provinsi Sumut TA 2014 dan APBD Provinsi Sumut TA 2015. (man/azw)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/