26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Kasus Bentrok Antarormas: Tuntutan JPU Tak Bisa Diterima, Sidang Jadi Ricuh

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Suasana sidang di Ruang Cakra 2 Pengadilan Negeri (PN) Medan mendadak ricuh, pascamajelis hakim diketuai Abdul Kadir membacakan putusan dugaan penganiayaan dalam bentrokan antaroganisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) dengan terdakwa Sunardi alias Gundok dan Syafwan Habibi.

RICUH: Ratusan ormas pendukung keluarga korban kasus penganiayaan, ricuh usai pembacaan putusan di PN Medan, Rabu (24/3). agusman/sumut pos.

Dalam amar putusannya pada persidangan tersebut, majelis hakim menyatakan bahwa perkara terdakwa Sunardi alias Gundok dan terdakwa Syafwan Habibi tidak dapat diterima atas pertimbangan berdasarkan asas ne bis in idem.

“Mengadili, menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, memerintahkan para penuntut umum untuk mengeluarkan para terdakwa dari tahanan setelah putusan ini diucapkan,” kata hakim dalam amar putusannya, Rabu (24/3).

Menurut majelis hakim, perkara tersebut melanggar azas hukum ne bis in idem yakni, perkara telah diadili dan diputus majelis hakim pada perkara sebelumnya baik objek, subjek dan locus (tempat) yang sama.

Namun, suasana mendadak ricuh sesaat setelah hakim mengetuk palu sidang, sejumlah massa ormas kepemudaan yang mengikuti jalannya sidang langsung berusaha mengejar hakim. Namun berhasil dihalau petugas keamanan. Hingga di luar sidang suasana semakin memanas, massa kepemudaan dari pihak korban terus berusaha mencari hakim yang memutus perkara itu.

“Hakim harus mempertanggung jawabkan putusannya itu. Kenapa tiba-tiba dia sebut ne bis in idem. Di mana rasa keadilan hakim, hadirkan hakimnya ke sini sekarang,” kecam Amrul Sinaga selaku penasihat hukum korban.

Sementara, kuasa hukum terdakwa Dwi Ngai Sinaga dan Erwin Sinaga mengapresiasi putusan hakim. “Ini tidak ujug-ujug hakim memutus seperti ini, tapi ini ada fakta hukum bahwa kejadian yang sama, objek dan subjek yang sama tidak bisa bisa diadili dua kali,” tegas Ngai.

“Selain itu tidak ada juga fakta baru dalam persidangan. Jadi jangan juga kita giring opini bahwa adanya kekeliriuan dalam penuntutan lalu ditimpakan ke klien kita,” jelas Ngai.

Dwi Ngai Sinaga meminta JPU segera mengeluarkan kedua terdakwa dari tahanan. “Kami minta hari ini juga terdakwa dikelurkan dari tahanan, paling lambat besok, sesuai putusan hakim,” tegas Ngai.

Sebelumnya dalam kasus ini, kedua terdakwa dituntut jaksa dengan pidana 6 tahun penjata. Mengutip dakwaan jaksa, kasus ini bermula pada 8 September 2019, sekitar pukul 16.30 Wib, setelah kegiatan Rapat Pemilihan Pengurus Pemuda Pancasila Anak Ranting Pangkalan Mansyur di Kantor Kelurahan Pangkalan Mansyur.

Korban Syahdilla bersama beberapa temannya dari ormas PP saat itu disebut pergi menuju warung di Jalan Eka Rasmi untuk bersilaturahmi dengan ormas IPK. Mereka juga hendak menanyakan soal spanduk milik ormas PP yang dicopot oleh ormas IPK.

Namun malah terjadi cekcok dan berujung bentrokan yang mengakibatkan korban Syahdilla Hasan Afandi meninggal dunia. (man/azw)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Suasana sidang di Ruang Cakra 2 Pengadilan Negeri (PN) Medan mendadak ricuh, pascamajelis hakim diketuai Abdul Kadir membacakan putusan dugaan penganiayaan dalam bentrokan antaroganisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) dengan terdakwa Sunardi alias Gundok dan Syafwan Habibi.

RICUH: Ratusan ormas pendukung keluarga korban kasus penganiayaan, ricuh usai pembacaan putusan di PN Medan, Rabu (24/3). agusman/sumut pos.

Dalam amar putusannya pada persidangan tersebut, majelis hakim menyatakan bahwa perkara terdakwa Sunardi alias Gundok dan terdakwa Syafwan Habibi tidak dapat diterima atas pertimbangan berdasarkan asas ne bis in idem.

“Mengadili, menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, memerintahkan para penuntut umum untuk mengeluarkan para terdakwa dari tahanan setelah putusan ini diucapkan,” kata hakim dalam amar putusannya, Rabu (24/3).

Menurut majelis hakim, perkara tersebut melanggar azas hukum ne bis in idem yakni, perkara telah diadili dan diputus majelis hakim pada perkara sebelumnya baik objek, subjek dan locus (tempat) yang sama.

Namun, suasana mendadak ricuh sesaat setelah hakim mengetuk palu sidang, sejumlah massa ormas kepemudaan yang mengikuti jalannya sidang langsung berusaha mengejar hakim. Namun berhasil dihalau petugas keamanan. Hingga di luar sidang suasana semakin memanas, massa kepemudaan dari pihak korban terus berusaha mencari hakim yang memutus perkara itu.

“Hakim harus mempertanggung jawabkan putusannya itu. Kenapa tiba-tiba dia sebut ne bis in idem. Di mana rasa keadilan hakim, hadirkan hakimnya ke sini sekarang,” kecam Amrul Sinaga selaku penasihat hukum korban.

Sementara, kuasa hukum terdakwa Dwi Ngai Sinaga dan Erwin Sinaga mengapresiasi putusan hakim. “Ini tidak ujug-ujug hakim memutus seperti ini, tapi ini ada fakta hukum bahwa kejadian yang sama, objek dan subjek yang sama tidak bisa bisa diadili dua kali,” tegas Ngai.

“Selain itu tidak ada juga fakta baru dalam persidangan. Jadi jangan juga kita giring opini bahwa adanya kekeliriuan dalam penuntutan lalu ditimpakan ke klien kita,” jelas Ngai.

Dwi Ngai Sinaga meminta JPU segera mengeluarkan kedua terdakwa dari tahanan. “Kami minta hari ini juga terdakwa dikelurkan dari tahanan, paling lambat besok, sesuai putusan hakim,” tegas Ngai.

Sebelumnya dalam kasus ini, kedua terdakwa dituntut jaksa dengan pidana 6 tahun penjata. Mengutip dakwaan jaksa, kasus ini bermula pada 8 September 2019, sekitar pukul 16.30 Wib, setelah kegiatan Rapat Pemilihan Pengurus Pemuda Pancasila Anak Ranting Pangkalan Mansyur di Kantor Kelurahan Pangkalan Mansyur.

Korban Syahdilla bersama beberapa temannya dari ormas PP saat itu disebut pergi menuju warung di Jalan Eka Rasmi untuk bersilaturahmi dengan ormas IPK. Mereka juga hendak menanyakan soal spanduk milik ormas PP yang dicopot oleh ormas IPK.

Namun malah terjadi cekcok dan berujung bentrokan yang mengakibatkan korban Syahdilla Hasan Afandi meninggal dunia. (man/azw)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/