26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Listrik Nyala, Belajar Daring pun Lancar

Selamat Pagi Bu Guru…

Senyuman Dini, siswi kelas tiga Sekolah Dasar di Tanjung Morawa, Deliserdang, Sumatera Utara ini, begitu sumringah. Matanya berbinar-binar penuh bahagia. Dini begitu bersemangat menyahut sapaan gurunya melalui belajar daring dengan ponsel di rumahnya, Dusun II Titi Payung, Desa Naga Timbul, Kecamatan Galang, Kabupaten Deliserdang. “Selamat pagi bu guru”…

BELAJAR DARING: Dini (memagang ponsel), warga Dusun II Titi Payung, Desa Naga Timbul, saat belajar daring di rumahnya, sambil ditemani teman-temannya.Laila Azizah.

Kebahagiaan Dini bisa mengikuti belajar daring dari kediamannya, baru saja dirasakan Dini. Sebelumnya, Dini tak bisa mengikuti belajar daring karena di desanya belum teraliri listrik. Tapi melalui program Listrik Masuk Desa (Lisdes) atau Listrik Pedesaan (Lisa), kini desanya sudah dialiri listrik oleh PLN Unit Induk Wilayah (UIW) Sumatera Utara, tepatnya sejak 28 Desember 2020 lalu.

“Sebelum ada listrik, Dini berangkat pagi ke rumah saudara kami yang punya listrik. Tapi sekarang di rumah Dini sudah ada listrik, jadi Dini bisa daring di rumah,” ujar Dini penuh ceria ketika disambangi wartawan ini, saat tengah belajar daring di kediamannya, Rabu (10/2/2021).

Sebelum desanya teraliri listrik, bukan hal mudah bagi Dini untuk bisa mengikuti belajar daring. Orangtua Dini terpaksa mengantar dirinya ke kediaman saudara mereka, berada di seberang desanya di Galang, Kabupaten Deliserdang. Jaraknya sekitar 15 kilo meter. Belum lagi separuh jalan dari desa itu belum beraspal, jalannya pun banyak berlubang.

Begitu juga yang dirasakan wartawan ini saat menuju Dusun II Titi Payung, Desa Naga Timbul, Kecamatan Galang, Kabupaten Deliserdang ini. Jarak tempuh dari Kota Medan ke desa ini sekitar 28 kilo meter. Namun sekitar 3 kilo meter jalan masuk ke desa ini belum beraspal dan rusak.

Desa yang dihuni 17 kepala keluarga dengan jumlah 50-an jiwa ini, berada di tengah-tengah perkebunan swasta yang berdiri sejak tahun 1906. Jalannya pun tak begitu lebar, tapi bisa dilintasi roda empat. Sedangkan sekolah yang ada, Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), jaraknya lumayan jauh dari desa tersebut, sekitar 15 sampai 20 kilo meter.

Namun, bukan jauhnya jarak sekolah yang menjadi persoalan warga desa di sana waktu itu. Tapi, tidak adanya aliran listrik membuat warga desa, khususnya anak-anak mereka yang masih bersekolah, harus mengungsi ke rumah sanak famili yang sudah memiliki listrik, agar anak mereka bisa mengikuti belajar daring.

Begitu juga yang diungkapkan seorang ibu warga desa di sana, Paisah. Semula, putri dari Paisah bernama Indah Kurniasih yang duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), selama dua tahun menetap di rumah saudara mereka di Galang yang jaraknya sekitar 20 kilo meter dari desa mereka.

“Anak saya Indah, saat itu terpaksa tinggal selama dua tahun di rumah saudara kami di Galang. Sejak ada pandemi Covid-19, kan anak-anak sekolah harus mengikuti belajar daring. Anak saya susah ikut belajar daring waktu belum ada listrik. Tapi alhamdulillah, anak saya sekarang sudah berkumpul bersama kami lagi sejak desa kami teraliri listrik pada akhir Desember 2020 lalu,” ujar Paisah kepada wartawan ini, sambil memotong daun pelepah pohon kelapa sawit untuk dijadikan sapu lidi dan dijual.

Lain lagi cerita bu Sumiati, warga yang sama di desa itu. Sebelum desa mereka dialiri listrik, anaknya bernama Aditya, duduk di bangku SMA, terpaksa pagi-pagi buta harus keluar dari desa dan menumpang ke rumah saudara mereka demi mengikuti belajar daring.

“Kan belajar daring itu pagi, jadi Aditya takut terlambat, makanya subuh dia sudah pergi ke rumah saudara kami. Selesai belajar daring, siang atau sorenya Aditya pulang ke rumah. Tapi sekarang kami bersyukur karena PLN sudah mengaliri listrik di desa kami. Anak kami yang bersekolah tidak perlu repot harus keluar pagi hari dari desa untuk numpang belajar daring. Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada PLN,” ucap bu Sumiati yang ikut membantu Paisah membuat sapu lidi.

Nestapa dan rasa nelangsa warga di sana saat desa mereka belum teraliri listrik, juga diceritakan tokoh masyarakat setempat, Sutar Saragih. Pria berkulit sawo matang ini mengatakan, awalnya desa mereka didiami penduduk tahun 1945. Lahan yang mereka tempati itu berasal dari tukar guling lahan milik perkebunan swasta.

“Dulunya orangtua kami tinggal di sini atas lahan tukar guling dengan perkebunan swasta. Awalnya, perkebunan itu ingin memperluas kebun mereka. Kemudian untuk perluasan kebun itu, pihak perkebunan meminta lahan masyarakat dan mengganti dengan lahan perkebunan di desa ini. Jadi ini lahan tukar guling,” kata Sutar Saragih sambil menyerumput kopi hangatnya penuh nikmat, saat ditemui wartawan ini di sebuah warung kopi di desa tersebut.

Pria yang bekerja di perkebunan swasta di wilayah desanya ini bercerita, tak banyak yang bisa dilakukan warga desanya saat belum ada listrik. Jika sudah memasuki waktu malam, warga desa yang sebagian besar sebagai petani, lebih memilih berdiam diri di rumah. Mereka juga tak bisa menonton siaran televisi.

“Pada tahun 80-an, desa kami pertama kali mendapat bantuan mesin genset dari pemerintah desa setempat. Hampir empat tahun kami menggunakan mesin genset, tapi mesin tersebut akhirnya rusak total. Saat mesin genset rusak, kami beralih menggunakan lampu minyak (lampu teplok) hingga beberapa tahun,” kata pria yang menamatkan sekolahnya hingga bangku SMA ini.

Beberapa tahun kemudian, lanjut Sutar Saragih, desa mereka kembali mendapat bantuan penerangan lampu tenaga surya (PLTS). Namun hal itu juga tak berlangsung lama, penerangan lampu tenaga surya pun ikut rusak. “Akhirnya kami menggunakan genset kembali. Kami perbaiki secara swadaya. Kami beli minyak solarnya juga secara swadaya. Tiap bulan kami kutip iuran beli minyak per kepala keluarga. Kalau mesin rusak, dana perbaikannya juga secara swadaya,” tutur Sutar Saragih sambil menyeka keringat di dahinya.

Meski menggunakan penerangan dari genset, kata Sutar Saragih, warga desa tetap kesulitan mendapat aliran daya listrik meski sekadar mengecas ponsel. Sebab, daya listrik dari genset yang teraliri tak begitu kuat. “Kami terpaksa menumpang mengecas ponsel ke luar desa, ke rumah teman maupun sanak saudara. Walau ada genset, kami tidak bisa menikmati siaran televisi karena daya yang dialirkan tak mencukupi,” ujar Sutar Saragih.

Saat terjadi pandemi Covid-19, kebutuhan akan listrik dari PLN semakian mendesak. Sebab, bagi anak-anak di desa mereka yang masih bersekolah, harus mengikuti belajar daring. “Seperti anak saya duduk di kelas 1 SMA. Pukul enam subuh anak saya sudah berangkat ke rumah saudara kami untuk menumpang belajar daring. Begitu juga anak-anak lainnya di desa kami yang masih bersekolah, harus berjuang untuk bisa mengikuti belajar daring. Kalau hujan, harus menempuh jalanan yang licin,” ujar Sutar Saragih lagi.

Dengan segala penderitaan atas desa mereka yang tak berlistrik itu, Sutar Saragih bersama warga desanya lantas mendatangi PLN untuk mengajukan desa mereka bisa dialiri listrik. Pengajuan itu dilakukan berkali-kali, mulai dari kepala dusun, kepala desa, pihak kecamatan hingga ke Kantor Bupati Deliserdang bahkan meminta pertolongan wakil rakyat.

Lagi-lagi, persoalan sulitnya desa mereka teraliri listrik bukan karena dari pihak PLN yang tidak memiliki keinginan. Bahkan, PLN telah beberapa kali mendatangi desa itu untuk melakukan survei. Kendala ini justru muncul dari perkebunan kelapa sawit milik swasta yang berada di desa itu. Perkebunan itu tak mengizinkan beberapa pohon kelapa sawit mereka ditebang untuk mendirikan tiang dan membentangkan kabel listrik.

Bersyukur, saat itu Komisi VI DPR RI bersama Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi, yang juga dihadiri Direksi PT PLN dan GM PLN Unit Induk Wilayah (UIW) Sumut Irwansah Putra dan Bupati Deliserdang H Azhari Tambunan, duduk bersama menggelar rapat untuk mencari solusi agar Dusun II Titi Payung, Desa Naga Timbul, bisa dialiri listrik.

Dari pertemuan yang digelar di Kantor Bupati Deliserdang kala itu, mereka memutuskan untuk melayangkan surat kepada perusahaan kelapa sawit milik swasta tersebut, dengan meminta kesediaaan penebangan pohon kelapa sawit. Beberapa bulan kemudian, upaya stakeholder itu membuahkan hasil. Pihak perkebunan kelapa sawit swasta di desa itu yang semula keberatan pohon kelapa sawit milik mereka ditebang, akhirnya mengikhlaskannya.

“Perjuangan kami, perjuangan Pak Bupati, perjuangan wakil rakyat, LSM maupun PLN berbuah hasil. Akhirnya, pada tanggal 7 September 2020 pihak PLN Wilayah Sumut datang melakukan sejumlah persiapan ke desa kami, setelah penebangan pohon kelapa sawit mendapat izin dari perusahaan swasta tersebut. Kemudian tanggal 25 Desember 2020, tiang dan kabel sudah terpasang. Dan pada tanggal 28 Desember 2020, listrik di desa kami akhirnya menyala. Kami yakin, dengan adanya listrik masuk ke desa kami, desa kami bakal menjadi maju dan tidak tertinggal lagi,” pungkas Sutar Saragih sambil bersyukur.

Kepala Desa Naga Timbul Elis Dawani Siregar, tak memungkiri kalau sulitnya Desa Naga Timbul, Dusun II Titi Payung teraliri listrik saat itu, bukan karena pihak PLN enggan. Tapi karena pihak perkebunan swasta di desa itu tak mengizinkan pohon kelapa sawit milik mereka ditebang untuk pemasangan tiang dan kabel listrik. “Sejak zaman Belanda, desa itu tidak teraliri listrik, hingga akhirnya bisa teraliri listrik di penghujung tahun 2020 lalu. Semua itu berkat perjuangan warga bersama stakeholder maupun PLN. Sekarang Dusun II Titi Payung sudah terang benderang,” kata Elis Dawani yang ditemui wartawan ini di kantor Desa Naga Timbul, Rabu (10/2/2021).

GM PLN UIW Sumut Irwansyah Putra mengatakan, dalam melistriki desa hingga dusun di wilayah Sumatera Utara, PLN sering menemukan sejumlah tantangan. Dan, tantangan yang paling sering, ketika PLN harus dihadapkan dengan perkebunan milik swasta.

“Seperti yang terjadi di Dusun II Titi Payung, Desa Naga Timbul tersebut. Tantangannya, ya kita harus meminta izin kepada pemilik perkebunan swasta di desa itu. Prosesnya memang cukup panjang, tapi kita tidak menyerah. Alhamdulillah kita mampu mewujudkan listrik di desa itu,” ujar Irwansyah Putra kepada wartawan ini.

Kini, Dini bersama anak-anak di desa itu, tak perlu bersusah payah lagi mengikuti belajar daring. Mereka pun bersemangat saat menyahut sapaan selamat pagi kepada gurunya, ketika belajar daring dari rumah mereka. Anak-anak di desa itu adalah anak-anak bangsa yang memiliki segudang cita-cita untuk membangun desanya.

Terendam di Lumpur Hutan Mangrove

HUTAN MANGROVE: Manager PLN ULP Belawan Holmes Hutapea (di atas kapal motor) saat mengecek kondisi tiang listrik di hutan mangrove di Belawan.

Kisah semangat menerangi negeri ini tak cukup sampai di situ saja. Perjuangan PLN belum selesai. Sekelumit kisah haru pun tersingkap tatkala tim PLN dari Unit Layanan Pelanggan (ULP) Belawan bersama PLN UP3 Medan Utara, menancapkan tiang listrik di rawa-rawa berlumpur di dalam hutan mangrove perairan laut Belawan, Sumatera Utara, tepatnya di Kampung Nelayan Seberang, Belawan.

Selepas mengunjungi Dusun II Titi Payung, Desa Naga Timbul, Kecamatan Galang, Kabupaten Deliserdang, beberapa hari kemudian atau tepatnya Rabu (17/2/2021), wartawan ini bergerak ke pinggiran Kota Medan, tepatnya di Kampung Nelayan Seberang, Belawan. Berangkat dari Kota Medan menuju Kota Belawan, jaraknya sekitar 31 kilo meter.

Tiba di Kota Belawan, tepatnya di dermaga perahu motor penumpang, wartawan ini menumpang perahu motor milik nelayan untuk bisa mencapai ke Kampung Nelayan Seberang. Dengan ongkos naik perahu motor Rp5.000 per orang, perjalanan ke tujuan memakan waktu berkisar 15 menit.

Tiba di lokasi, tampak jelas deretan rumah nelayan jenis panggung , berdiri di atas laut Belawan sebagai pemukiman warga Kampung Nelayan Seberang, Kelurahan Belawan I, Kecamatan Medan Belawan. Kawasan ini ternyata belum tersentuh pembangunan, seperti pembangunan pembetonan jalan setapak. Saat ini warga maupun tamu yang berkunjung ke kampung ini, masih mengandalkan akses jalan berupa titi papan yang sudah rusak dan kupak-kapik. Saat melangkahkan kaki di atas titi reot yang memanjang, dengan lebar setengah meter lebih, harus berhati-hati. Jika jika, bakal nyebur ke laut.

Pemukiman Kampung Nelayan Seberang yang dihuni 625 kepala keluarga (KK), dengan total hampir 3.000 jiwa ini, dikelilingi oleh perairan Belawan. Bangunan rumah mereka yang tidak permanen itu, cukup sederhana. Hampir seluruh rumah warga hanya bermaterial dari kayu, papan serta beratap seng dan berlantai papan. Bahkan, beberapa rumah di antaranya sudah miring akibat tiang bawah penyangga rumah yang sudah lapuk, hingga miring digoyang gelombang laut Belawan.

Selain belum tersentuh infrastruktur jalan, kampung seluas 20 hektare ini juga masih terisolir, khusus­nya di bidang pendidikan. Sebab, di Kampung Nelayan Seberang ini hanya ada satu pendidikan Sekolah Dasar, sedangkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) maupun Sekolah Menengah Atas (SMA) belum ada. Hal ini menyebabkan anak usia SMP maupun SMA yang berangkat ke sekolah, harus mengeluarkan uang transportasi sebesar Rp10.000 (pulang-pergi) untuk naik perahu motor. Belum lagi biaya ongkos angkutan umum (angkot) menuju ke sekolah. Sementara para penduduk kampung ini hanya bermatapencaharian sebagai nelayan tradisional dengan pendapatan bersih sekitar Rp50.000.

Kepling Kampung Nelayan Seberang, Lingkungan 12, Kelurahan Belawan I, Kecamatan Medan Belawan, Sarawiyah yang ditemui wartawan ini di Perpustakaan Terapung di kampung itu, bercerita, Kampung Nelayan Seberang sudah teraliri listrik sejak tahun 1995 silam. Saat itu, ayahnya lah yang memperjuangkan kampung mereka bisa berlistrik. Kebetulan, pada masa itu ayahnya menjabat Kepling di Kampung Nelayan Seberang.

“Saya masih ingat, saat itu saya masih bersekolah SD. Ayah bersama tim PLN Belawan menyusuri hutan bakau untuk mencari titik pemasangan tiang maupun kabel listrik. Kalau berdasarkan sejarahnya, kampung ini sudah berdiri sejak tahun 1957. Warga di sini terdiri dari semua etnis suku,” ujar Sarawiyah yang masih menyimpan foto-foto ayahnya dan tim PLN Belawan saat berjalan kaki menyusuri hutan bakau sewaktu proses pemasangan listrik kala itu.

Meski Kampung Nelayan Seberang sudah teraliri listrik saat ini, namun gangguan listrik kerap terjadi akibat tumbangnya tiang listrik. “Kadang sebulan sekali listrik padam akibat tiang listrik miring dan tumbang. Kami memakluminya karena faktor alam akibat diterpa angin Laut Belawan. Kadang kabel listrik putus dirusak hewan monyet jenis Lutung. Tapi, setiap terjadi gangguan listrik, PLN di sini cepat merespon pengaduan kami. Kami tahu kondisi perbaikan itu tak mudah karena posisi tiang berada di rawa-rawa berlumpur di hutan mangrove yang berada di seberang sana,” pungkas Sarawiyah yang salut akan kinerja PLN UP3 Medan Utara dan PLN ULP Belawan.

Usai dari Kampung Nelayan Seberang, wartawan ini dengan ditemani Manager Unit Layanan Pelanggan (ULP) Belawan Holmes Hutapea bersama tim teknisi, berangkat melihat kondisi tiang listrik di dalam hutan mangrove dengan menumpang perahu motor nelayan. Untuk mengelilingi hutan mangrove tersebut, memakan waktu hampir dua jam. Untung saja ombak Laut Belawan di siang itu tak begitu kencang, hanya saja teriknya matahari cukup menyengat.

Saat memasuki hutan mangrove atau hutan bakau yang mirip seperti gugusan kepulauan-kepulauan kecil itu, tampak tiang listrik dari kayu dengan kabel listrik yang saling terhubung, berdiri di rawa-rawa lumpur hutan mangrove.

Holmes Hutapea memaparkan, ada sekitar 250 tiang listrik berdiri di rawa berlumpur hutan mangrove, dengan daya 20 kV. Setiap tiang memiliki panjang sekitar 12 meter dengan berat tiang mencapai 200 kilo hingga 300 kilo. Sedangkan jarak tiap andongan tiang mencapai 50 meter.

“Sumber energinya kita tarik dari PLN Langkat melalui tiang-tiang di sini. Nanti ke depannya, energinya kita tarik dari Belawan dan tidak dari PLN di Langkat lagi. Saat ini kita lagi proses izin dan persiapan teknis lainnya,” ujar pria bertubuh tinggi besar ini sambil memandangi barisan tiang-tiang listrik dari atas perahu motor.

Holmes yang sebelumnya bertugas di ULP Pematangsiantar dan baru dipindahtugaskan ke ULP Belawan pada Desember 2020 lalu bercerita, saat di penghujung tahun 2020 lalu, tepatnya 30 Desember 2020, ada dua tiang listrik tumbang di dalam hutan mangrove ini, menyebabkan Kampung Nelayan Seberang padam listrik.

Dia bersama tim gabungan dari ULP Belawan dan UP3 Medan Utara yang berjumlah 25 orang, kemudian melakukan perbaikan. Ada cerita haru di sini, saat mereka terpaksa harus bermalam di dalam hutan mangrove pada 31 Desember hingga menjelang tahun baru 1 Januari 2021 lalu. “Ketika itu kami menargetkan selesai dengan cepat, makanya kami tak membawa bekal makanan. Tapi ternyata perbaikan itu membuat kami bermalam di hutan mangrove ini, dari pagi hingga fajar menyingsing esok paginya,” kata Holmes tertawa sambil mengenang.

Saat itu, kata Holmes, tim yang berjumlah 25 orang harus masuk ke dalam rawa berlumpur hutan mangrove untuk mendirikan kembali tiang listrik yang tumbang. Tiang kayu seberat 200 kilo itu, harus ditarik secara manual dengan menggunakan tali. “Tinggi lumpurnya sebatas dada orang dewasa. Bayangkan, kaki kita saja sangat berat melangkah kalau di dalam lumpur. Apalagi ditambah menarik tiang kayu dengan tali. Kita harus tarik dengan sekuat tenaga,” bilang Holmes.

Di pergantian malam tahun baru itu, Holmes bersama timnya, hanya mampu menikmati pemandangan pesta kembang api yang terbang di atas langit. Suasana sepi di tengah hutan mangrove dan desiran angin kencang Laut Belawan, ditambah perut yang keroncongan, tak menyurutkan semangat timnya mendirikan tegak tiang listrik, meski terendam di dalam lumpur dan air laut sampai pagi. “Saking semangatnya, kami sampai lupa membawa perbekalan makan. Kami terpaksa makan buah nipah yang tumbuh di dalam hutan mangrove,” kata Holmes.

Bersyukur akhirnya menjelang pagi, tepatnya 1 Januari 2021, timnya berhasil menegakkan tiang listrik yang tumbang. Proses perbaikan pun tentu selesai. Tapi, pekerjaan ini bukan selesai sampai di situ saja. Sebab, acapkali terjadi tiang miring dan tumbang diterpa gelombang dan angin laut. Dan sudah barang tentu tim ULP Belawan bersama UP3 Medan Utara wajib nyebur ke lumpur hutan mangrove. “Penyebab terbesar tiang tumbang di sini adalah akibat gelombang laut. Tapi apapun kondisinya, itu lah tantangan bagi kami. Kami tetap bersemangat agar listrik di Kampung Nelayan Seberang bisa menyala,” pungkas Holmes penuh semangat.

Koordinator Lapangan, Zein yang sudah 10 tahun melakukan pemeliharaan jaringan di kawasan hutan mangrove tersebut mengatakan, setiap terjadi tiang miring atau tumbang, mereka memang wajib masuk ke dalam rawa lumpur hutan mangrove. “Kalau ular sering kita temui di hutan ini. Justru kami takut saat lagi perbaikan, tiba-tiba muncul monyet Lutung. Moyet ini sering mengejar dan jahat. Kalau sudah dikejar, kami langsung lari pontang-panting,” ujar Zein tertawa.

Namun apapun tantangannya, Zein bersama timnya tak pernah surut semangat untuk terus menerangi Kampung Nelayan Seberang. Apalagi, sekarang ini listrik justru menjadi ‘jantung’ bagi anak-anak warga Kampung Nelayan Seberang yang bersekolah, agar tak terkendala belajar daring.

Mengintip Harga Sawit dari Ponsel

GOTONG ROYONG: Tiang listrik melintasi kebn karet milik PT BSP di Desa Tomuan Holbung. Tampak warga di desa ini bergotong-royong menimbun lubang jalan.Laila Azizah.

Setelah mengunjungi Dusun II Titi Payung, Desa Naga Timbul, Kecamatan Galang, Kabupaten Deliserdang serta Kampung Nelayan Seberang di Kecamatan Medan Belawan, wartawan ini kemudian mendatangi daerah lain. Kali ini ke Desa Tomuan Holbung, Ke­camatan Bandar Pasir Man­doge, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, Senin (21/2/2021).

Masih ingat Desa Tomuan Holbung yang sempat viral di media sosial pada tahun 2017 silam, saat foto murid-murid Sekolah Dasar memegang potongan kardus bertuliskan permohonan kepada Presiden Joko Widodo untuk melistriki wilayah desa itu? Bagaimana kehidupan warga di sana pascadialiri listrik sejak 3,6 tahun lalu?

Jarak tempuh dari Kota Medan ke Desa Tomuan Holbung, jika berpatokan pada aplikasi Google Maps berkisar 175 km dengan lama waktu tempuh 4,5 jam. Wartawan ini memilih menggunakan akses jalan tol hingga keluar pintu tol terakhir di Tebingtinggi, Kabupaten Serdangbedagai. Dari Tebing, masih harus melanjutkan perjalanan ke Kota Siantar. Perjalanan menempuh Kota Siantar memakan waktu satu jam lamanya. Jika dihitung, perjalanan dari Medan hingga sampai ke Kota Siantar memakan waktu 2,5 jam lebih.

Setelah mencapai Kota Siantar, masih harus melanjutkan perjalanan ke Tanah Jawa Kabupaten Simalungun hampir satu jam lamanya. Kebetulan, jarak Desa Tomuan Holbung lebih dekat ditempuh melalui Tanah Jawa ketimbang dari Kisaran, Kabupaten Asahan. Padahal Desa Tomuan Holbung berada di Kabupaten Asahan. Dari Tanah Jawa tersebut, wartawan ini terpaksa mengganti kendaraan dengan mobil double cabin.Sebab, infrastuktur jalan di desa itu rusak parah sehingga tak bisa dilintasi mobil jenis minivan.

Dari Tanah Jawa ke pintu masuk Desa Tomuan Holbung, atau tepatnya Dusun I, juga memakan waktu hampir satu jam. Sedangkan Desa Tomuan Holbung terdiri dari 10 dusun. Jarak tempuh dari Dusun 1 ke Dusun 10, berkisar 10 kilo meter. Harusnya, kalau diasumsikan dengan jarak 10 kilo meter itu bisa ditempuh dalam waktu setengah jam. Namun fakta di lapangan berbeda.

Dusun yang berada di tengah perkebunan sawit dan karet HGU kebun PT.BSP Aek Salabat ini, memakan waktu perjalanan hingga 3 jam. Perkiraan waktu tempuh berdasarkan Google Map pun meleset! Ini karena kondisi jalannya berlubang dan berbatu. Dalamnya lubang jalan yang cukup lebar menganga serta berbatu-batu berukuran besar, pantas saja tidak bisa dilintasi mobil jenis minivan, apalagi sedan. Jika nekat, bemper mobil bakal sangkut. Perutpun terasa seperti dikocok.

Meski infrastruktur jalan belum dibenahi, tapi warga Desa Tomuan Holbung yang berjumlah 445 kepala keluarga dengan total 2.122 jiwa ini, sudah bisa menikmati listrik sejak 2017 lalu, tepatnya 17 Agustus 2017 silam. Bahkan, sejak adanya listrik, warga desa memanfaatkan teknologi ponsel untuk memantau harga karet dan sawit mereka.

“Banyak sekali perubahan di desa ini sejak ada listrik. Warga kami bisa menonton televisi, bisa menggunakan ponsel, bahkan warga sudah pandai memantau harga sawit dan karet dari ponsel. Kalau dulu harga karet dan sawit milik warga selalu dicurangi tengkulak,” ujar Sekdes Desa Tomuan Holbung, Hotler Sinurat yang ditemui wartawan ini di kantor desa tersebut.

Hotler justru menyayangkan sikap pemerintah setempat yang tidak peduli terhadap kondisi infrastruktur jalan di Desa Tomuan Holbung. “Padahal sejak ada listrik membawa banyak perubahan bagi kami. Warga kami bisa menikmati teknologi. Tapi sayangnya, kondisi jalan rusak membuat hasil kebun warga busuk karena sulit diangkut truk kalau hujan. Karena kalau hujan, jalannya berlumpur tidak bisa dilintasi mobil maupun truk,” kata dia.

Warga petani di desa itu, T br Sitorus yang tinggal di Dusun 9 mengakui, sejak ada aliran listrik di desanya, ia lebih gampang memantau harga sawit dan karet miliknya. Ibu dari Paris Sinurat, bocah SD yang viral meminta listrik tersebut, memiliki satu hektare sawit dan satu hektare kebun karet. “Kami warga desa kadang suka dibohongi tengkulak soal harga sawit dan karet. Sekarang kami tidak bisa dibohongi lagi. Kami bisa memantau harga dari ponsel. Dan dari ponsel kami jadi tahu perkembangan di dunia ini. Itu semua berkat desa kami ada listrik,” kata wanita yang memiliki empat anak ini saat ditemui wartawan ini di rumahnya.

Fadlan, Supervisor Teknik PLN Tanah Jawa mengatakan, tantangan yang mereka temui saat ini, susahnya melakukan penebangan pohon karet milik PT BSP. Padahal, sering kali ranting atau dahan pohon karet menyentuh kabel listrik di kawasan kebun PT BSP. “Kalau jumlah trafo di desa ini ada 20 trafo. Sampai saat ini kami sering berkoordinasi dengan pihak PT BSP bila ingin melakukan pemangkasan pohon. Tapi kalau penebangan pohon belum diizinkan pihak PT BSP, hanya diperbolehkan memangkas pohon saja,” ujarnya saat berada di halaman masjid di Dusun 1 Desa Tomuan Holbung.

PLN memang sudah mengeluarkan investasi mencapai Rp7,75 miliar untuk masang jaringan listrik sepanjang 23,6 kilometer sirkit, dengan 15 kms di Desa Tomuan Holbung. Meski besarnya investasi listrik di desa itu tak sebanding dengan nilai keuntungan, namun bukan itu yang menjadi tujuan PLN untuk desa tersebut. Sebab, Presiden Jokowi menginginkan desa-desa tertinggal di negeri ini bisa teraliri listrik. Begitu juga saat Presiden Jokowi memerintahkan PLN menerangi Desa Tomuan Holbung, juga demi kemajuan rakyatnya.

Ya, Desa Naga Timbul, Kampung Nelayan Seberang dan Desa Tomuan Holbung, adalah contoh tiga desa tertinggal yang sudah menikmati aliran listrik. Masih banyak lagi desa di negeri ini belum diterangi. Semoga semangat menerangi terus dilakukan PLN hingga ke pelosok negeri.

Selamat Hari Listrik Nasional ke-75 Tahun. Teruslah menerangi negeri ini demi Indonesia maju. (*)

Penulis : Laila Azizah

Tulisan ini diikutisertakan untuk lomba ‘PLN Journalist Awards 2020′ (PJA 2020), kategori feature media online.

Selamat Pagi Bu Guru…

Senyuman Dini, siswi kelas tiga Sekolah Dasar di Tanjung Morawa, Deliserdang, Sumatera Utara ini, begitu sumringah. Matanya berbinar-binar penuh bahagia. Dini begitu bersemangat menyahut sapaan gurunya melalui belajar daring dengan ponsel di rumahnya, Dusun II Titi Payung, Desa Naga Timbul, Kecamatan Galang, Kabupaten Deliserdang. “Selamat pagi bu guru”…

BELAJAR DARING: Dini (memagang ponsel), warga Dusun II Titi Payung, Desa Naga Timbul, saat belajar daring di rumahnya, sambil ditemani teman-temannya.Laila Azizah.

Kebahagiaan Dini bisa mengikuti belajar daring dari kediamannya, baru saja dirasakan Dini. Sebelumnya, Dini tak bisa mengikuti belajar daring karena di desanya belum teraliri listrik. Tapi melalui program Listrik Masuk Desa (Lisdes) atau Listrik Pedesaan (Lisa), kini desanya sudah dialiri listrik oleh PLN Unit Induk Wilayah (UIW) Sumatera Utara, tepatnya sejak 28 Desember 2020 lalu.

“Sebelum ada listrik, Dini berangkat pagi ke rumah saudara kami yang punya listrik. Tapi sekarang di rumah Dini sudah ada listrik, jadi Dini bisa daring di rumah,” ujar Dini penuh ceria ketika disambangi wartawan ini, saat tengah belajar daring di kediamannya, Rabu (10/2/2021).

Sebelum desanya teraliri listrik, bukan hal mudah bagi Dini untuk bisa mengikuti belajar daring. Orangtua Dini terpaksa mengantar dirinya ke kediaman saudara mereka, berada di seberang desanya di Galang, Kabupaten Deliserdang. Jaraknya sekitar 15 kilo meter. Belum lagi separuh jalan dari desa itu belum beraspal, jalannya pun banyak berlubang.

Begitu juga yang dirasakan wartawan ini saat menuju Dusun II Titi Payung, Desa Naga Timbul, Kecamatan Galang, Kabupaten Deliserdang ini. Jarak tempuh dari Kota Medan ke desa ini sekitar 28 kilo meter. Namun sekitar 3 kilo meter jalan masuk ke desa ini belum beraspal dan rusak.

Desa yang dihuni 17 kepala keluarga dengan jumlah 50-an jiwa ini, berada di tengah-tengah perkebunan swasta yang berdiri sejak tahun 1906. Jalannya pun tak begitu lebar, tapi bisa dilintasi roda empat. Sedangkan sekolah yang ada, Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), jaraknya lumayan jauh dari desa tersebut, sekitar 15 sampai 20 kilo meter.

Namun, bukan jauhnya jarak sekolah yang menjadi persoalan warga desa di sana waktu itu. Tapi, tidak adanya aliran listrik membuat warga desa, khususnya anak-anak mereka yang masih bersekolah, harus mengungsi ke rumah sanak famili yang sudah memiliki listrik, agar anak mereka bisa mengikuti belajar daring.

Begitu juga yang diungkapkan seorang ibu warga desa di sana, Paisah. Semula, putri dari Paisah bernama Indah Kurniasih yang duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), selama dua tahun menetap di rumah saudara mereka di Galang yang jaraknya sekitar 20 kilo meter dari desa mereka.

“Anak saya Indah, saat itu terpaksa tinggal selama dua tahun di rumah saudara kami di Galang. Sejak ada pandemi Covid-19, kan anak-anak sekolah harus mengikuti belajar daring. Anak saya susah ikut belajar daring waktu belum ada listrik. Tapi alhamdulillah, anak saya sekarang sudah berkumpul bersama kami lagi sejak desa kami teraliri listrik pada akhir Desember 2020 lalu,” ujar Paisah kepada wartawan ini, sambil memotong daun pelepah pohon kelapa sawit untuk dijadikan sapu lidi dan dijual.

Lain lagi cerita bu Sumiati, warga yang sama di desa itu. Sebelum desa mereka dialiri listrik, anaknya bernama Aditya, duduk di bangku SMA, terpaksa pagi-pagi buta harus keluar dari desa dan menumpang ke rumah saudara mereka demi mengikuti belajar daring.

“Kan belajar daring itu pagi, jadi Aditya takut terlambat, makanya subuh dia sudah pergi ke rumah saudara kami. Selesai belajar daring, siang atau sorenya Aditya pulang ke rumah. Tapi sekarang kami bersyukur karena PLN sudah mengaliri listrik di desa kami. Anak kami yang bersekolah tidak perlu repot harus keluar pagi hari dari desa untuk numpang belajar daring. Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada PLN,” ucap bu Sumiati yang ikut membantu Paisah membuat sapu lidi.

Nestapa dan rasa nelangsa warga di sana saat desa mereka belum teraliri listrik, juga diceritakan tokoh masyarakat setempat, Sutar Saragih. Pria berkulit sawo matang ini mengatakan, awalnya desa mereka didiami penduduk tahun 1945. Lahan yang mereka tempati itu berasal dari tukar guling lahan milik perkebunan swasta.

“Dulunya orangtua kami tinggal di sini atas lahan tukar guling dengan perkebunan swasta. Awalnya, perkebunan itu ingin memperluas kebun mereka. Kemudian untuk perluasan kebun itu, pihak perkebunan meminta lahan masyarakat dan mengganti dengan lahan perkebunan di desa ini. Jadi ini lahan tukar guling,” kata Sutar Saragih sambil menyerumput kopi hangatnya penuh nikmat, saat ditemui wartawan ini di sebuah warung kopi di desa tersebut.

Pria yang bekerja di perkebunan swasta di wilayah desanya ini bercerita, tak banyak yang bisa dilakukan warga desanya saat belum ada listrik. Jika sudah memasuki waktu malam, warga desa yang sebagian besar sebagai petani, lebih memilih berdiam diri di rumah. Mereka juga tak bisa menonton siaran televisi.

“Pada tahun 80-an, desa kami pertama kali mendapat bantuan mesin genset dari pemerintah desa setempat. Hampir empat tahun kami menggunakan mesin genset, tapi mesin tersebut akhirnya rusak total. Saat mesin genset rusak, kami beralih menggunakan lampu minyak (lampu teplok) hingga beberapa tahun,” kata pria yang menamatkan sekolahnya hingga bangku SMA ini.

Beberapa tahun kemudian, lanjut Sutar Saragih, desa mereka kembali mendapat bantuan penerangan lampu tenaga surya (PLTS). Namun hal itu juga tak berlangsung lama, penerangan lampu tenaga surya pun ikut rusak. “Akhirnya kami menggunakan genset kembali. Kami perbaiki secara swadaya. Kami beli minyak solarnya juga secara swadaya. Tiap bulan kami kutip iuran beli minyak per kepala keluarga. Kalau mesin rusak, dana perbaikannya juga secara swadaya,” tutur Sutar Saragih sambil menyeka keringat di dahinya.

Meski menggunakan penerangan dari genset, kata Sutar Saragih, warga desa tetap kesulitan mendapat aliran daya listrik meski sekadar mengecas ponsel. Sebab, daya listrik dari genset yang teraliri tak begitu kuat. “Kami terpaksa menumpang mengecas ponsel ke luar desa, ke rumah teman maupun sanak saudara. Walau ada genset, kami tidak bisa menikmati siaran televisi karena daya yang dialirkan tak mencukupi,” ujar Sutar Saragih.

Saat terjadi pandemi Covid-19, kebutuhan akan listrik dari PLN semakian mendesak. Sebab, bagi anak-anak di desa mereka yang masih bersekolah, harus mengikuti belajar daring. “Seperti anak saya duduk di kelas 1 SMA. Pukul enam subuh anak saya sudah berangkat ke rumah saudara kami untuk menumpang belajar daring. Begitu juga anak-anak lainnya di desa kami yang masih bersekolah, harus berjuang untuk bisa mengikuti belajar daring. Kalau hujan, harus menempuh jalanan yang licin,” ujar Sutar Saragih lagi.

Dengan segala penderitaan atas desa mereka yang tak berlistrik itu, Sutar Saragih bersama warga desanya lantas mendatangi PLN untuk mengajukan desa mereka bisa dialiri listrik. Pengajuan itu dilakukan berkali-kali, mulai dari kepala dusun, kepala desa, pihak kecamatan hingga ke Kantor Bupati Deliserdang bahkan meminta pertolongan wakil rakyat.

Lagi-lagi, persoalan sulitnya desa mereka teraliri listrik bukan karena dari pihak PLN yang tidak memiliki keinginan. Bahkan, PLN telah beberapa kali mendatangi desa itu untuk melakukan survei. Kendala ini justru muncul dari perkebunan kelapa sawit milik swasta yang berada di desa itu. Perkebunan itu tak mengizinkan beberapa pohon kelapa sawit mereka ditebang untuk mendirikan tiang dan membentangkan kabel listrik.

Bersyukur, saat itu Komisi VI DPR RI bersama Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi, yang juga dihadiri Direksi PT PLN dan GM PLN Unit Induk Wilayah (UIW) Sumut Irwansah Putra dan Bupati Deliserdang H Azhari Tambunan, duduk bersama menggelar rapat untuk mencari solusi agar Dusun II Titi Payung, Desa Naga Timbul, bisa dialiri listrik.

Dari pertemuan yang digelar di Kantor Bupati Deliserdang kala itu, mereka memutuskan untuk melayangkan surat kepada perusahaan kelapa sawit milik swasta tersebut, dengan meminta kesediaaan penebangan pohon kelapa sawit. Beberapa bulan kemudian, upaya stakeholder itu membuahkan hasil. Pihak perkebunan kelapa sawit swasta di desa itu yang semula keberatan pohon kelapa sawit milik mereka ditebang, akhirnya mengikhlaskannya.

“Perjuangan kami, perjuangan Pak Bupati, perjuangan wakil rakyat, LSM maupun PLN berbuah hasil. Akhirnya, pada tanggal 7 September 2020 pihak PLN Wilayah Sumut datang melakukan sejumlah persiapan ke desa kami, setelah penebangan pohon kelapa sawit mendapat izin dari perusahaan swasta tersebut. Kemudian tanggal 25 Desember 2020, tiang dan kabel sudah terpasang. Dan pada tanggal 28 Desember 2020, listrik di desa kami akhirnya menyala. Kami yakin, dengan adanya listrik masuk ke desa kami, desa kami bakal menjadi maju dan tidak tertinggal lagi,” pungkas Sutar Saragih sambil bersyukur.

Kepala Desa Naga Timbul Elis Dawani Siregar, tak memungkiri kalau sulitnya Desa Naga Timbul, Dusun II Titi Payung teraliri listrik saat itu, bukan karena pihak PLN enggan. Tapi karena pihak perkebunan swasta di desa itu tak mengizinkan pohon kelapa sawit milik mereka ditebang untuk pemasangan tiang dan kabel listrik. “Sejak zaman Belanda, desa itu tidak teraliri listrik, hingga akhirnya bisa teraliri listrik di penghujung tahun 2020 lalu. Semua itu berkat perjuangan warga bersama stakeholder maupun PLN. Sekarang Dusun II Titi Payung sudah terang benderang,” kata Elis Dawani yang ditemui wartawan ini di kantor Desa Naga Timbul, Rabu (10/2/2021).

GM PLN UIW Sumut Irwansyah Putra mengatakan, dalam melistriki desa hingga dusun di wilayah Sumatera Utara, PLN sering menemukan sejumlah tantangan. Dan, tantangan yang paling sering, ketika PLN harus dihadapkan dengan perkebunan milik swasta.

“Seperti yang terjadi di Dusun II Titi Payung, Desa Naga Timbul tersebut. Tantangannya, ya kita harus meminta izin kepada pemilik perkebunan swasta di desa itu. Prosesnya memang cukup panjang, tapi kita tidak menyerah. Alhamdulillah kita mampu mewujudkan listrik di desa itu,” ujar Irwansyah Putra kepada wartawan ini.

Kini, Dini bersama anak-anak di desa itu, tak perlu bersusah payah lagi mengikuti belajar daring. Mereka pun bersemangat saat menyahut sapaan selamat pagi kepada gurunya, ketika belajar daring dari rumah mereka. Anak-anak di desa itu adalah anak-anak bangsa yang memiliki segudang cita-cita untuk membangun desanya.

Terendam di Lumpur Hutan Mangrove

HUTAN MANGROVE: Manager PLN ULP Belawan Holmes Hutapea (di atas kapal motor) saat mengecek kondisi tiang listrik di hutan mangrove di Belawan.

Kisah semangat menerangi negeri ini tak cukup sampai di situ saja. Perjuangan PLN belum selesai. Sekelumit kisah haru pun tersingkap tatkala tim PLN dari Unit Layanan Pelanggan (ULP) Belawan bersama PLN UP3 Medan Utara, menancapkan tiang listrik di rawa-rawa berlumpur di dalam hutan mangrove perairan laut Belawan, Sumatera Utara, tepatnya di Kampung Nelayan Seberang, Belawan.

Selepas mengunjungi Dusun II Titi Payung, Desa Naga Timbul, Kecamatan Galang, Kabupaten Deliserdang, beberapa hari kemudian atau tepatnya Rabu (17/2/2021), wartawan ini bergerak ke pinggiran Kota Medan, tepatnya di Kampung Nelayan Seberang, Belawan. Berangkat dari Kota Medan menuju Kota Belawan, jaraknya sekitar 31 kilo meter.

Tiba di Kota Belawan, tepatnya di dermaga perahu motor penumpang, wartawan ini menumpang perahu motor milik nelayan untuk bisa mencapai ke Kampung Nelayan Seberang. Dengan ongkos naik perahu motor Rp5.000 per orang, perjalanan ke tujuan memakan waktu berkisar 15 menit.

Tiba di lokasi, tampak jelas deretan rumah nelayan jenis panggung , berdiri di atas laut Belawan sebagai pemukiman warga Kampung Nelayan Seberang, Kelurahan Belawan I, Kecamatan Medan Belawan. Kawasan ini ternyata belum tersentuh pembangunan, seperti pembangunan pembetonan jalan setapak. Saat ini warga maupun tamu yang berkunjung ke kampung ini, masih mengandalkan akses jalan berupa titi papan yang sudah rusak dan kupak-kapik. Saat melangkahkan kaki di atas titi reot yang memanjang, dengan lebar setengah meter lebih, harus berhati-hati. Jika jika, bakal nyebur ke laut.

Pemukiman Kampung Nelayan Seberang yang dihuni 625 kepala keluarga (KK), dengan total hampir 3.000 jiwa ini, dikelilingi oleh perairan Belawan. Bangunan rumah mereka yang tidak permanen itu, cukup sederhana. Hampir seluruh rumah warga hanya bermaterial dari kayu, papan serta beratap seng dan berlantai papan. Bahkan, beberapa rumah di antaranya sudah miring akibat tiang bawah penyangga rumah yang sudah lapuk, hingga miring digoyang gelombang laut Belawan.

Selain belum tersentuh infrastruktur jalan, kampung seluas 20 hektare ini juga masih terisolir, khusus­nya di bidang pendidikan. Sebab, di Kampung Nelayan Seberang ini hanya ada satu pendidikan Sekolah Dasar, sedangkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) maupun Sekolah Menengah Atas (SMA) belum ada. Hal ini menyebabkan anak usia SMP maupun SMA yang berangkat ke sekolah, harus mengeluarkan uang transportasi sebesar Rp10.000 (pulang-pergi) untuk naik perahu motor. Belum lagi biaya ongkos angkutan umum (angkot) menuju ke sekolah. Sementara para penduduk kampung ini hanya bermatapencaharian sebagai nelayan tradisional dengan pendapatan bersih sekitar Rp50.000.

Kepling Kampung Nelayan Seberang, Lingkungan 12, Kelurahan Belawan I, Kecamatan Medan Belawan, Sarawiyah yang ditemui wartawan ini di Perpustakaan Terapung di kampung itu, bercerita, Kampung Nelayan Seberang sudah teraliri listrik sejak tahun 1995 silam. Saat itu, ayahnya lah yang memperjuangkan kampung mereka bisa berlistrik. Kebetulan, pada masa itu ayahnya menjabat Kepling di Kampung Nelayan Seberang.

“Saya masih ingat, saat itu saya masih bersekolah SD. Ayah bersama tim PLN Belawan menyusuri hutan bakau untuk mencari titik pemasangan tiang maupun kabel listrik. Kalau berdasarkan sejarahnya, kampung ini sudah berdiri sejak tahun 1957. Warga di sini terdiri dari semua etnis suku,” ujar Sarawiyah yang masih menyimpan foto-foto ayahnya dan tim PLN Belawan saat berjalan kaki menyusuri hutan bakau sewaktu proses pemasangan listrik kala itu.

Meski Kampung Nelayan Seberang sudah teraliri listrik saat ini, namun gangguan listrik kerap terjadi akibat tumbangnya tiang listrik. “Kadang sebulan sekali listrik padam akibat tiang listrik miring dan tumbang. Kami memakluminya karena faktor alam akibat diterpa angin Laut Belawan. Kadang kabel listrik putus dirusak hewan monyet jenis Lutung. Tapi, setiap terjadi gangguan listrik, PLN di sini cepat merespon pengaduan kami. Kami tahu kondisi perbaikan itu tak mudah karena posisi tiang berada di rawa-rawa berlumpur di hutan mangrove yang berada di seberang sana,” pungkas Sarawiyah yang salut akan kinerja PLN UP3 Medan Utara dan PLN ULP Belawan.

Usai dari Kampung Nelayan Seberang, wartawan ini dengan ditemani Manager Unit Layanan Pelanggan (ULP) Belawan Holmes Hutapea bersama tim teknisi, berangkat melihat kondisi tiang listrik di dalam hutan mangrove dengan menumpang perahu motor nelayan. Untuk mengelilingi hutan mangrove tersebut, memakan waktu hampir dua jam. Untung saja ombak Laut Belawan di siang itu tak begitu kencang, hanya saja teriknya matahari cukup menyengat.

Saat memasuki hutan mangrove atau hutan bakau yang mirip seperti gugusan kepulauan-kepulauan kecil itu, tampak tiang listrik dari kayu dengan kabel listrik yang saling terhubung, berdiri di rawa-rawa lumpur hutan mangrove.

Holmes Hutapea memaparkan, ada sekitar 250 tiang listrik berdiri di rawa berlumpur hutan mangrove, dengan daya 20 kV. Setiap tiang memiliki panjang sekitar 12 meter dengan berat tiang mencapai 200 kilo hingga 300 kilo. Sedangkan jarak tiap andongan tiang mencapai 50 meter.

“Sumber energinya kita tarik dari PLN Langkat melalui tiang-tiang di sini. Nanti ke depannya, energinya kita tarik dari Belawan dan tidak dari PLN di Langkat lagi. Saat ini kita lagi proses izin dan persiapan teknis lainnya,” ujar pria bertubuh tinggi besar ini sambil memandangi barisan tiang-tiang listrik dari atas perahu motor.

Holmes yang sebelumnya bertugas di ULP Pematangsiantar dan baru dipindahtugaskan ke ULP Belawan pada Desember 2020 lalu bercerita, saat di penghujung tahun 2020 lalu, tepatnya 30 Desember 2020, ada dua tiang listrik tumbang di dalam hutan mangrove ini, menyebabkan Kampung Nelayan Seberang padam listrik.

Dia bersama tim gabungan dari ULP Belawan dan UP3 Medan Utara yang berjumlah 25 orang, kemudian melakukan perbaikan. Ada cerita haru di sini, saat mereka terpaksa harus bermalam di dalam hutan mangrove pada 31 Desember hingga menjelang tahun baru 1 Januari 2021 lalu. “Ketika itu kami menargetkan selesai dengan cepat, makanya kami tak membawa bekal makanan. Tapi ternyata perbaikan itu membuat kami bermalam di hutan mangrove ini, dari pagi hingga fajar menyingsing esok paginya,” kata Holmes tertawa sambil mengenang.

Saat itu, kata Holmes, tim yang berjumlah 25 orang harus masuk ke dalam rawa berlumpur hutan mangrove untuk mendirikan kembali tiang listrik yang tumbang. Tiang kayu seberat 200 kilo itu, harus ditarik secara manual dengan menggunakan tali. “Tinggi lumpurnya sebatas dada orang dewasa. Bayangkan, kaki kita saja sangat berat melangkah kalau di dalam lumpur. Apalagi ditambah menarik tiang kayu dengan tali. Kita harus tarik dengan sekuat tenaga,” bilang Holmes.

Di pergantian malam tahun baru itu, Holmes bersama timnya, hanya mampu menikmati pemandangan pesta kembang api yang terbang di atas langit. Suasana sepi di tengah hutan mangrove dan desiran angin kencang Laut Belawan, ditambah perut yang keroncongan, tak menyurutkan semangat timnya mendirikan tegak tiang listrik, meski terendam di dalam lumpur dan air laut sampai pagi. “Saking semangatnya, kami sampai lupa membawa perbekalan makan. Kami terpaksa makan buah nipah yang tumbuh di dalam hutan mangrove,” kata Holmes.

Bersyukur akhirnya menjelang pagi, tepatnya 1 Januari 2021, timnya berhasil menegakkan tiang listrik yang tumbang. Proses perbaikan pun tentu selesai. Tapi, pekerjaan ini bukan selesai sampai di situ saja. Sebab, acapkali terjadi tiang miring dan tumbang diterpa gelombang dan angin laut. Dan sudah barang tentu tim ULP Belawan bersama UP3 Medan Utara wajib nyebur ke lumpur hutan mangrove. “Penyebab terbesar tiang tumbang di sini adalah akibat gelombang laut. Tapi apapun kondisinya, itu lah tantangan bagi kami. Kami tetap bersemangat agar listrik di Kampung Nelayan Seberang bisa menyala,” pungkas Holmes penuh semangat.

Koordinator Lapangan, Zein yang sudah 10 tahun melakukan pemeliharaan jaringan di kawasan hutan mangrove tersebut mengatakan, setiap terjadi tiang miring atau tumbang, mereka memang wajib masuk ke dalam rawa lumpur hutan mangrove. “Kalau ular sering kita temui di hutan ini. Justru kami takut saat lagi perbaikan, tiba-tiba muncul monyet Lutung. Moyet ini sering mengejar dan jahat. Kalau sudah dikejar, kami langsung lari pontang-panting,” ujar Zein tertawa.

Namun apapun tantangannya, Zein bersama timnya tak pernah surut semangat untuk terus menerangi Kampung Nelayan Seberang. Apalagi, sekarang ini listrik justru menjadi ‘jantung’ bagi anak-anak warga Kampung Nelayan Seberang yang bersekolah, agar tak terkendala belajar daring.

Mengintip Harga Sawit dari Ponsel

GOTONG ROYONG: Tiang listrik melintasi kebn karet milik PT BSP di Desa Tomuan Holbung. Tampak warga di desa ini bergotong-royong menimbun lubang jalan.Laila Azizah.

Setelah mengunjungi Dusun II Titi Payung, Desa Naga Timbul, Kecamatan Galang, Kabupaten Deliserdang serta Kampung Nelayan Seberang di Kecamatan Medan Belawan, wartawan ini kemudian mendatangi daerah lain. Kali ini ke Desa Tomuan Holbung, Ke­camatan Bandar Pasir Man­doge, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, Senin (21/2/2021).

Masih ingat Desa Tomuan Holbung yang sempat viral di media sosial pada tahun 2017 silam, saat foto murid-murid Sekolah Dasar memegang potongan kardus bertuliskan permohonan kepada Presiden Joko Widodo untuk melistriki wilayah desa itu? Bagaimana kehidupan warga di sana pascadialiri listrik sejak 3,6 tahun lalu?

Jarak tempuh dari Kota Medan ke Desa Tomuan Holbung, jika berpatokan pada aplikasi Google Maps berkisar 175 km dengan lama waktu tempuh 4,5 jam. Wartawan ini memilih menggunakan akses jalan tol hingga keluar pintu tol terakhir di Tebingtinggi, Kabupaten Serdangbedagai. Dari Tebing, masih harus melanjutkan perjalanan ke Kota Siantar. Perjalanan menempuh Kota Siantar memakan waktu satu jam lamanya. Jika dihitung, perjalanan dari Medan hingga sampai ke Kota Siantar memakan waktu 2,5 jam lebih.

Setelah mencapai Kota Siantar, masih harus melanjutkan perjalanan ke Tanah Jawa Kabupaten Simalungun hampir satu jam lamanya. Kebetulan, jarak Desa Tomuan Holbung lebih dekat ditempuh melalui Tanah Jawa ketimbang dari Kisaran, Kabupaten Asahan. Padahal Desa Tomuan Holbung berada di Kabupaten Asahan. Dari Tanah Jawa tersebut, wartawan ini terpaksa mengganti kendaraan dengan mobil double cabin.Sebab, infrastuktur jalan di desa itu rusak parah sehingga tak bisa dilintasi mobil jenis minivan.

Dari Tanah Jawa ke pintu masuk Desa Tomuan Holbung, atau tepatnya Dusun I, juga memakan waktu hampir satu jam. Sedangkan Desa Tomuan Holbung terdiri dari 10 dusun. Jarak tempuh dari Dusun 1 ke Dusun 10, berkisar 10 kilo meter. Harusnya, kalau diasumsikan dengan jarak 10 kilo meter itu bisa ditempuh dalam waktu setengah jam. Namun fakta di lapangan berbeda.

Dusun yang berada di tengah perkebunan sawit dan karet HGU kebun PT.BSP Aek Salabat ini, memakan waktu perjalanan hingga 3 jam. Perkiraan waktu tempuh berdasarkan Google Map pun meleset! Ini karena kondisi jalannya berlubang dan berbatu. Dalamnya lubang jalan yang cukup lebar menganga serta berbatu-batu berukuran besar, pantas saja tidak bisa dilintasi mobil jenis minivan, apalagi sedan. Jika nekat, bemper mobil bakal sangkut. Perutpun terasa seperti dikocok.

Meski infrastruktur jalan belum dibenahi, tapi warga Desa Tomuan Holbung yang berjumlah 445 kepala keluarga dengan total 2.122 jiwa ini, sudah bisa menikmati listrik sejak 2017 lalu, tepatnya 17 Agustus 2017 silam. Bahkan, sejak adanya listrik, warga desa memanfaatkan teknologi ponsel untuk memantau harga karet dan sawit mereka.

“Banyak sekali perubahan di desa ini sejak ada listrik. Warga kami bisa menonton televisi, bisa menggunakan ponsel, bahkan warga sudah pandai memantau harga sawit dan karet dari ponsel. Kalau dulu harga karet dan sawit milik warga selalu dicurangi tengkulak,” ujar Sekdes Desa Tomuan Holbung, Hotler Sinurat yang ditemui wartawan ini di kantor desa tersebut.

Hotler justru menyayangkan sikap pemerintah setempat yang tidak peduli terhadap kondisi infrastruktur jalan di Desa Tomuan Holbung. “Padahal sejak ada listrik membawa banyak perubahan bagi kami. Warga kami bisa menikmati teknologi. Tapi sayangnya, kondisi jalan rusak membuat hasil kebun warga busuk karena sulit diangkut truk kalau hujan. Karena kalau hujan, jalannya berlumpur tidak bisa dilintasi mobil maupun truk,” kata dia.

Warga petani di desa itu, T br Sitorus yang tinggal di Dusun 9 mengakui, sejak ada aliran listrik di desanya, ia lebih gampang memantau harga sawit dan karet miliknya. Ibu dari Paris Sinurat, bocah SD yang viral meminta listrik tersebut, memiliki satu hektare sawit dan satu hektare kebun karet. “Kami warga desa kadang suka dibohongi tengkulak soal harga sawit dan karet. Sekarang kami tidak bisa dibohongi lagi. Kami bisa memantau harga dari ponsel. Dan dari ponsel kami jadi tahu perkembangan di dunia ini. Itu semua berkat desa kami ada listrik,” kata wanita yang memiliki empat anak ini saat ditemui wartawan ini di rumahnya.

Fadlan, Supervisor Teknik PLN Tanah Jawa mengatakan, tantangan yang mereka temui saat ini, susahnya melakukan penebangan pohon karet milik PT BSP. Padahal, sering kali ranting atau dahan pohon karet menyentuh kabel listrik di kawasan kebun PT BSP. “Kalau jumlah trafo di desa ini ada 20 trafo. Sampai saat ini kami sering berkoordinasi dengan pihak PT BSP bila ingin melakukan pemangkasan pohon. Tapi kalau penebangan pohon belum diizinkan pihak PT BSP, hanya diperbolehkan memangkas pohon saja,” ujarnya saat berada di halaman masjid di Dusun 1 Desa Tomuan Holbung.

PLN memang sudah mengeluarkan investasi mencapai Rp7,75 miliar untuk masang jaringan listrik sepanjang 23,6 kilometer sirkit, dengan 15 kms di Desa Tomuan Holbung. Meski besarnya investasi listrik di desa itu tak sebanding dengan nilai keuntungan, namun bukan itu yang menjadi tujuan PLN untuk desa tersebut. Sebab, Presiden Jokowi menginginkan desa-desa tertinggal di negeri ini bisa teraliri listrik. Begitu juga saat Presiden Jokowi memerintahkan PLN menerangi Desa Tomuan Holbung, juga demi kemajuan rakyatnya.

Ya, Desa Naga Timbul, Kampung Nelayan Seberang dan Desa Tomuan Holbung, adalah contoh tiga desa tertinggal yang sudah menikmati aliran listrik. Masih banyak lagi desa di negeri ini belum diterangi. Semoga semangat menerangi terus dilakukan PLN hingga ke pelosok negeri.

Selamat Hari Listrik Nasional ke-75 Tahun. Teruslah menerangi negeri ini demi Indonesia maju. (*)

Penulis : Laila Azizah

Tulisan ini diikutisertakan untuk lomba ‘PLN Journalist Awards 2020′ (PJA 2020), kategori feature media online.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/