JAKARTA, SUMUTPOS.CO – DPR RI telah menyetujui peleburan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Hal ini pun membuat Menristek/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Bambang Brodjonegoro, sedih.
“Saya pribadi merasa tidak enak dan sedih. Saya ini jadi Menristek terakhir, karena Kemenristek tidak lagi jadi kementerian yang berdiri sendiri,” kata Bambang dalam diskusi daring, Minggu (11/4).
Salah satu alasan peleburan ini, kata dia, karena terdapat pihak yang merasa bahwa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) harus menjadi badan lembaga mandiri. Hal inilah yang membuat Peraturan Presiden (Perprs) BRIN tidak segera diundangkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), meskipun sudah ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak 2020.
“Perpres itu tidak pernah diundangkan oleh Kemenkumham, sudah ditandatangani tapi belum diundangkan, jadi tidak efektif karena tidak diundangkan,” ujarnya.
Dirinya pun juga meminta maaf kepada seluruh pihak di BRIN. Sebab, selama lebih dari satu tahun ini tidak memiliki kejelasan akan status mereka.
“Saya mohon maaf karena selama setahun mereka tidak punya status yang jelas, tapi saya juga terima kasih karena sebagai relawan mereka tetap bekerja. BRIN yang harusnya menjadi utuh, lengkap dengan eselonisasi dan deputi, itu tidak pernah muncul,” tutur dia.
Ia pun menghormati keputusan tersebut. Terkait posisi dan format BRIN selanjutnya, ia mengaku tidak mengetahuinya. “Itu keputusan yang sudah diambil, saya belum tau detilnya gimana dan itu lah yang akan berlangsung, nggak tau BRIN formatnya gimana,” imbuhnya.
Lalu, apa yang terjadi dengan para Lembaga Pemerintah Non-Kementerian di bawah Kemenristek/BRIN pun dia juga belum mengetahui. Kemungkinan, semua akan dilebur menjadi satu dalam BRIN.
“Saya juga susah menebak, karena kalau versi saya para LPNK itu eksis sebagai institusi, hanya statusnya yang berubah, dari LPNK yang sifatnya birokratis menjadi lembaga penelitian yang tidak birokratis tapi tetap membawa nama masing-masing, tapi ada versi yang menginginkan semua dilebur ke dalam BRIN. Ini tentu kita harus menunggu gimana perkembangannya,” pungkas dia.
Menyikapi penggabungan dua kementerian ini, Pengamat dan Praktisi Pendidikan Indra Charismiadji menilai, penggabungan ini akan membuat target dalam menciptakan SDM Unggul Indonesia tidak fokus. Terlebih kata dia, Kemendikbud saat ini terlalu banyak program yang membuat publik bingung.
“Ini sepertinya konsep pembangunan SDM Unggul tidak sematang pembangunan infrastruktur di periode pertama. Sekarang Kemendikbud saja enggak efektif. Programnya tida jelas, ini ditambahin lagi, bakal makin kacau,” ungkapnya kepada JawaPos.com (grup Sumut Pos), Minggu (11/4).
Namun, tercapainya target SDM Unggul, Indonesia Maju ini bisa disiasati dengan dilakukannya reshuffle menteri. “Kecuali menterinya (Mendikbud) ganti,” tuturnya.
Untuk diketahui, saat ini Kemendikbud dipimpin oleh Nadiem Makarim dan Kemenristek dikepalai Bambang Brodjonegoro. Jika harus memilih di antara dua orang tersebut untuk memimpin Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Indra akan memilih Bambang Brodjonegoro.
“Bambang Brodjonegoro lah, karena ada kakak beliau Pak Satryo (Soemantri Brodjonegoro) yang tokoh pendidikan tinggi (ilmuwan). Artinya grupnya bakal lebih jelas dibanding sekarang,” jelasnya.
Begitu pula dengan ayahnya, Soemantri Brodjonegoro yang merupakan Mendikbud Indonesia periode Maret-Desember 1973. Pria yang meninggal pada saat masih menjabat Mendikbud itu pun diketahui pernah menjadi Rektor Universitas Indonesia periode 1964-1973.
Sementara posisi Nadiem sendiri, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai bahwa Nadiem cocok mengepalai Kementerian Investasi. Pasalnya, sebelum menjadi Mendikbud, Nadiem merupakan pendiri perusahaan yang kini memiliki status decacorn, yakni Gojek.
“Kalau itu kan udah punya track record, punya investasi di perusahaan digital, lalu menggerakkan sektor non formal itu punya record, tapi kalau soal pendidikan itu justru publik mempertanyakan, ketemunya di titik mana (tidak ada hubungan dengan pendidikan), sehingga banyak kebijakan yang gagap dan kelihatan tidak genuine dari diri dia sendiri,” terang dia kepada JawaPos.com.
Sementara itu, Plt Kepala Biro Kerja Sama dan Humas Kemendikbud Hendarman menyambut baik penggabungan ini. Pihaknya akan menunggu perkembangan resmi perihal tersebut. “Kemendikbud menyambut baik segala perubahan untuk membuat Indonesia menjadi lebih maju lagi. Mari kita tunggu pengumuman resmi oleh Bapak Presiden terkait penggabungan Kemenristek dan Kemendikbud ini,” jelasnya kepada wartawan.
Jika Bambang Brodjonegoro menjadi Mendikbud, lantas bagaimana dengan Nadiem Makarim? Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan, itu adalah kewenangan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun yang pasti, menteri harus memiliki rekam jejak yang bagus.
“Saya pikir perlu mendengarkan suara publik, orang yang punya track record panjang soal mengelola pendidikan, kalau pak menteri (Nadiem) sekarang kan nggak punya track record pendidikan, lalu dipaksakan sehingga banyak kebijakan yang di lapangan bermasalah,” jelasnya kepada JawaPos.com, Minggu (11/4).
Menurut dia, jika terjadi perubahan menteri, kriteria yang harus ada tentunya memiliki kiprah di bidang yang akan ditanganinya. Lalu, yang pasti dia bagian dari kelompok-kelompok yang memiliki integritas tinggi pada pendidikan.
“Terkahir tentu dia visioner, banyak orang punya rekam jejak, tapi rekam jejak yang biasa-biasa saja, sekarang kan kita ini dihadapi tantangan luar biasa soal teknologi, 4.0, pandemi sehingga dia harus kreatif, inovatif dan juga kolaboratif,” kata Ubaid.
Dirinya juga menilai bahwa Nadiem akan cocok sebagai Menteri Investasi. Pasalnya, sebelum menjadi Mendikbud, Nadiem merupakan pendiri perusahaan yang kini memiliki status decacorn, yakni Gojek. Oleh karenanya, Nadiem merupakan salah satu yang pantas menempati posisi tersebut apabila benar akan terjadi reshuffle.
“Kalau itu kan udah punya track record, punya investasi di perusahaan digital, lalu menggerakkan sektor non formal itu punya record, tapi kalau soal pendidikan itu justru publik mempertanyakan, ketemunya di titik mana (tidak ada hubungan dengan pendidikan), sehingga banyak kebijakan yang gagap dan kelihatan tidak genuine dari diri dia sendiri,” paparnya. (jpc)