29 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Kasuran, Dusun yang Seluruh Penduduknya Tidak Berani Tidur di Kasur

Yang Melanggar Ketiban Musibah

Namanya Dusun Kasuran. Letaknya di Desa Margodadi, Kecamatan Seyegan, Sleman, Jogjakarta. Luasnya sekitar 17 hektare. Dusun tersebut berpenduduk 618 jiwa dengan 68 kepala keluarga (KK). Dari Kota Jogjakarta, perjalanan bisa ditempuh dalam waktu sekitar satu jam.

SEKARING RATRI A, Jogjakarta

SEKILAS tidak ada yang berbeda dengan dusun-dusun lain. Mayoritas rumah warga sudah beratap genting dengan dinding batu bata. Pasokan listrik pun cukup memadai. Hampir setiap rumah memiliki televisi dan lemari pendingin. Jalanan dusun juga beraspal.

Yang membedakan Kasuran dengan dusun yang lain adalah kepercayaan dan kebiasaan penduduknya. Meski bernama Kasuran, hampir tidak ada penduduk dusun itu yang tidur beralas kasur. Mereka tidur di atas dipan kayu atau hanya di atas tikar. Hanya segelintir penduduk yang memakai kasur busa.

“Asal ndak pakai kasur berbahan kapuk ya ndak papa. Akhirnya ada yang diganti pakai kasur busa, tapi itu pun jumlahnya sedikit sekali. Hanya 10 persen dari jumlah penduduk,” jelas Kepala Dusun, Wartilah, ketika ditemui di kediamannya, Senin (2/12).

Wartilah menuturkan, dusunnya memang memiliki kepercayaan kuat terkait larangan menggunakan kasur sebagai alas tidur. Kepercayaan tersebut sudah berlangsung turun-temurun sejak ratusan tahun lalu. Kepercayaan unik tersebut tidak luntur hingga kini. Meski tidak ada aturan tertulis, penduduk Dusun Kasuran, baik yang muda maupun yang sepuh, benar-benar patuh pada kepercayaan tersebut.

Ketika mengunjungi beberapa rumah warga, semua kamar tidur memang hanya memakai dipan beralas tikar. Bahkan, ada yang tidur langsung di lantai beralas tikar. Jumari, salah seorang warga, menuturkan, dirinya dan keluarga tetap merasa nyaman meski tidur tanpa kasur.

“Saya selama hidup ndak pernah tidur pakai kasur. Rasanya tetap nyaman walaupun tidur di atas tikar atau dipan,” ujarnya.

Alasan lain Jumari dan keluarga untuk tidur tanpa kasur adalah takut melanggar kepercayaan turun-temurun tersebut. Jika kepercayaan itu dilanggar atau nekat tidur di atas kasur, mereka khawatir akan mendapat musibah. “Takut saya. Takut ada apa-apa kalau tidur di kasur,” jelas pria 50 tahun itu.

Hal tersebut dibenarkan Wartilah. Perempuan 49 tahun tersebut mengungkapkan, telah banyak kejadian janggal saat ada warganya yang melanggar kepercayaan tersebut. Tidak hanya satu atau dua kasus, tapi ratusan kasus terjadi hanya gara-gara warganya tidur di atas kasur.

“Ini percaya atau ndak percaya, tapi banyak kejadian. Mulai dari mati muda, ada yang gila sampai sekarang, ada yang buta. Mereka ndak percaya,” ujarnya.

Wartilah yang sudah 20 tahun menjadi kepala dusun itu mencontohkan, ada seorang bidan yang berpraktik di kawasan dusun itu. Untuk memeriksa pasien, bidan tersebut menggunakan kasur di ruang praktik, seperti layaknya bidan lain. Bidan muda tersebut memiliki dua putra. Sejak kecil hingga dewasa, dua putranya gemar bertengkar hebat hingga ingin saling bunuh.

“Itu terus terjadi dari kecil sampai mereka besar. Saya pernah kok disuruh misah mereka gara-gara mereka pegang celurit sama pisau dapur. Setelah dikasih tahu sesepuh desa untuk membuang kasurnya, kedua anaknya itu ya jadi akur,” kenang Wartilah.

Ibu tiga anak itu menuturkan, aturan untuk menghindari kasur itu juga berlaku bagi para pendatang atau tamu yang berkunjung ke dusun tersebut. Wartilah mengisahkan, pernah ada seorang pendatang, pembantu rumah tangga yang baru pertama tinggal di dusunnya. Pembantu tersebut sudah diperingatkan sang majikan untuk tidak tidur di kasur.

Namun, dia tidak menghiraukan larangan tersebut. Pada malam pertama dia tidur di kasur tidak ada yang terjadi. Namun, keesokan harinya, kasur beserta sang pembantu sudah berada di langit-langit kamar. Kasur tersangkut di kayu penyangga langit-langit.

“Dia teriak-teriak. Banyak orang kok waktu itu yang mbantu turunkan dia dari atap,” katanya.
Ada juga kisah seorang bayi yang tiba-tiba sakit setelah ditidurkan di kasur. Si bayi kecil tersebut mengalami panas dan kejang. Dia juga menjerit-jerit. “Tapi, setelah sama budenya si anak itu ditidurkan di lantai, langsung panasnya hilang, tidurnya pules,” urainya.

Menurut Wartilah yang mendapat cerita secara turun-temurun, larangan tidur di kasur itu merupakan perintah Sunan Kalijaga. Menurut cerita para sesepuh, suatu ketika, Sunan Kalijaga singgah di Dusun Kasuran. Penyebar Islam pada zaman Kerajaan Demak itu mampir di kawasan Grogol, tidak jauh dari Kasuran, saat waktu Duhur. Ketika akan berwudu, dia tidak menemukan air.

Lantas, Sunan Kalijaga menghantamkan tongkatnya ke tanah dan secara ajaib air keluar dari tanah. “Mata air tersebut lalu dinamakan Tuksibeduk,” kisah Wartilah.

Sesudah salat, lanjut dia, sang sunan merasa lelah dan akhirnya mampir di Dusun Kasuran. Di sana, dia meminta pada sesepuh Dusun Kasuran, Kiai dan Nyai Kasur, untuk menyediakan kasur untuk beristirahat sejenak. Setelah segar kembali, sunan berpesan pada Kiai dan Nyai Kasur agar menyuruh penduduknya untuk tidak bermalas-malasan, apalagi tidur di kasur.

“Anak cucu saya jangan tidur di kasur. Boleh tidur di kasur kalau kesaktiannya sudah sepadan atau melebihi saya,” ujar Warsilah menirukan ucapan Sunan Kalijaga seperti yang dituturkan turun-temurun.

Sejak saat itu, seluruh penduduk Dusun Kasuran memegang erat kepercayaan tersebut. Mereka tidak pernah tidur di kasur. Para penduduk pun sudah paham konsekuensinya jika melanggar kepercayaan tersebut. Karena itu, lanjut Wartilah, setiap kali ada penjual kasur lewat di dusun itu, tidak pernah beruntung.

“Saya bilang, oalah Pak, ngantos sedino nggih mboten payu kasure (meskipun sampai sehari ya nggak bakal laku kasurnya, Red),” ujar Wartilah lantas terbahak. (*)

Yang Melanggar Ketiban Musibah

Namanya Dusun Kasuran. Letaknya di Desa Margodadi, Kecamatan Seyegan, Sleman, Jogjakarta. Luasnya sekitar 17 hektare. Dusun tersebut berpenduduk 618 jiwa dengan 68 kepala keluarga (KK). Dari Kota Jogjakarta, perjalanan bisa ditempuh dalam waktu sekitar satu jam.

SEKARING RATRI A, Jogjakarta

SEKILAS tidak ada yang berbeda dengan dusun-dusun lain. Mayoritas rumah warga sudah beratap genting dengan dinding batu bata. Pasokan listrik pun cukup memadai. Hampir setiap rumah memiliki televisi dan lemari pendingin. Jalanan dusun juga beraspal.

Yang membedakan Kasuran dengan dusun yang lain adalah kepercayaan dan kebiasaan penduduknya. Meski bernama Kasuran, hampir tidak ada penduduk dusun itu yang tidur beralas kasur. Mereka tidur di atas dipan kayu atau hanya di atas tikar. Hanya segelintir penduduk yang memakai kasur busa.

“Asal ndak pakai kasur berbahan kapuk ya ndak papa. Akhirnya ada yang diganti pakai kasur busa, tapi itu pun jumlahnya sedikit sekali. Hanya 10 persen dari jumlah penduduk,” jelas Kepala Dusun, Wartilah, ketika ditemui di kediamannya, Senin (2/12).

Wartilah menuturkan, dusunnya memang memiliki kepercayaan kuat terkait larangan menggunakan kasur sebagai alas tidur. Kepercayaan tersebut sudah berlangsung turun-temurun sejak ratusan tahun lalu. Kepercayaan unik tersebut tidak luntur hingga kini. Meski tidak ada aturan tertulis, penduduk Dusun Kasuran, baik yang muda maupun yang sepuh, benar-benar patuh pada kepercayaan tersebut.

Ketika mengunjungi beberapa rumah warga, semua kamar tidur memang hanya memakai dipan beralas tikar. Bahkan, ada yang tidur langsung di lantai beralas tikar. Jumari, salah seorang warga, menuturkan, dirinya dan keluarga tetap merasa nyaman meski tidur tanpa kasur.

“Saya selama hidup ndak pernah tidur pakai kasur. Rasanya tetap nyaman walaupun tidur di atas tikar atau dipan,” ujarnya.

Alasan lain Jumari dan keluarga untuk tidur tanpa kasur adalah takut melanggar kepercayaan turun-temurun tersebut. Jika kepercayaan itu dilanggar atau nekat tidur di atas kasur, mereka khawatir akan mendapat musibah. “Takut saya. Takut ada apa-apa kalau tidur di kasur,” jelas pria 50 tahun itu.

Hal tersebut dibenarkan Wartilah. Perempuan 49 tahun tersebut mengungkapkan, telah banyak kejadian janggal saat ada warganya yang melanggar kepercayaan tersebut. Tidak hanya satu atau dua kasus, tapi ratusan kasus terjadi hanya gara-gara warganya tidur di atas kasur.

“Ini percaya atau ndak percaya, tapi banyak kejadian. Mulai dari mati muda, ada yang gila sampai sekarang, ada yang buta. Mereka ndak percaya,” ujarnya.

Wartilah yang sudah 20 tahun menjadi kepala dusun itu mencontohkan, ada seorang bidan yang berpraktik di kawasan dusun itu. Untuk memeriksa pasien, bidan tersebut menggunakan kasur di ruang praktik, seperti layaknya bidan lain. Bidan muda tersebut memiliki dua putra. Sejak kecil hingga dewasa, dua putranya gemar bertengkar hebat hingga ingin saling bunuh.

“Itu terus terjadi dari kecil sampai mereka besar. Saya pernah kok disuruh misah mereka gara-gara mereka pegang celurit sama pisau dapur. Setelah dikasih tahu sesepuh desa untuk membuang kasurnya, kedua anaknya itu ya jadi akur,” kenang Wartilah.

Ibu tiga anak itu menuturkan, aturan untuk menghindari kasur itu juga berlaku bagi para pendatang atau tamu yang berkunjung ke dusun tersebut. Wartilah mengisahkan, pernah ada seorang pendatang, pembantu rumah tangga yang baru pertama tinggal di dusunnya. Pembantu tersebut sudah diperingatkan sang majikan untuk tidak tidur di kasur.

Namun, dia tidak menghiraukan larangan tersebut. Pada malam pertama dia tidur di kasur tidak ada yang terjadi. Namun, keesokan harinya, kasur beserta sang pembantu sudah berada di langit-langit kamar. Kasur tersangkut di kayu penyangga langit-langit.

“Dia teriak-teriak. Banyak orang kok waktu itu yang mbantu turunkan dia dari atap,” katanya.
Ada juga kisah seorang bayi yang tiba-tiba sakit setelah ditidurkan di kasur. Si bayi kecil tersebut mengalami panas dan kejang. Dia juga menjerit-jerit. “Tapi, setelah sama budenya si anak itu ditidurkan di lantai, langsung panasnya hilang, tidurnya pules,” urainya.

Menurut Wartilah yang mendapat cerita secara turun-temurun, larangan tidur di kasur itu merupakan perintah Sunan Kalijaga. Menurut cerita para sesepuh, suatu ketika, Sunan Kalijaga singgah di Dusun Kasuran. Penyebar Islam pada zaman Kerajaan Demak itu mampir di kawasan Grogol, tidak jauh dari Kasuran, saat waktu Duhur. Ketika akan berwudu, dia tidak menemukan air.

Lantas, Sunan Kalijaga menghantamkan tongkatnya ke tanah dan secara ajaib air keluar dari tanah. “Mata air tersebut lalu dinamakan Tuksibeduk,” kisah Wartilah.

Sesudah salat, lanjut dia, sang sunan merasa lelah dan akhirnya mampir di Dusun Kasuran. Di sana, dia meminta pada sesepuh Dusun Kasuran, Kiai dan Nyai Kasur, untuk menyediakan kasur untuk beristirahat sejenak. Setelah segar kembali, sunan berpesan pada Kiai dan Nyai Kasur agar menyuruh penduduknya untuk tidak bermalas-malasan, apalagi tidur di kasur.

“Anak cucu saya jangan tidur di kasur. Boleh tidur di kasur kalau kesaktiannya sudah sepadan atau melebihi saya,” ujar Warsilah menirukan ucapan Sunan Kalijaga seperti yang dituturkan turun-temurun.

Sejak saat itu, seluruh penduduk Dusun Kasuran memegang erat kepercayaan tersebut. Mereka tidak pernah tidur di kasur. Para penduduk pun sudah paham konsekuensinya jika melanggar kepercayaan tersebut. Karena itu, lanjut Wartilah, setiap kali ada penjual kasur lewat di dusun itu, tidak pernah beruntung.

“Saya bilang, oalah Pak, ngantos sedino nggih mboten payu kasure (meskipun sampai sehari ya nggak bakal laku kasurnya, Red),” ujar Wartilah lantas terbahak. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/